Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania membalas dengan perbuatan yang sama bersama seorang pria bernama Askara, yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Saat tangan Askara menyentuh kulitnya, Rania tahu ini bukan tentang cinta.
Ini tentang rasa. Tentang luka yang minta dibayar dengan kenikmatan. Dan balas dendam yang Rania rencanakan membuatnya terseret ke dalam permainan yang lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sore itu...
Langit sore itu tampak berat. Awan kelabu menggantung seperti kain basah di atas kepala, dan gerimis yang menggigit mulai jatuh di kaca depan mobil operasional Rania. Wiper bergerak lambat, menyapu sisa-sisa hujan yang menempel.
Setelah seharian di kantor pusat, kepalanya terasa penuh. Tubuhnya pun nyaris tidak mampu lagi menopang. Ia pikir, saat makan siang tadi... ia bisa bertemu lagi dengan Askara untuk menghilangkan penat, nyatanya Pertemuan rahasia dibatalkan mendadak karena agenda rapat Askara yang terlalu padat. Mungkin itu yang membuatnya kini loyo, tak bersemangat, karena tak sempat bertemu Askara lagi.
Ban mobil menapak halaman rumah ketika jam hampir menunjukkan pukul lima sore. Dari luar, rumah besar miliknya dan Niko tampak terang. Lampu-lampu sudah menyala, suara orang bercakap-cakap samar terdengar sampai ke luar pagar.
Begitu ia membuka pintu, aroma masakan tercium tajam. Ruang tamu penuh orang. Pak Martin duduk di sofa dengan wajah santai, menyandarkan tubuhnya. Niko di sebelahnya tersenyum bahagia, dan Wulan duduk di karpet, memijat kaki Bu Ayu sambil mengobrol hangat.
Pemandangan itu membuat langkah Rania seketika melambat. Seolah ia tidak sedang pulang ke rumahnya sendiri.
Di tengah riuh suara mereka, tak ada satu pun mata yang menoleh menyambutnya.
Rania tak ambil pusing, matanya langsung mencari satu sosok, Ibra. Ia menemukannya di pojok ruangan. Bocah sepuluh tahun itu duduk di atas bantal, bermain kartu bersama dua sepupunya.
Rania menghela napas, melihat Ibra membuat hatinya langsung sedikit melunak. Tidak peduli dengan suasana yang terasa asing untuk dirinya, ia melangkah cepat ke arah kamar.
“Ran!” Suara Bu Ayu, terdengar tajam di belakangnya.
Langkah Rania terhenti, ia menghela napas sebelum menoleh pada Ibu mertuanya itu.
“Masak untuk kita semua. Ibu lapar. Masakan yang di beli Niko tadi nggak enak,” Ucap Bu Ayu.
Rania mendengus, “Bu, saya capek,” jawab Rania
“Capek?” Bu Ayu mendengus. “Ibra sakit. Kamu pulang malah mau istirahat? Apa kamu nggak punya hati?”
Wulan yang masih setia memijit kaki Bu Ayu tersenyum puas, sedang Pak Martin hanya berdehem kecil, enggan terlibat keributan.
Lalu... Niko ikut menimpali, matanya sinis ketika melihat Rania, “Masak aja, Ran. Jangan dibikin ribut. Gampang, kan?”
Rania menggenggam tas erat-erat. “Aku baru pulang kerja, Nik. Badanku sakit semua. Seharian di kantor pusat.”
“Mama,” suara kecil Ibra tiba-tiba memotong, lirih. Lemas. Anak itu berdiri, mendekatinya. “Ma, Aku mau makan masakan Mama. Boleh?”
Hati Rania serasa diremas. Semua alasan untuk menolak lenyap.
Ia menunduk, menyentuh pipi anaknya yang masih sedikit panas itu sebentar, lalu berkata pelan, “Ya sudah. Mama masak.”
Hanya Ibra... hanya Ibra yang membuatnya bertahan, dan hanya anak itu yang membawa langkahnya menuju dapur.
Dapur dipenuhi uap panas. Rania menyalakan kompor, mengambil panci, mulai menyiapkan bahan. Tangannya bergerak otomatis. Bawang merah, bawang putih, cabai... semuanya dipotong cepat.
Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh satu per satu, bercampur dengan asap tumisan.
Wajahnya basah. Tapi tangannya tak berhenti bergerak.
"Demi Ibra... demi Ibra, ini semua demi Ibra..." rapalnya.
Suara tawa dari ruang tamu, panggilan sayang untuk Wulan dari Bu Ayu masuk ke telinganya seperti paku yang dipukul satu-satu. Air matanya deras, menangisi harga diri yang diinjak.
Tak berapa lama, meja makan penuh. Ada sup hangat dengan aroma jahe, tumis sayur, ayam goreng kesukaan Ibra. Semua rapi terhidang.
Semua berkumpul mengelilingi meja makan, sedang Rania hanya mematung di samping, melihat kursi makan yang biasa ia duduki, kini terisi oleh Wulan.
“Lho, Mama duduk dimana?” Ibra menatap bingung meja makan yang sudah penuh.
“Biar makan di dapur saja,” jawab Niko santai, menyendok nasi, lalu memberikannya di piring Wulan.
Rania menghampiri Ibra, mengelus pelan rambutnya.”Mama nggak lapar, Nak... tadi sudah makan di kantor, Ibra makan yang banyak ya."
"Bagus lah... Wulan kan tamu, masa dia yang harus makan di dapur." ucap Bu Ayu dingin, dengan mulut penuh.
"Aku tidak apa - apa kok kalau harus makan di dapur... kasihan kan Rania, dia kan istrinya Niko, masa malah dia yang nggak bisa duduk disini..." ucap Wulan lirih, sekadar sandiwara agar ia terlihat tak berdosa.
"Ya nggak bisa gitu dong, Lan... kan kamu Mamanya Ibra. Sudah... sudah ayo makan lagi." ucap Niko, kali ini menambahkan lauk di piring Wulan.
Rania menghela napas, malas mendebat, percuma. Ia tak memiliki kekuatan apa pun untuk melawan sekarang.
Baru saja hendak melangkah ke kamar, Bu Ayu kembali memanggilnya.
"Mau kemana... sini dulu!" Titahnya.
Rania menoleh pelan, wajahnya dingin, tatapannya datar. "Kenapa, Bu?" tanyanya.
Bu Ayu menatap Rania dari ujung rambut sampai ujung kaki, matanya membelalak. “Kamu bekerja di perusahaan sebesar Atmadja Holdings, dengan baju lusuh begitu? Apa kamu nggak malu?"
Pak Martin menghela napas, ikut memandangi Rania, "Tolong perhatikan penampilanmu. Kamu itu mewakili perusahaan kita, apa kata Askara kalau melihat kamu gembel begini?"
Rania menahan napas.
“Pa,” ucap Rania dengan suara serak. “Saya pakai yang saya punya. Saya nggak punya uang buat beli baju baru.”
“Kenapa nggak minta ke Niko?”
"Sudah, tapi..."
Niko menggebrak meja, "Tapi apa? kamu mau ngomong kalau aku nggak ngasih uang, iya? Bohong... itu bohong!" ucap Niko berapi - api. Telunjuknya ringan membidik wajah Rania.
"Niko, duduk!" Titah Pak Martin, "lanjutkan." ucapnya pada Rania.
Niko menatap murka pada Rania, sebelum ia duduk kembali. Wulan sibuk menenangkannya.
“Saya minta pada Niko. Tapi dia bilang nggak ada uang. Eh... ternyata uangnya dipakai untuk Wulan, lagipula... gaji saya pun sekarang dipotong karena masalah proyek yang bukan salah saya, kan” ucap Rania datar. Dingin.
"Kamu......" Niko kembali naik pitam, tapi melihat tatapan tajam Ayahnya, ia urung.
“Halah... kamunya saja yang nggak bisa ngatur uang,” potong Bu Ayu. “Boros. Orang tuamu di kampung juga nyusahin, kan? Kirim uang terus, habis begitu aja.”
Pipi Rania memanas. Tangannya mengepal di samping tubuh.
“Bu, jangan bawa-bawa orang tua saya.”
“Memang kenyataannya begitu,” Bu Ayu mendengus. “Makanya begini saja. Nanti Wulan kasih beberapa bajunya yang udah nggak kepake. Dipakai buat kerja. Biar kamu kelihatan pantas di kantor.”
Wulan tersenyum tipis. “Aku masih punya banyak kok, Ran. Besok aku bawain ya.”
Senyum itu… menusuk seperti pisau.
Rania mendongak. Pandangannya tajam. “Tidak usah.”
“Kenapa? Malu?” Bu Ayu menaikkan alis.
Rania tidak menjawab. Ia hanya berbalik, berjalan cepat menuju kamar. Mengambil tas dan kunci mobil.
“Eh, mau kemana kamu?!” suara Niko terdengar dari belakang.
“Keluar dari neraka,” jawab Rania datar. Mulut Bu Ayu sampai membuka menutup mendengarnya.
Hujan deras menunggu di luar.
Ia tidak peduli. Ia masuk ke mobil, menyalakan mesin, dan melaju. Tak peduli Niko mengejarnya hingga keluar, tak peduli pandangan mertuanya, tak peduli senyum kemenangan Wulan. Ia tak peduli apa pun lagi. Cukup. Cukup sudah.
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, Air matanya bercampur dengan air hujan yang berjatuhan di kaca mobil.
Semua kata-kata tadi berputar di kepalanya seperti racun. Meruntuhkan harga diri dan kepercayaan yang tersisa.
(Bersambung..."
jadi korban org disekelilingnya yg egois
walau pun kalung berlian ,dasar gelo...
rugi klo kmu ,patah hati ...
patah tumbuh hilang bergati
yg lebih baik banyak di luar sna ...
biar tau rasa lelaki bodoh yg ,
sdh mendustai mu...
liat kmu bahagia dan sukses..
biar askara belajar menghargai seorang wanita...dah tau Rania ngga punya siapa", tdk dianggap mertua dan suaminya, diselingkuhi lagi...ni malah menambah luka...
monipasi untuk maju ,biarkan berlalu
jangan jd kn untuk penghalang untuk maju .
buktikan kesuksesan walau tampa mereka ..jangan putus asa ...
klo cari pasangan ,selexi dulu sebelum.
rania berikan hati..jangan patah hati rugi...
masih banyak yg lebih baik dri sebelum x
next thor
secepat x rania mencium x .dan pergi sejauh mungkin ,dan menemukan orang tulus ingin bersamamu mu rania
dan setia siap menjadi frisai mu..rania..