NovelToon NovelToon
Kurebut Suamiku

Kurebut Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:9.7k
Nilai: 5
Nama Author: megatron

Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.

Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.

Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.

Lantas, dapat kah Lania mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Percayalah Padaku

Lania berdiri di ambang pintu kamar, memperhatikan Sagara yang duduk membelakangi jendela, lampu kamar remang, punggungnya tampak kaku. Sejak pulang lebih awal, pria itu tidak hadir secara nyata—pikirannya entah tertinggal di mana.

“Sudah makan?” suara Lania pelan, menatap lekat punggung lebar suaminya. Dia curiga ada yang tidak beres, pasti terjadi sesuatu saat di luar kota.

Intuisi sebagai istri jarang meleset, Lania menghampiri Sagara. Menepuk pundak ringan, diusap lembut agar tidak terlalu tegang. Dia harus bisa menarik perhatian sang suami, ingin tahu apa yang membebaninya.

Secara ajaib bahu datar dan lebar Sagara terlihat lebih rileks, pria itu berbalik badan. Memandang Lania begitu dalam, seperti hendak menyentuh hatinya.

Tanpa bicara lengan kokoh Sagara menarik bahu Lania, melingkari tubuh kecilnya dengan kehangatan bagai menyatukan jiwa.

“Are you okay?” tanya Lania lembut, jemari bebasnya mengusap punggung bagian bawah Sagara naik-turun.

Kurang lebih selama lima menit posisi mereka berpelukan, lebih seperti Sagara-lah yang memeluk erat-erat. Barangkali butuh untuk menjaga keseimbangan, lantas berlama-lama mengecup ubun-ubun Lania.

“Aku gak akan paksa kamu buat cerita ke aku, Ga.” Sehalus mungkin, Lania mengutarakan pikiran. “Yang terpenting pola makan dan istirahat mu tidak terganggu. Akhir-akhir ini kamu tidak makan dengan benar, sering telat malahan.”

Sagara tidak langsung menjawab. Dia mengganjur napas dalam-dalam, seraya berkata, “Belum lapar. Tidak cukup lelah untuk mengistirahatkan badan.”

Lania mendongak, melihat langsung ke dalam iris mata cokelat gelap Sagara. Pelukan sang suami mengendur, dia gunakan kesempatan itu untuk mengusap lembut dahi—bergantian—membandingkan suhu tubuh masing-masing.

“Kamu sakit?” tanya Lania khawatir, sembari menempelkan punggung tangan ke rahang suaminya.

Tanpa respons—tidak ada tanda-tanda penolakan maupun jawaban, Lania makin gusar.

Jangkung Sagara terlihat naik—turun, sesaat ketika hendak mengatakan. “Aku cuma... butuh waktu lebih lama untuk terjaga.”

Itu kalimat yang sama, yang sudah dia ulang berkali-kali selama tiga hari terakhir.

Senyum pemakluman berusaha Lania tunjukkan. Dia mengamati wajah suaminya. Ada yang terpancar dari sorot mata Sagara—sesuatu yang rumit.

Sebab, biasanya, meski sedang lelah atau jengkel, Sagara selalu mengutarakan isi hati dengan gamblang. Tatapan dalamnya kali ini sedikit menakutkan, bagaikan kabut kelam.

Tangan terulur, memegang kedua pipi Sagara—menarik perlahan sampai menunduk, kemudian bibir mungil Lania mendarat di kening. Tak lama, tetapi sangat menentramkan.

Tiba-tiba, Sagara berjingkat pelan. Seakan-akan sentuhan Lania sepanas bara. Pria itu berbalik badan menghadap jendela. Remang cahaya taman memantulkan bayangan samar dari luar.

Lania memperhatikan punggung lebar itu—punggung yang biasanya tampak tegap kini sedikit membungkuk. Tak kuasa memukul beban yang belum Lania ketahui.

Dari jarak yang terlihat dekat, tetapi terasa jauh—Sagara mengepalkan tangan di sisi tubuh. Agaknya ingin mengungkapkan sesuatu. Namun, tidak yakin terhadap diri sendiri. dia tidak tahu apakah sudah menyakiti Lania atau belum. Dia merasa kotor.

“Aku butuh waktu.”

Lania terdiam dan mengangguk, walau hati mulai gundah.

“Baik. Aku akan kasih kamu waktu.”

Dan untuk kedua kalinya sejak pernikahan mereka, sunyi di antara mereka terasa seperti tembok yang nyata.

Jika terus begini, keluarga kecilnya tidak bisa bertahan lama, Lania harus mengawalinya. Menunggu itu melelahkan, dia bisa meyakinkan Sagara. “Apa pun yang sedang kamu pikirkan saat ini, ingatlah satu hal... aku siap menerima keputusan akhirnya. Akan selalu menyediakan ruang—tempat yang nyaman untuk mu bertukar pendapat. Berbagai suka duka, menjadi rumah bagimu di kala lelah.”

Secepat kilat, Sagara berbalik arah. Dia mengambil langkah lebar, berjarak satu jengkal dengan istrinya.

“Aku tau ... dan satu janjiku, bahwa aku tidak akan pernah mengecewakan mu, Lania.” Setelah mengatakan itu, Sagara mempersempit jarak. Menarik dagu Lania dan menyatukan bibir—kian lama kian dalam—sampai hampir kehabisan napas. “Percayalah padaku, hanya itu yang paling ku butuhkan.”

Bibir ranum akibat kecupan mencoba tersenyum —tetapi senyum itu hancur sebelum terbentuk. Lania menatap Sagara lama, seolah-olah menuntut lebih banyak penjelasan. Ritme jantungnya berdetak kencang—bersiap mengajukan pertanyaan ... tapi akhirnya hanya mengangguk pasrah.

“Terima kasih.” Sekali lagi, Sagara mendekap Lania.

Akan tetapi, justru dari situ Lania tahu, kegelisahan Sagara jelas menyangkut dirinya. Tentang mereka dan entah mengapa, merasa bersalah atas sesuatu yang tak dia ketahui.

“Baiklah, ayo sekarang kita makan.” Lania akhirnya angkat suara. “Besok waktunya kontrol ... kalau kamu sib—”

“Jam berapa, aku akan kosongkan jadwal.” Sagara memotong. “Aku juga mau tau perkembangan baney.”

“Baney?”

“Baby Honey.”

Senyum benar-benar mengembang, Lania memeluk Sagara. Campuran rasa bahagia dan penasaran atas kelakuan sang suami akhir-akhir ini.

Dentingan sendok dan garpu yang beradu lembut di atas piring terdengar di ruang makan. Lampu gantung di atas meja makan menggantung rendah, memancarkan cahaya hangat kekuningan yang membingkai wajah Lania dan Sagara dalam bayangan-bayangan halus. Aroma sup ayam buatan Lania menguar pelan, menyatu dengan wangi melati dari teh di gelas mereka.

Lania duduk di seberang Sagara, sesekali meliriknya dengan senyum kecil yang terjaga.

“Aku senang kamu bisa pulang lebih awal sekarang,” katanya lembut, suaranya bagai bisikan angin malam.

Sagara membalas senyum itu, meski matanya terlihat sedikit kosong. Dia tampak kelelahan, tetapi mencoba hadir sepenuhnya.

“Maaf kalau aku agak diam. Hari ini… agak berat,” jawabnya, tangannya masih menggenggam sendok yang setengah terangkat.

Lania tak membalas, hanya mengangguk paham. Mereka makan dalam keheningan yang nyaman, meski ada sesuatu yang tak terucapkan menggantung di antara mereka.

Beberapa saat kemudian memilih beristirahat, kamar mereka dipenuhi temaram lampu tidur. Lania sudah lebih dulu tertidur, wajahnya damai di atas bantal, napasnya pelan dan teratur. Sagara menyusul, rebah dengan berat, seperti tubuhnya baru saja menyerah pada gravitasi. Dia menoleh sebentar ke arah Lania, menarik selimutnya lebih rapat, lalu memejamkan mata.

Namun, tidur Sagara tak tenang.

Di dalam mimpinya, dia berada di sebuah ruangan hotel yang lalu, remang-remang. Nafasnya memburu. Di hadapannya, Adisty berdiri — mengenakan gaun tipis, senyum misterius menggantung di bibirnya.

“Aku tahu kamu merindukan ini, Sagara…” ucap Adisty sambil mendekat.

Sagara ingin mundur, ingin menolak, tetapi tubuhnya seperti tak bergerak.

Jari-jari Adisty menyentuh pipinya, turun ke leher, lalu menyusuri dadanya. Nafasnya tersengal. dia merasa terbakar oleh sentuhan itu, dibelenggu oleh rasa bersalah yang menyusup seperti asap hitam.

Adegan dalam mimpi melesat cepat — kini tubuhnya dan Adisty telah menyatu, dalam peluh dan bisikan yang samar. Namun, semua terasa salah. Suara Lania menggema dari kejauhan, seperti panggilan dari dunia nyata, yang tak bisa dia jangkau.

1
partini
what the hell ,aihhh bad no good
partini
sehh pelakor di atas angin emang lain
Miu Nuha.
bagus othor ceritanya ☺
,, membangun konflik dn dialog itu gk mudah loh 🤧🤧 tpi ini bagus 👍
Miu Nuha.
dengkus? dengus keknya yaa 🤔
Mega: Terima kasih sudah mampir, kawal sampai tamat ya, luv luv luv more.
total 2 replies
Miu Nuha.
Lania udh hamil loh sagara 🙄🙄
Miu Nuha.
Adisty memanfaatkan hilang ingatan sagara 😩😩
Be___Mei
Nah! Kan! Ular emang. Perempuan kek begini lahir nggak bawa urat malu.
Be___Mei
Dih, nyari muka mulu ni orang
Be___Mei
Cakep Lania ihh. Tenang tapi nyimpen bom waktu.
Be___Mei
Adisty ni ibarat kucing garong yang ngincer makanan kucing lain, perlu dikandangin ni perempuan 😤
Be___Mei
Kerasa banget capeknya pasangan ini 🥺
Be___Mei
lah... Lania bukan Author yang bikin alur cerita ini. Napa jadi nyalahi Lania?? 🤨
Be___Mei
Lah, ini lagi cerita abaaanggghh!!
Be___Mei
Balik lagi ni cewek. Ada fotonya nggak kak Mega? Aku bantu santet deh 😏 mainnya licin banget kek ikan lele
Mega: ada fotonya, nanti aku kirimi Kikikik
total 1 replies
Be___Mei
Gosong dah si Sagara. Coba sabar dulu banggg, kamu tu mudah kepancing sama kabar receh nggak jelas dari Adisty. Ckckkck ...
Elisabeth Ratna Susanti
nah lho........
Memyr 67
𝗄𝖾𝗍𝗂𝗄𝖺 𝗄𝖾𝖻𝗈𝖽𝗈𝗁𝖺𝗇 𝗌𝖺𝗀𝖺𝗋𝖺 𝗆𝖾𝗇𝗀𝖺𝗆𝖻𝗂𝗅 𝖺𝗅𝗂𝗁
Memyr 67
𝗅𝖺 𝖻𝖾𝗀𝗈 𝗃𝗎𝗀𝖺 𝗌𝖺𝗀𝖺𝗋𝖺. 𝗍𝖺𝗎 𝗄𝗁𝖺𝗐𝖺𝗍𝗂𝗋 𝗌𝖺𝗆𝖺 𝗂𝗌𝗍𝗋𝗂𝗇𝗒𝖺, 𝗄𝖾𝗇𝖺𝗉𝖺 𝗃𝗎𝗀𝖺 𝗍𝗂𝖽𝖺𝗄 𝗆𝖾𝗇𝗀𝗁𝗎𝖻𝗎𝗇𝗀𝗂 𝗂𝗌𝗍𝗋𝗂𝗇𝗒𝖺 𝗌𝖺𝗆𝖺 𝗌𝖾𝗄𝖺𝗅𝗂?
Memyr 67
𝗌𝖾𝗉𝖾𝗋𝗍𝗂𝗇𝗒𝖺 𝖺𝖽𝗂𝗌𝗍𝗒 𝗀𝖺𝗀𝖺𝗅 𝗅𝖺𝗀𝗂
Memyr 67
𝗌𝖺𝗀𝖺𝗋𝖺 𝗆𝖾𝗇𝗀𝗀𝖺𝗃𝗂 𝗆𝗈𝗇𝗌𝗍𝖾𝗋 𝗎𝗇𝗍𝗎𝗄 𝖻𝖾𝗄𝖾𝗋𝗃𝖺 𝖽𝗂 𝖽𝖾𝗄𝖺𝗍𝗇𝗒𝖺
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!