NovelToon NovelToon
Suami Masa Depan

Suami Masa Depan

Status: sedang berlangsung
Genre:Tunangan Sejak Bayi / Aliansi Pernikahan / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Romansa
Popularitas:981
Nilai: 5
Nama Author: Tsantika

Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.

Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hidangan Makan Malam

Notifikasi dari ponselnya membuat Aruna menunduk. Serangkaian pesan dari Bagas muncul di layar.

[Ibu ingin makan malam sama kamu. Kamu bisa?]

[Kamu di mana? Aku jemput.]

[Ibu pengen ketemu. Kita makan malam bareng, ya.]

Aruna mengerutkan dahi. Ia mendesah pelan dan mengetik balasan setengah hati, lalu menghapusnya. Kemudian menatap layar lagi dengan wajah malas seperti anak kecil yang diminta les tambahan di hari libur.

Tania meliriknya dari samping. “Eh, Na, makan di mana kita nanti? Sushi atau BBQ?”

Aruna tersentak. “Maaf, Tan… aku nggak bisa ikut makan. Ada urusan penting di rumah.”

Tania dan Nadia bersamaan mengerutkan kening. “Yah, sayang banget…”

Windi langsung bersuara, “Mau aku anterin?”

Aruna buru-buru menggeleng. “Nggak usah. Beneran, aku bisa sendiri kok. Maaf banget.”

Ia mengangkat tas belanjaannya, lalu berjalan cepat keluar bioskop sambil menatap ponsel. Pesan terakhir dari Bagas masih terpampang:

[Aku udah di mal.]

Langkah Aruna semakin cepat. Di antara keramaian pengunjung sore itu, ia bisa melihat siluet seseorang bersandar santai di mobil, mengenakan jaket kasual dan senyum menunggu—Bagas.

Dan dalam hatinya, Aruna masih mengeluh, “Kenapa sih ngajaknya mendadak?”

Namun di balik itu, pipinya sedikit memerah, dan entah mengapa, langkahnya terasa lebih ringan dari sebelumnya.

Bagas berdiri di dekat Pak Anwar ketika Aruna datang menghampiri, wajahnya datar namun matanya menyiratkan protes.

“Bagus banget, ya,” sindir Aruna sambil melipat tangan di dada. “Nggak bisa lebih mendadak lagi ngajaknya?”

Bagas menahan tawa. “Ibu tiba-tiba tanya kamu ada di mana, pengen makan bareng. Aku coba hubungi kamu tapi nggak dibales-bales.” Ia melirik ke arah Pak Anwar. “Akhirnya nanya ke Pak Anwar, katanya kamu ke mal.”

Aruna mengangkat ponselnya. “Aku lagi nonton film, ya nggak bisa buka pesan dong.”

Bagas mengangguk, pura-pura bijak. “Ya udah, bisa sekarang?”

Aruna mendecak pelan. “Sekarang memang udah waktunya makan malam, kan?” katanya dengan nada dramatis, seolah-olah menyerah pada takdir yang sudah tertulis.

Bagas membuka pintu mobilnya dengan gaya. “Yuk, masuk.”

Aruna melirik ke arah Pak Anwar. “Aku pulangnya sama Pak Anwar, loh.”

Bagas tersenyum, santai dan penuh percaya diri. “Tenang, Pak Anwar udah aku minta izin. Aku yang antar kamu pulang nanti.”

Aruna menghela napas, seolah ini hal terberat dalam hidupnya. Tapi kemudian dia melangkah ke mobil Bagas tanpa protes lagi, sambil bergumam pelan, “Nggak bisa nolak kalau udah kayak gini, ya…”

Dan di balik wajah sok kesalnya, pipi Aruna sedikit merona.

Bagas melirik ke arah Aruna yang duduk di sebelahnya dalam mobil, wajahnya sedikit manyun. “Kamu marah, ya?” tanyanya pelan, mencoba membaca suasana hati Aruna.

Aruna mendengus pelan. “Menurutmu, wajahku ini kelihatan bahagia?” Ia menyilangkan tangan di dada, menatap lurus ke depan. “Aku cuma… kesal aja. Acara makan sama teman-temanku batal. Tapi ya sudahlah.” Nada suaranya mulai melunak. “Sebenarnya aku juga pengin ketemu Tante Widuri. Aku senang beliau udah sembuh.”

Bagas tersenyum kecil. Ia tahu Aruna bukan tipe yang gampang bilang kangen—apalagi ke orang tuanya.

Sesampainya di restoran, Aruna melangkah masuk dengan langkah agak ragu. Restoran itu terlalu mewah untuk seseorang yang masih berseragam sekolah lengkap dengan jaket kasual. Ia melirik ke cermin dekoratif di dinding dan mendesah.

“Kenapa setiap kali makan bareng keluarga kamu, aku selalu salah kostum, ya?” gumamnya, separuh kesal, separuh malu.

Bagas tertawa renyah, suaranya memantul ringan di ruang lobi. “Harusnya kamu bilang dari tadi, aku bisa mampir dulu ke butik, milih dress yang cocok.” Ia mengedipkan mata iseng.

Aruna mencibir sambil menahan senyum. “Dan kamu pikir aku sempat catwalk dulu?”

Bagas mengangkat bahu. “Kalo demi kamu, sempatin sih bisa aja.”

Aruna menoleh padanya, kali ini tak bisa menyembunyikan senyumnya. “Kamu sok banget, deh.”

Bagas tertawa lagi. Tapi dalam hati, dia bersyukur. Karena walau malam itu berawal dari serangkaian ketidaksengajaan, akhirnya mereka bisa berjalan berdampingan—masuk ke restoran, seperti pasangan yang sudah saling tahu irama langkah satu sama lain.

Aruna menunduk sopan, menyapa kedua orang tua Bagas dengan senyum ramah.

“Maaf, Tante, Om… aku agak terlambat,” ucapnya sambil duduk setelah Bu Widuri mempersilakan.

“Tidak apa-apa, Nak Aruna. Tante senang kamu bisa datang,” kata Bu Widuri sambil tersenyum hangat, tangan keriputnya menepuk punggung tangan Aruna. Suasana makan malam terasa hangat meski baru dimulai.

Namun, ketenangan itu buyar seketika saat suara gaduh terdengar dari salah satu meja tak jauh dari mereka. Beberapa pengunjung mulai menoleh, dan kepala pelayan tampak gelisah.

"Papa nggak bisa pisahin aku dengan Mama. Dimana Mama?!"

Aruna ikut menoleh. Di sana, seorang gadis yang ia kenal langsung—Aletta—berdiri dengan wajah merah padam, napas tersengal karena emosi. Suaranya nyaring dan gemetar, menyerang pria setengah baya yang duduk berhadapan dengannya.

“Mamaku di mana?!” teriak Aletta histeris. “Kenapa Papa sembunyikan dia dariku?! Kalian bawa ke mana mamaku?!”

Wajah Pak Raffi, pria itu—yang tak lain adalah ayah Aletta—tetap tenang namun tegang. Sorot matanya tak bisa menyembunyikan rasa bersalah.

Bagas dan kedua orang tuanya saling bertukar pandang. Mereka jelas mengenali keluarga Aletta, sebagaimana Aruna juga tahu siapa mereka. Semua seolah membeku melihat kemarahan yang meledak di ruang publik.

Lalu, seorang perempuan setengah baya dengan dandanan rapi menghampiri Aletta, memeluk bahunya, dan mencoba menenangkannya.

"Cukup, Aletta. Mama di sini." Suaranya lirih, tapi tak cukup menenangkan. Aletta terus memberontak sebelum akhirnya mulai melemah. Tubuhnya gemetar, air matanya jatuh tak tertahankan.

Aruna berdiri refleks, ragu-ragu ingin melangkah atau tidak. Saat itulah, mata Aletta bertemu dengan matanya.

Sekilas. Namun cukup lama untuk mengirim pesan tanpa kata.

Pandangan Aletta bukan marah, bukan pula memohon. Hanya satu sorot: luka yang dalam—dan sebuah tudingan diam-diam. Seolah Aruna tahu semuanya. Seolah Aruna mengasihani. Dan itu, justru membuat luka Aletta terasa lebih menyakitkan.

"Kamu tahu segalanya, Aruna? Kamu puas sekarang."

Aletta memalingkan muka, mengikuti perempuan itu pergi. Suasana restoran kembali sunyi, meski tak bisa kembali seperti semula.

Aruna perlahan duduk kembali, perasaannya campur aduk. Ia merasa asing di antara piring-piring mewah dan senyum-senyum basa-basi. Dan diam-diam, ia sadar—di dunia remaja mereka yang tampak mudah dan penuh canda, ada luka-luka besar yang belum selesai.

Dari kejauhan, Aruna memperhatikan Pak Raffi bergegas pergi dari restoran, diapit oleh ajudannya dan seorang perempuan muda berpakaian elegan yang barangkali menjadi penyebab utama badai keluarga itu. Langkah mereka cepat, seperti ingin melarikan diri dari sorotan, tapi terlambat—semua mata sudah menilai.

Pak Pratama, ayah Bagas, hanya menghela napas panjang sambil mengusap dagunya yang mulai beruban. Ia menggeleng pelan, menatap pintu restoran yang baru saja tertutup di belakang keluarga Raffi.

“Aletta itu anak yang manis…” gumamnya lirih. “Sayang, orang tuanya yang menghancurkannya.”

Suasana meja makan menjadi canggung sejenak.

Bagas memecah keheningan sambil melirik Aruna. “Yuk, makan dulu sebelum anak SMA ini berubah jadi Godzilla karena lapar.” Ia sengaja bersuara ringan, mencoba mengembalikan tawa ke meja makan.

Pak Pratama mengalihkan pandangan pada putranya. “Kamu mengajar di kelas Aletta, kan? Seperti apa Aletta di sekolah?”

Bagas meletakkan sendoknya sejenak dan berpikir. “Dia masih beradaptasi. Pendiam, tapi kelihatan pintar. Hanya saja... seperti masih menarik garis batas dengan semuanya.”

Aruna mengangguk setuju. “Iya, Aletta satu kelas denganku. Aku juga merasa begitu. Dia sopan, tapi ada jarak. Kayak... dia pasang tembok.”

Bu Widuri yang sedari tadi memperhatikan Aruna dan Bagas berbicara, tiba-tiba menyahut dengan suara pelan namun tajam.

“Dulu Tante ingin punya anak seperti Aletta. Cantik, anggun, dan pintar. Sayang, sekarang dia berubah. Anak yang seperti itu... pasti menyimpan luka besar.”

Tak ada yang langsung membalas. Suasana makan malam itu menjadi semacam simfoni diam—dipenuhi sendok menyentuh piring, dan pikiran masing-masing yang sibuk menebak isi hati Aletta.

Makanan mulai disantap, suasana perlahan kembali hangat setelah percakapan soal Aletta berlalu. Bu Widuri menatap Aruna dengan sorot mata lembut namun tajam—sebuah tatapan khas seorang ibu yang bisa membedakan mana cinta yang manis dan mana yang penuh pura-pura.

"Aruna," sapanya dengan senyum terselip makna, "Bagas itu gimana sikapnya ke kamu?"

Sendok di tangan Aruna berhenti di tengah jalan. Ia melirik Bagas sekilas. Bagas justru tersedak air minum, batuk-batuk kecil dengan canggung. Pak Pratama hanya mengangkat alis, menatap putranya seperti hendak berkata "Tuh, ketahuan."

Aruna menghela napas pendek, lalu tersenyum kecil. “Mas Bagas... baik, Tante. Cuma... sering banget ngasih aku PR.”

Semua di meja menoleh pada Bagas yang buru-buru memasang wajah polos.

“Serius,” lanjut Aruna, kali ini sambil tertawa, “tiap ketemu pasti ada tugas. Aku sampai mikir, ini pacaran atau les privat?”

Suasana meja langsung pecah dengan tawa.

Bagas mengangkat tangan seolah membela diri. “Itu bentuk perhatian, Bu. Masa aku guru di sekolah, tapi nggak kasih PR buat tunangan sendiri? Bisa diremehkan guru lain.”

Pak Pratama geleng-geleng. “Strategi bertahan hidup sebagai guru muda, ya?”

Bu Widuri tertawa, tapi matanya masih mengamati Aruna dengan penuh perhatian. “Tapi bener ya, kalau ada apa-apa, bilang ke Tante. Jangan dipendam.”

Aruna mengangguk pelan, “Siap, Tante.” Ia menambahkan dengan senyum nakal, “Kalau PR-nya sudah kelewat batas, aku akan lapor langsung.”

Bagas menatap Aruna dengan ekspresi geli bercampur pasrah. Malam itu, meski dimulai dengan drama dari meja lain, berakhir dengan hangat—seperti sup yang tepat saat hujan. Ada tawa, ada perhatian, dan secuil kenyamanan yang membuat Aruna merasa... mungkin, untuk saat ini, semuanya masih baik-baik saja.

1
sweet_ice_cream
love your story, thor! Keep it up ❤️
🔍conan
Baca ceritamu bikin nagih thor, update aja terus dong!
Beerus
Buku ini benar-benar menghibur, aku sangat menantikan bab selanjutnya, tetap semangat ya author! ❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!