Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 27
Dian dan Nisa sama-sama menoleh ketika langkah seseorang terdengar mendekat. Azhar berdiri di tengah-tengah mereka dengan wajah tegas dan seragam dinas yang membuatnya semakin gagah.
“Suaminya Nisa itu rekan kerjaku,” ujarnya pelan tapi jelas. “Dia juga abdi negara di angkatan laut.”
Dianti langsung menatap Nisa tajam, alisnya terangkat penuh selidik.
“Kalau suamimu anggota TNI kenapa kamu rela jadi pembantu? Apa uang yang dia kasih kurang? Bukannya dulu katanya suami kamu pernah kerja TKI di Timur Tengah, yang bener yang mana?” tanyanya ketus.
Nisa menahan napas. Hatinya bergemuruh, tapi ia harus pintar mencari kata-kata. Rahasianya dengan Azhar tidak boleh terbongkar. Ia tersenyum tipis, menundukkan kepala sejenak lalu menatap lagi dengan tenang.
“Alhamdulillah, suamiku sudah cukup menafkahi. Aku malah dikasih lebih dari yang aku bayangkan,” jelasnya lembut. “Cuma aku memang senang sama anak-anak, makanya aku rela ngurusin putri Nyonya. Jadi bukan soal uang.”
Tatapannya melirik cepat ke arah Azhar, seolah mencari kekuatan. Azhar yang berdiri tegap hanya membalas dengan sorot mata penuh arti.
“Suaminya Nisa sendiri yang janji ke aku buat bantu jaga anak-anak,” imbuh Azhar, nadanya mantap. “Katanya itu bentuk balas budi. Tapi aku udah bicara semalam. Nisa cuma sebulan di sini. Setelah itu dia pulang kampung, apalagi sekarang Nisa sedang hamil.”
Azhar menegakkan tubuhnya, nadanya tegas tapi tetap terukur menambahkan ucapannya kembali untuk lebih meyakinkan Dianti agar tidak curiga.
“Betul. Suaminya Nisa sendiri yang bicara padaku,” imbuhnya. “Dia titip pesan, minta aku izinkan Nisa membantu menjaga anak-anak. Katanya itu bentuk balas budi. Tapi aku sudah bilang ke dia, Nisa hanya sebulan di sini. Apalagi sekarang dia sedang hamil, jadi lebih baik fokus pada kesehatannya.”
Nisa tercekat, menelan ludah pelan. Kata-kata itu membuat dadanya hangat sekaligus getir diwaktu yang bersamaan.
“Masih hamil muda… mas Azhar nggak mau aku capek ya? Kalau memang diminta pulang, aku nurut. Demi bayiku,” batinnya lirih.
Dianti langsung terbelalak. “Apa? Nisa hamil?” serunya kaget. Namun rasa terkejut itu cepat berubah jadi sindiran tajam. “Heran deh. Suamimu mampu, tapi kamu malah betah jadi jongos di rumahku.”
Hinaan itu menusuk, tapi Nisa menanggapinya dengan senyum tipis. Ia tak ingin memperkeruh suasana. Azhar di sampingnya menahan amarah, jemarinya mengepal erat di bawah meja.
Makanan sudah tersaji Bilqis dan Berliana sudah duduk manis menunggu. Nisa kembali ke rutinitasnya, hendak membersihkan lantai atas. Namun teriakan lantang membuat langkahnya terhenti.
“Nisa! Apa yang kamu lakukan, hah!?” bentak Dian. Matanya melotot, suaranya memecah keheningan.
Nisa refleks menunduk, dadanya bergemuruh. Azhar ikut terkejut, begitu juga kedua anak mereka yang langsung memandang dengan wajah takut.
“Ya Allah… semoga bayi dalam kandungan Nisa baik-baik saja,” doa Azhar dalam hati, menahan cemas.
“Kalau lihat aku sama anak-anak lagi makan, jangan bawa alat bersih-bersih ke sini!” hardik Dian kasar.
Azhar tak tahan lagi. Sendok dan garpunya diletakkan dengan bunyi beradu keras. “Dian! Kamu kira ini hutan apa lapangan? Kenapa harus teriak-teriak begitu? Orang sehat saja bisa jadi tuli kalau tiap hari dengar suara kamu!” kesalnya.
Dian memutar bola mata, tak peduli pada omelan suaminya. “Kalau dia teledor gitu bisa bikin makanan terkontaminasi! Mau keluarga kita sakit gara-gara dia?” balasnya ketus.
“Maaf, Nyonya. Maaf Tuan. Itu salah saya,” ucap Nisa cepat dengan kepala tertunduk. “Nyonya nggak salah, semua karena saya yang kurang hati-hati.”
Dian mencibir. “Tuh kan! Nisa aja nggak keberatan aku teriak. Lah kenapa Mas yang kebakaran jenggot. Jadi nggak penting banget marah-marah segala.”
Nisa buru-buru menambahkan, “Saya janji nggak akan ulangi. Maaf kalau sudah bikin suasana jadi nggak enak.”
“Hemm. Semoga aja ke depan kamu nggak kerja asal-asalan. Jangan mentang-mentang cuma sebulan di sini,” ejek Dian lagi.
Sesudah itu, ia langsung memerintah seenaknya. “Nisa, simpan tuh alat bersih-bersih. Terus masuk ke kamar aku, siapin semua pakaian yang mau aku bawa. Jangan ada yang ketinggalan!”
“Baik, Nyonya Muda,” jawab Nisa lirih.
Azhar menatap istrinya yang berjalan pergi dengan hati teriris. Rasanya ingin berdiri membela, tapi ia tahu kalau ditunjukkan terang-terangan justru bisa membuka rahasia mereka.
Azhar duduk kaku di kursinya, napasnya terasa sesak. Matanya mengikuti punggung Dian yang berlalu dengan sikap pongah.
Di dalam hatinya, amarah dan sedih bercampur jadi satu. Baginya, yang barusan terjadi bukan sekadar teriakan, tapi penghinaan yang menikam jantungnya. Nisa diperlakukan seperti barang tak bernilai padahal perempuan itu sedang mengandung anaknya juga.
“Ya Allah… sampai kapan aku harus lihat dia diperlakukan kayak begini? Aku pengen bela, pengen bilang kalau Nisa nggak salah, tapi kalau aku kelewatan, Dian bisa curiga. Rahasia ini bisa terbongkar dan nasib Nisa dan calon anak kami menjadi korbannya kapan saja,” batinnya gelisah.
Jemarinya mengepal di atas meja, menahan dorongan untuk bangkit.
Sementara itu, Nisa menunduk sambil mengatur napas. Ia tahu tubuhnya rapuh, tapi hatinya berusaha tetap kuat.
“Aku harus lebih banyak bersabar. Semua demi calon anakku, demi keadaan yang nggak boleh semakin kacau. Aku nggak boleh bikin mas Azhar tambah susah,” batinnya lirih.
Setiap langkahnya ke arah luar terasa berat, tapi ia paksa senyum tipis ketika berpapasan dengan anak-anak dari suaminya yang masih menatapnya dengan rasa takut.
“Nggak apa-apa, Nak… Bunda baik-baik saja,” gumamnya dalam hati, walau jelas dadanya masih bergemuruh sembari mengusap perutnya yang sedikit membuncit.
Di balik wajah yang seolah pasrah, Nisa tahu hanya satu jalannya: memperbanyak sabar. Ia sadar, setiap kata yang ia telan akan jadi penopang agar badai di rumah besar itu tidak langsung merobohkannya.
Dalam hati ia bertekad,”aku harus pasang CCTV di rumah ini sebelum berangkat ke Lebanon. Aku nggak tenang ninggalin Nisa sama Dian. Kalau sampai dia dzalim, aku nggak akan diam. Demi Nisa, demi bayi kami, aku rela lakukan apapun. Bahkan kalau harus berpisah dengan Dian.”
Malam itu, saat Nisa melipat baju Dian ke dalam koper, Azhar masuk dengan langkah tenang. Begitu pintu tertutup rapat, Nisa langsung berbisik takut-takut.
“Mas, kalau bicara sama Mbak Dian jangan keras-keras. Kasihan anak-anak dengarnya. Aku nggak apa-apa kok, jangan khawatir,” cicitnya.
Azhar menatapnya dalam, suaranya mengecil. “Dia sudah keterlaluan, Sayang. Terlalu menganggap dirinya paling berkuasa. Padahal kamu juga istriku.”
Nisa tersenyum simpul, menatap teduh. “Aku tahu Mas peduli sama aku. Tapi jangan sampai karena aku, rumah ini jadi sering ribut. Anak-anak butuh ketenangan.”
Azhar memeluknya dari belakang, wajahnya menempel di pundak Nisa. “Aku cuma mau kamu aman. Kamu dan bayi kita. Makanya aku minta, cukup sebulan kerja di sini, habis itu pulang kampung.”
Nisa terdiam, hatinya berat meninggalkan Bilqis dan Berliana. Namun akhirnya ia mengangguk. “Aku nurut sama Mas. Kalau itu yang terbaik, aku lakuin.”
Belum sempat suasana larut lebih dalam, pintu berderit. Bilqis muncul dengan mata polos. “Papa, Mama mana?” tanyanya sambil menoleh ke kanan kiri.
Nisa lega bukan main. Kalau tadi yang masuk Dian, habislah mereka. Azhar cepat sigap menggandeng tangan kecil putrinya.
“Mama ada di bawah. Sini Papa antar sekolah sekalian Papa mau ke kantor,” ujarnya sambil tersenyum, menutupi kegugupan barusan.
Setelah Azhar pergi dan Dian juga berangkat ke Jakarta, Nisa kembali ke rutinitasnya. Sambil merapikan mainan, ia menatap langit-langit dengan hati bergetar.
“Ini resiko yang harus aku hadapi sebagai istri kedua. Dari awal aku sudah siap. Semoga Allah jaga pernikahan ini, semoga bisa bertahan sampai tua, sampai Jannah,” gumamnya lirih.
Sore harinya, Nisa duduk bersama Bilqis dan Berliana di ruang bermain. Ia mencoba menyuapi mereka sambil mengajar doa.
“Bilqis, doa makan sudah hafal?” tanyanya lembut.
Anak kecil itu menggeleng polos. “Nenek bilang nggak usah doa, Tante. Langsung makan aja,” jawabnya lugas.
Nisa tercekat, hatinya perih mendengarnya. “Astaghfirullah… ya Allah, kenapa bisa begitu…” gumamnya lirih.
Berliana yang duduk di kursi menepuk hijab Nisa. “Mama cantik, aku mau belajar doa juga,” celetuknya.
Nisa mengangguk, matanya berkaca-kaca menahan haru. Ia lalu melafalkan doa makan pelan-pelan, membimbing tangan mungil mereka yang terangkat.
“Seperti ini ya, nak,” ujarnya sabar.
Berliana tersenyum lebar. “Seperti ini kan, Mama cantik?” serunya polos.
“Pintar,” jawab Nisa seraya mengusap kepalanya anak kecil itu.
Suara anak-anak terbata-bata mengulang doa terdengar di ruangan itu. Meski belepotan, hati Nisa hangat mendengarnya. Ia tahu, tugas kecil ini justru jadi amal paling besar baginya.
Mampir Baca boleh yah kakak novel aku yang baru judulnya: Dijual Suami DiMalam Pertama, Pawang Dokter Impoten dan Terjerat Pesona Ustadz Tampan.
nanti bagaimana nasib anak2nya Pak Mayit.
semngat ya.....
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor