Aditya patah hati berat sebab Claudia—kekasihnya— memilih untuk menikah dengan pria lain, ia lantas ditawari ibunya untuk menikah dengan perempuan muda anak dari bi Ijah, mantan pembantunya.
Ternyata, Nadia bukan gadis desa biasa seperti yang dia bayangkan sebelumnya. Sayangnya, perempuan itu ternyata sudah dilamar oleh pria lain lebih dulu.
Bagaimana kisah mereka? Ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
"Sungguh, saya suaminya, Pak Polisi. Tanyakan saja pada yang bersangkutan ... Sayang, ayo katakan yang sejujurnya biar mereka tahu."
Aditya masih didesak untuk mengakui perbuatan yang tidak dia lakukan. Diapit oleh beberapa anggota keamanan negara, dia terus dilemparkan pertanyaan untuk mengakui apa motifnya hendak melakukan penculikan kepada seorang perempuan yang disangka masih gadis oleh warga sekitar.
Melihat Nadia yang hanya diam saja di seberangnya, dia yang diusap dan ditenangkan oleh para kaum wanita dan semua yang berpihak kepadanya, sedangkan Aditya duduk seorang diri dan diinterogasi oleh polisi yang datang untuk menginvestigasi.
“Nadia, ayo, mengakulah.”
Nadia tetap bungkam.
Seseorang mengusap punggung perempua itu. "Dia seperti sedang di bawah tekanan, Pak. Iya, kah, Neng? Kamu diancam apa?"
Nadia menatap ke atas, pada seorang ibu yang setia menemani dari kos sampai dibawa ke kantor kepolisian. Seorang ibu itu mengusap kepala Nadia seperti anaknya sendiri, tidak lain dia ibu pemilik kos Adelia.
Sayangnya, Nadia mengangguk dan itu membuat Aditya mendengus pasrah dan memijat keningnya.
"Benar, kan, apa kata saya.Tangkap saja, Pak. Bisa dipidanakan kasus seperti ini, pasti Akang ini punya motif jahat sama neng Nadia."
"Dari awal Neng Nadia datang teh, dia tidak bilang sama saya kalau sudah punya suami. Neng Nadia cuma bilang mau ngekos yang dekat sama kantornya asalnya dari Semarang, jauh Pak. Dia waktu itu datang diantar sama teman prianya. Dia baik, gak ada macam-macam. Saya saksinya! Kalau Neng Nadia diam begini, pasti sudah diancam sama orang itu jadi Neng Nadia diam saja." Celoteh ibu pemilik kos Adelia .
'Untunglah' pikir para warga jika polisi sektor di kampung itu tampaknya sangat gercep dengan laporan warga, tidak ada setengah jam, polisi sudah datang untuk memeriksa apa yang dilaporkan warga.
"Kalau benar sudah menikah, mana buktinya?" tanya seorang polisi.
Aditya melihat ke sisi-sisinya, dia tidak menemukan apapun selain satu-satunya cincin pernikahan. Namun, hanya dirinya yang memakai, sedangkan Nadia tidak. Sudah tentu dia tidak akan dipercaya.
"Saya suaminya, sah secara agama karena memang pernikahan kami baru terlaksana secara agama dan belum tercatat di pencacatan sipil."
"Itu cuma bukti lisan. Tidak akan mendukung, bisa saja Anda mengada-ada." Polisi menduga.
"Sumpah demi Allah, Pak. Dia istri saya, ini saya telepon sama orang tuanya Nadia sekarang juga," Aditya pun mengangkat kedua jarinya.
Dia mengeluarkan ponsel dari sakunya, menelepon seseorang yang menjadi saksi pernikahannya.
Tut… tut…
“Halo, assalamualaikum, A?”
“Halo, waalaikumsalam, Bi. Bibi, Adit mau tanya,” kata Aditya.
“Kok panggilnya bibi?” tanya orang-orang di sana yang curiga.
“Dia mantan pembantu mamah saya,” jawab Aditya di tengah kegiatannya berbicara dengan bi Ijah.
“Tanya apa, A? Sok, bibi jawab kalau tahu.”
“Bibi, benar kan kalau Adit suaminya Nadia?”
“Hah? Nadia siapa?” tanya bi Ijah memekik.
Seketika itu, semua mata melotot menatap Aditya. Ibu pemilik kos Adelia mencengekeram kedua lengan Nadia seakan melindunginya, begitu pun ibu-ibuyang lainnya yang melindungi Nadia ke dalam pelukannya.
“Nadia, anak pertama bi Ijah. Nadia Syafaatus Zia. Bibi jangan bercanda,” terang Aditya.
“Nadia siapa? Kok tanya bibi? Bibi gak ngerti, A!”
Aditya mengambil napas dalam-dalam, dia tidak tenang dalam posisi duduknya. Berubah-ubah dan polisi telah berkacak pinggang.
Satu jemari tangan Aditya terbuka lebar, mengatakan pada polisi itu supaya bersabar sebentar.
“Bi, tolong. Kali ini Adit lagi gak bercanda. Tolong jadi saksi buat Adit, dan jawab yang benar. Benarkan kalau saya suaminya Nadia? Suami sah dari perempuan bernama Nadia Syafataatus Zia, anak pertama bibi, kakaknya Nada, dan asli orang Semarang ini?”
“Bukan!”
"Kok bukan?!" Aditya mengerutkan dahinya. Malah dijawab bukan, semesta seakan tidak berpihak padanya, bahkan bi Ijah kini menolak mengakui.
“Nadia bukan anak pertama bibi, A. Anak bibi kan Nada, Nadia istri Aa yang mana? Kalau benar istrinya Aa kok tanya ke bibi?”
Huft….. Aditya pasrah, dia menghela napas panjang. Sepertinya antara bibi, warga, dan polisi sudah bersekongkol bahkan dari jarak yang berjauhan.
“Bibi, sebenarnya Adit lagu butuh banget bantuan Bibi, tapi rasanya bibi tidak bisa membantu Adit kali ini. Baiklah, Bi. Aku tutup teleponnya. Assalamualaikum.”
Jawaban salam pun dijawab bi Ijah dengan sedikit tawa dan dan tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Aditya tidak tahu harus meminta bantuan siapa lagi jika sudah seperti ini. Memang salahnya belum punya buku nikah dan lain-lain untuk membuktikan.
“Mana coba KTP?” tanya pak Polisi.
Aditya mengeluarkan benda itu dari dalam dompetnya.
“Status masih ‘belum menikah’ begini, pekerjaan juga masih mahasiswa.”
“Pak itu KTP saya sejak dulu, berlaku seumur hidup. Jadi belum ada yang berubah, nikah aja masih siri. Terserah Bapak kalau gak percaya,” kata Aditya sudah melemas pasrah.
"Kalau benar sudah menikah, kenapa istrinya diam tidak mau mengakui Anda sebagai suami?"
"Kami, … kami sedang ada masalah. Ya, masalah rumah tangga yang cukup rahasia dan istri saya memilih untuk keluar dari rumah. Dia ngekos dan tadi pagi saya mau jemput dia," ucap Aditya.
"Masalah rumah tangga apa sampai istri kabur? KDRT?" ucap salah seorang polisi paruh baya itu.
"Saya juga berumah tangga, paling masalahnya gitu-gitu aja. Gak akan istri kabur kalau bukan perkara yang besar, KDRT misalnya.”
Aditya menggeleng.
Aditya menatap Nadia yang sama tengah menatapnya, tetapi kemudiaan wanita itu kembali memalingkan wajahnya.
“Saya tidak pernah memukul tubuh istri saya, tapi mungkin rasa sakit yang saya buat lebih daripada menyakiti fisiknya.”
“Anda selingkuh?” tanya polisi.
“Tidak.”
“Lalu apa?”
“Saya malu mengatakannya, Pak. Tapi, jika istri saya mau mendengarkan ucapan saya, tolong sampaikan bahwa saya memang tidak pernah mencintainya.”
Nadia mencari cara supaya dia tidak terbawa suasana, dia tidak ingin menangis mendengarkan pengakuan dari seseorang yang selama menjadi suami yang bahkan telah dia abdikan seluruh jiwa raganya hanya untuknya.
“Kalau tidak cinta, tapi kenapa tetap menikah? Siri pula,” cecar polisi.
“Kami terjebak pada situasi yang sulit untuk dihindari, saya akui jika rasa hati saya kepada dia ini bukalah cinta.”
Semua diam dan terhenyak, Nadia sudah menghapus air matanya sedangkan ibu-ibu tetangga mengusap punggung dan lengan Nadia, seakan mereka tahu bagaimana perasaan Nadia antar sesama wanita saat pria yang mengaku sebagai suaminya malah mngatakan demikian.
“Cinta itu rasa menggebu saat pertama jumpa dan sementara, tetapi kepadanya, perasaan saya menggebu setiap waktu. Setiap detik, setiap helaan napas, dan setiap terjaga sampai terpejamnya mata. Saya pikir ini bukan cinta, tapi lebih dari sekadar cinta. Saya tidak bisa mengartikannya yang jelas saya menyayanginya dari hati yang terdala ... saya begitu takut kehilangannya.”
“Dia tidak mau berbicara sama saya. Jika bapak mau membantu saya menyampaikan padanya, bahwa saya sangat menyayanginya lebih dari yang nampak di permukaan. Saya memang telah melakukan kesalahan besar, tapi jangan hukum saya dengan cara seperti itni. Saya tersiksa lahir batin dengannya yang mengabaikan saya meski sedetik saja,” ucap Aditya masih menatap Nadia berharap dia mau mendengarkan ucapannya.
Semua hati meleleh mendengar pengakuannya.
“Sudah seminggu dia tidak berada di rumah saya, sering saya berpikir bagaimana jika saya mengakhiri semuanya. Misal menabrakan diri saat mengemudi atau memimum racun sampai mulut berbusa dan kehabisan napas. Atau menggantungkan diri di atap rumah. Saya pikir, dia telah berhasil mengusai jiwa raga saya, Pak. Katakan padanya, jika pria ini orang yang paling merugi sejak ditinggal pergi olehnya.”
Para polisi kini duduk di sisi-sisinya, menepuk punggung Aditya seakan menyalurkan semangat dan betapa paham mereka akan permasalahan pasangan muda yang rawan diterpa badai bencana.
“Jika saya dituduh menculik istri saya, maka silakan tangkap saya saja Pak. Lebih baik membusuk dipenjara daripada diacuhkan dan melihat betapa dia sekarang membenci saya seperti ini.” Kedua tangannya diserahkan kepada polisi. Ia rela ditangkap dan dimasukkan ke dalam jeruji besi.
Polisi menurut, mereka membawa Aditya keluar dari rumah ketua RW dan hendak membawa Aditya ke kantor polisi.
Polisi membawa masuk Aditya ke dalam mobil polisi.
“Aa, tunggu, A!” Nadia berlari dan berucap di depan semua orang.
“Dia benar suami saya. Jangan bawa dia, Pak.”
Senyum tersemburat di bibir Aditya, Nadia menghalanginya untuk dibawa ke kantor polisi.
“Benar, kami suami istri dan kami memang sedang ada masalah. Ini foto pernikahan kami,” kata Nadia yang membuat semua orang heran, lantas foto ijab kabul itu membuat semuanya mengangguk dan percaya pada ucapannya.
semangat /Determined/
ayuk Up lagiih hehee
aditi Aditia kocak beud masak masih amatiran