aku temani dia saat hidupnya miskin, bahkan keluarganya pun tidak ada yang mau membantu dirinya. Tapi kenapa di saat hidupnya sudah memiliki segalanya dia malah memiliki istri baru yang seorang janda beranak 2? Lalu bagaimana denganku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BELUM PULANG
Menjelang pagi, sinar matahari yang malu-malu menyelinap dari sela-sela ventilasi membuat Ramli terbangun. Tubuhnya terasa pegal karena semalaman tertidur di lantai beralas tikar usang. Ia mengucek matanya, lalu mendongak menatap pintu kontrakan yang masih tertutup rapat.
Tak ada suara, tak ada tanda-tanda Wulan dan anak-anaknya kembali.
Ramli langsung berdiri, jantungnya berdegup kencang. Ia segera memeriksa ke kamar, ke dapur kecil di belakang kontrakan, tapi tetap sama — kosong. Hatinya makin tak tenang. Ia mencoba menghubungi Wulan lagi, tapi ponselnya masih tidak aktif.
"Ya Allah… ke mana mereka?" gumam Ramli panik.
Ia berjalan mondar-mandir di dalam kontrakan, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Mungkinkah Wulan pergi dari rumah? Kabur? Atau… kembali pada mantan suaminya?
Wajah Ramli semakin tegang.
Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi.
Ramli masih terduduk lesu di sudut ruangan kontrakan. Matanya sembab karena semalaman tidak tidur, pikirannya terus dipenuhi tanda tanya: ke mana Wulan pergi? Kenapa ponselnya mati? Dan kenapa ia tak pulang semalaman?
Tapi sekuat apapun ia ingin mencari, realita menamparnya keras. Ia harus tetap bekerja. Kalau ia tidak masuk sehari saja, maka gajinya — yang sudah kecil itu — akan langsung dipotong oleh istrinya, Rukayah. Wanita yang dulu selalu setia, kini hanya memberinya satu juta sebulan dari toko miliknya sendiri.
Ramli bangkit, menatap dirinya di cermin kecil yang menggantung di tembok. Wajahnya kusut, rambutnya belum disisir, dan bajunya masih berbau debu dari semalam.
"Aku nggak punya pilihan," gumamnya lirih.
"Kalau aku nggak kerja, makin hancur semuanya."
Ia cepat-cepat mengganti pakaian, menyambar tas kecil yang biasa ia bawa ke toko, lalu melangkah keluar dari kontrakan. Tapi sebelum mengunci pintu, ia menoleh sekali lagi ke dalam ruangan kosong itu. Tak ada jejak Wulan. Tak ada suara anak-anak.
...****************...
Siang hari itu, di balik meja kasir toko material miliknya, Ramli terduduk lemas sambil memegangi perut. Wajahnya pucat, matanya sayu. Sudah hampir tengah hari, tapi belum satu suap makanan pun masuk ke perutnya sejak pagi. Bahkan semalam, ia hanya makan nasi putih yang diutang dari warteg tanpa sepotong lauk pun.
Tubuhnya mulai bereaksi.
Sakit.
Lambungnya seperti terperas. Sesekali ia meringis pelan sambil menahan rasa nyeri yang datang bertubi-tubi dari dalam perut.
Beberapa karyawan melihat Ramli tampak lesu, tapi mereka hanya saling pandang tanpa berani bertanya. Mereka tahu, sejak Ramli menikah lagi dan kehidupannya berubah, ia jarang bicara, jarang tersenyum. Bahkan kadang terlihat seperti orang yang kehilangan arah.
Ramli menunduk, napasnya terengah.
"Duh Gusti... perutku...," desahnya pelan, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
Ia mencoba berdiri untuk mencari air minum di belakang toko, tapi tubuhnya oleng. Ia terpaksa duduk kembali, menahan sakit yang makin menggigit.
Dalam kepalanya, hanya ada satu keinginan: makan. Tapi bagaimana? Uangnya tidak ada. Gaji belum diberi. Dan ia terlalu malu untuk kembali mengutang di warteg yang sama.
Ia menatap ponselnya. Tak ada kabar dari Wulan. Tak ada pesan. Tak ada panggilan. Bahkan sekadar bertanya apakah ia sudah makan pun tidak.
Ramli menunduk lebih dalam, matanya mulai berkaca-kaca.
"Apa aku pantas begini... setelah semua yang kulakukan ke Rukayah dulu? Kenapa semuanya jadi begini?"
Dulu, setiap kali pulang dari toko, Ramli selalu disambut dengan aroma masakan hangat. Di meja makan, sudah tersedia sepiring nasi hangat, sayur kesukaannya, dan lauk yang selalu berganti setiap harinya. Rukayah, istri pertamanya, mungkin bukan wanita yang banyak bicara manis, tapi soal merawat suami—dia tak pernah lalai.
Kalau Ramli terlambat makan, Rukayah akan langsung mengingatkan.
"Pak, makan dulu. Jangan kerja terus, nanti sakit," begitu katanya, sambil menyendokkan nasi ke piring Ramli. Kadang ia duduk menemaninya makan meski dirinya sudah kenyang lebih dulu.
Tapi itu dulu.
Kini, Ramli duduk sendirian di balik meja toko, perutnya kosong, tubuhnya menggigil karena menahan lapar dan sakit. Istrinya yang sekarang, Wulan, bahkan tak sempat bertanya apakah ia sudah makan atau belum. Sejak pagi, Wulan tidak terlihat. Dan beberapa hari terakhir, ia pun lebih sering mengurus dirinya sendiri, seolah lupa kalau Ramli adalah suaminya.
"Kamu kenapa, Pak?" tanyaku melihat suamiku tengah meringkuk di bawah meja kasir, wajahnya begitu pucat dan tanganya terus memegang perutnya. Aku yakin ia pasti belum diberi makan oleh istri mudanya. Dan lambungnya terasa perih.
"Heh, i.. Ibu."
"Kamu kenapa, Pak? Kok kaya lemas begitu?" tanyaku pura-pura walau pun aku tahu ia tengah merasakan perihnya perut. Wajahnya sedikit tertunduk, aku yakin ia pasti malu padaku.
"Ba... Bapak, enggak apa-apa kok, Bu."
"Tapi kok wajahnya pucat?"
"Aku cuma enggak enak badan saja."
"Hoh, kalau tidak enak badan kenapa kerja? Seharusnya kamu bisa istirahat dulu di rumah, minta sama istri mudamu untuk rawat kamu." Ia terlihat salah tingkah dengan ucapanku barusan. Mana mungkin istri mudanya itu peduli kepadanya setelah semua hartanya aku kuasai.
"Bapak masih bisa kerja kok, cu... Cuma perut bapak agak sakit," jawab lirih.
"Sakit kenapa? Kok bisa?"
"Itu... Ba... Bapak belum makan." Tepat dugaanku, ia pasti belum makan karena suami tuaku ini memang punya penyakit asam lambung. Telat makan saja bisa tumbang.
"Kenapa kamu tidak makan? Memangnya istri muda kamu tidak masak?" Ia hanya menggeleng pelan dengan lemah. Lihatlah betapa menyedihkannya dirimu, pak. Inilah akibatnya kalau bermain api di belakangku.
"Ya, sudah. Istirahat saja di dalam biar toko aku yang handle," usulku namun anehnya tatapan matanya begitu menyedihkan. Ia pasti terkejut dengan sikapku yang begitu cuek. Biasanya kalau ia merasa sakit aku langsung merawatnya, tapi kali ini jangan harap aku seperti itu.
"Bu, aku... Aku sakit."
"Terus kenapa kalau Bapak sakit?"
"Biasanya... Kalau bapak sakit, ibu..."
"Suruh istri mudamu rawat kamu yang sakit. Bilang sama dia kalau kamu punya asam lambung!" potongku.
"Bu, kenapa kamu bisa bicara seperti itu sama aku? Aku ini suami kamu loh, aku sakit."
"Tapi kamu punya istri lagi, kan? Suruh dia rawat kamu, jangan mau enaknya saja. Masa sudah berhasil rebut suami orang. Giliran jatuh sakit enggak mau rawat."
"Bu, aku... "
"Sudah sana jangan banyak bicara, tidur sana di kamar belakang!" usirku, aku sudah muak denganya. Tidak ada lagi rasa kasian padanya. Tidak ada lagi rasa perhatian yang biasa aku berikan padanya.
Perlahan ia berdiri, wajahnya terlihat sedih dengan sikapku yang begitu ketus dan dingin. Ia perlahan berjalan ke kamar untuk istirahat. Aku terus menatap punggungnya yang sudah mulai hilang dari balik tembok.