NovelToon NovelToon
Terjerat Cinta Ceo Impoten

Terjerat Cinta Ceo Impoten

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Obsesi
Popularitas:941
Nilai: 5
Nama Author: Nona_Written

"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"

**

Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.

bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..

jangan lupa Follow ig Author
@nona_written

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

25 tidak akan berhenti

Angin senja Bali berembus pelan dari celah-celah kaca jendela ruang kerja Makes yang terletak di lantai dua bangunan proyek yang belum rampung. Aroma cat dan debu semen masih menyatu di udara, namun yang membuat jantung Zhavira berdebar justru adalah kehadiran Makes yang kini tengah duduk di hadapannya, memegang kotak P3K.

"Aku bisa sendiri," ucap Zhavira pelan, matanya menolak bertemu dengan tatapan Makes.

Namun laki-laki itu tidak menggubris. Tangannya yang besar dengan urat-urat yang tegas malah dengan lembut menyentuh pergelangan tangan Zhavira yang sedikit terluka akibat tergores besi tadi siang.

"Jangan banyak gerak, nanti makin perih," katanya singkat, tapi lembut.

Zhavira menelan ludah. Ia sudah berulang kali menegaskan pada dirinya bahwa ia datang ke sini hanya untuk bekerja, untuk melanjutkan hidup, bukan untuk membuka luka lama yang belum sembuh. Namun setiap kali Makes mendekat, setiap kali mereka berada dalam satu ruangan seperti ini... dunianya seolah kembali mengambang di antara masa lalu dan kemungkinan yang belum selesai.

"Masih suka nekat, ya," gumam Makes saat menyemprotkan cairan antiseptik, membuat Zhavira tersentak pelan karena perih.

"Hanya luka kecil," balasnya. "Bukan yang paling sakit dalam hidupku."

Ucapannya menggantung di udara. Membeku. Menyisakan ruang hening yang lebih menyakitkan daripada teriakan.

Makes menunduk, menyadari makna yang tersimpan dalam kalimat itu. "Zha... kamu tahu aku nyari kamu sampai ke rumah orang tuamu."

Zhavira memalingkan wajah. "Aku tahu."

"Mereka bilang kamu nggak mau ditemuin. Padahal... aku cuma mau jelasin semuanya, aku gak mau kamu pergi dengan salah paham."

Sunyi lagi. Ruangan itu hanya diisi detak jam dinding dan napas yang tertahan. Makes menempelkan plester di lukanya, lalu menarik tangannya pelan. Namun matanya tak lepas dari wajah perempuan itu.

Sejak hari kecelakaan kecil itu, semuanya mulai terasa berbeda. Mereka lebih sering bertemu. Lembur bersama karena proyek yang makin padat, makan malam seadanya di meja kerja, bahkan sesekali tertawa karena candaan ringan para tukang bangunan. Tapi di balik semua itu, ada jarak yang tetap terasa. Jarak yang diciptakan oleh masa lalu dan luka yang belum selesai dijahit.

 **

Suatu malam, lembur kembali mempertemukan mereka di ruang rapat kecil. Zhavira menatap layar laptop, sedangkan Makes duduk di seberangnya dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku. Rambutnya sedikit acak-acakan, menandakan betapa lelahnya hari itu.

"Aku masih ingat waktu kamu bilang ingin bangun bangunan yang bisa 'bernafas'," ujar Zhavira tiba-tiba, matanya masih pada layar.

Makes tersenyum. "Konsep hijau, sirkulasi alami. Kamu dulu yang pertama kali nemuin istilah itu, ingat?"

Zhavira hanya mengangguk pelan. Lalu diam. Lalu kembali sibuk.

Namun Makes menatapnya lekat. “Kamu nggak tahu, setiap kali aku lihat desainmu yang lama, aku selalu ngerasa... kamu masih ada di sini. Di kepala, di setiap garis fondasi yang aku buat.”

"Jangan, Makes..." bisik Zhavira. Ia menutup laptop pelan. "Jangan membuatku ragu lagi."

"Aku nggak mau kamu ragu. Aku cuma ingin kamu tahu, aku masih di sini. Masih menyesal, masih berharap, dan... masih cinta."

Zhavira menggigit bibirnya. "Aku belum bisa, Makes. Aku belum selesai memaafkan semuanya. Bukan cuma kamu, tapi juga diriku sendiri."

"Kalau gitu... izinkan aku tetap di sini. Sampai kamu siap."

 **

Sejak malam itu, Makes tidak pernah memaksa. Ia tetap memperlakukan Zhavira sebagai rekan kerja profesional—dengan sesekali perhatian yang terlalu tulus untuk disebut biasa. Saat Zhavira pulang lembur, ia selalu memastikan ada ojek proyek yang mengantar. Saat hujan, Makes akan diam-diam menaruh jasnya di kursi Zhavira. Saat makan siang telat, ia akan menyelipkan roti dan susu di meja kerja Zhavira.

Zhavira mengetahuinya. Semuanya. Tapi ia hanya diam. Karena hatinya masih bimbang. Luka itu masih belum benar-benar sembuh.

Namun setiap malam, saat menatap langit kamar kosnya yang sederhana, Zhavira tahu satu hal—perasaan itu belum mati. Ia hanya tertidur. Menunggu saat yang tepat untuk bangun kembali.

Dan mungkin, malam ini… saat Makes tanpa sadar tertidur di sofa kantor dengan kepala miring dan nafas teratur, setelah lembur panjang mereka, Zhavira tahu bahwa pelan-pelan… dia mulai goyah.

**

Senja di Bali membawa angin yang lebih hangat dari biasanya. Langit berwarna jingga menyapu kaca jendela apartemen kecil yang disewa Zhavira selama proyek berlangsung. Di meja makan kecil yang hanya cukup untuk dua orang, dua gelas kopi sudah hampir dingin. Salah satunya masih penuh—kopi hitam pekat milik Makes yang sejak tadi hanya ia sentuh sedikit.

Zhavira duduk di hadapannya, tangan kirinya terbalut perban tipis yang masih membekas akibat kecelakaan kecil dua hari lalu. Namun lebih dari luka di kulit, ada yang jauh lebih sulit pulih—luka di hatinya. Luka yang masih belum selesai dibereskan.

Makes menatap perempuan itu dalam diam. Zhavira tampak sibuk dengan laptopnya, padahal jelas fokusnya melayang entah ke mana. Tidak ada kalimat manis, tidak ada godaan yang dulu mudah ia lontarkan. Tidak ada keberanian untuk menyentuhnya lebih dari sekadar perhatian singkat.

Namun kehadiran Makes kini nyaris menjadi rutinitas. Setiap malam, selepas pekerjaan proyek, ia datang membawa makanan, mengisi air galon, bahkan sempat mencuci piring saat Zhavira lupa. Semua dilakukan tanpa pamrih, namun bukan tanpa harap.

Zhavira tahu.

"Aku nggak pernah undang kamu datang setiap malam," ucap Zhavira akhirnya, suaranya pelan tapi cukup menusuk.

"Aku tahu." Makes menjawab dengan tenang. "Tapi aku nggak bisa pergi kalau tahu kamu sendirian di sini, kerja lembur, tanganmu masih sakit."

Zhavira menutup laptopnya. Wajahnya datar, tapi matanya menyimpan sesuatu yang tidak bisa dibohongi—letih. Bukan letih karena pekerjaan, tapi karena perasaan yang belum ia temukan jawabannya.

"Aku nggak bisa janji apa-apa, Makes."

"Aku nggak minta janji." Makes bersandar di kursi. "Aku cuma pengin ada di dekat kamu. Itu aja."

Hening kembali mengisi ruangan mungil itu. Tapi tidak ada rasa canggung. Yang ada hanya dua hati yang dulu pernah hangat bersama, kini sama-sama mencari arah.

"Aku takut," bisik Zhavira kemudian.

Makes menoleh. "Takut apa?"

"Takut semua ini cuma pengulangan. Takut kalau kamu berubah lagi saat kamu merasa semuanya sudah aman. Aku terlalu lelah untuk jatuh cinta dan patah lagi, Makes." Nada suaranya bergetar. "Aku terlalu sayang sama kamu untuk mengulang semua kesalahan."

Seketika Makes berdiri dari kursinya, berjalan pelan ke arah Zhavira. Ia jongkok di hadapan perempuan itu, menatap mata beningnya yang kini sedikit berair. Ia tidak memaksa. Tidak mengangkat tangan untuk menyentuh pipinya. Ia hanya ingin terlihat jujur.

"Aku berubah, Zha. Aku tahu aku kehilanganmu karena kebodohanku. Dan aku nggak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua ini, meskipun kamu belum siap memberi. Aku akan tetap tunggu. Aku di sini bukan buat mengulang luka, tapi buat sembuhin kamu. Kalau kamu izinkan."

Zhavira menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang menggenang di dadanya. Hatinya bimbang. Ada bagian dalam dirinya yang ingin memeluk laki-laki itu dan mengatakan “aku juga masih cinta.” Tapi ada bagian lain yang terlalu takut untuk mempercayai lagi.

Tiba-tiba, suara notifikasi dari ponsel Makes memecah momen itu.

"Lembur lagi malam ini?" tanya Zhavira, setengah bercanda, setengah menghindar.

Makes tersenyum kecil. "Kalau kamu ikut, aku pasti semangat dua kali lipat."

Zhavira menghela napas sambil tersenyum samar. "Ayo, Pak CEO. Kita kerja, sebelum kamu jadi alasan aku nggak profesional."

Mereka tertawa kecil—canggung, tapi nyata.

Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, mereka kembali tenggelam dalam layar laptop, laporan proyek, dan secangkir teh manis. Namun berbeda dari sebelumnya, malam ini ada yang mulai mencair. Tatapan mereka tidak lagi hanya berisi rindu, tapi juga harapan.

Dan meski Zhavira belum siap mengatakan ya, Makes tahu—hatinya telah mengetuk pintu yang sama, hanya menunggu waktu untuk dibukakan kembali.

1
Kei Kurono
Wow, keren!
Nona_Written: ❤️❤️ terimakasih
total 1 replies
ladia120
Ceritanya keren, jangan sampai berhenti di sini ya thor!
Nona_Written: makasih, bantu vote ya 😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!