Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.
Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.
Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.
Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?
silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Masih dengan ekspresi terbelalak, bibir Elanor bergetar pelan menyebut satu nama yang lama tak terdengar,
“Rafael…”
Pemuda di hadapannya hanya tersenyum hangat, matanya seolah menertawakan keterkejutan Ela. “Iya, Nona?” jawabnya ringan.
Elanor sempat tak percaya. Wajah itu, senyum itu, nggak mungkin salah. Rafael—anak dari Pak Yanto dan Bu Fitri, orang kepercayaan keluarga Cromwel.
“El… lo beneran?” Rafael menyipitkan mata, memperhatikan gadis yang duduk dengan seragam sekolah basah dan wajah sembab itu. “Lama banget kita nggak ketemu.”
Elanor menarik napas dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya. “Ternyata kamu kerja di sini…” ucapnya lirih.
Rafael menunduk sedikit sambil menunjuk seragam barista yang melekat di tubuhnya. “Yah, beginilah. Nyari pengalaman.”
Ela sempat menggigit bibir bawahnya, ragu ketika Rafael bertanya soal sekolah. “Lo sekarang sekolah di mana, El?”
Sekilas bayangan Veronica dan tatapan julid teman-temannya melintas di kepalanya. Ela buru-buru mengalihkan pandangan, pura-pura sibuk mengaduk latte di depannya. “Udahlah, jangan bahas itu. Gue malah pengin tahu, udah lama kerja di sini?”
Rafael menangkap perubahan nada Ela, tapi dia memilih nggak mendesak lebih jauh. “Baru beberapa bulan,” jawabnya tenang. “Lumayan, ketemu banyak orang.”
Obrolan mereka terus mengalir, ringan, seolah waktu terhenti. Ada sesuatu di senyum Rafael yang membuat Ela merasa nggak sendirian lagi. Untuk pertama kalinya hari itu, bibir Elanor akhirnya melengkung—senyum kecil yang jujur.
Sementara itu, di sisi lain kota, Daniel duduk di balik kemudi mobil hitamnya. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir, napasnya memburu. Ia baru saja menutup telepon dengan sekretaris pribadinya.
“Hubungi semua orang. Cari Ela. Kalau perlu, buat berita di TV. Aku nggak peduli caranya, yang penting Adik ku ketemu,” suaranya terdengar tegas, bercampur panik.
Mobil itu melaju kencang menyusuri jalanan Olympus. Tatapan Daniel tajam menelusuri trotoar, seolah berharap adiknya tiba-tiba muncul dari keramaian.
Di tempat berbeda, deruman motor besar memecah udara malam. Dominic menyusuri jalanan dengan sorot mata awas, kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari sosok yang sama. Sampai akhirnya ia melihat Rio berdiri di pinggir jalan, sibuk memainkan ponselnya.
Tanpa pikir panjang, Dominic menghentikan motornya tepat di depan Rio, lalu menjitak kepalanya cukup keras.
“Lo bener-bener nggak becus!” suaranya menggelegar, membuat Rio meringis.
“Aduh, Bos! Gue udah nyari tadi, sumpah!” Rio berusaha membela diri.
Dominic hanya menggeram, mengusap wajahnya kasar. “Udah ikut gue aja. Kita muter lagi. Jangan sampe hilang jejak.”
Rio buru-buru naik ke motor, dan bersama-sama mereka kembali menyusuri jalanan kota Olympus, dua bayangan yang larut dalam kegelisahan malam.
Lampu neon kafe 24 jam itu menyala kontras di tengah kota Olympus yang mulai sepi. Dari balik kaca, bayangan Elanor terlihat duduk sendiri, seragamnya masih lembab, rambutnya kusut menempel di pipi. Matanya sembab, menatap kosong ke arah cangkir latte yang sudah setengah dingin.
Di depannya kini duduk Rafael, masih dengan senyum hangatnya. "Nona masih inget nggak?” tanyanya tiba-tiba, suaranya pelan, nyaris tenggelam oleh musik jazz rendah yang diputar kafe.
Ela mendongak, tatapannya bingung. “Inget apa, Rafa?”
Rafael menyandarkan tubuh ke kursi, matanya menerawang seolah menjemput kenangan. “Dulu, waktu kecil… kamu sering sembunyi di kebun belakang rumah aku. Aku yang panik cari, tapi pas ketemu, kamu malah ketawa keras-keras.”
Ela terdiam. Ingatan samar menyusup, aroma tanah basah, cahaya lampu taman rumah lama, dan tawa masa kecil yang dulu membuat hatinya ringan. Ia mengusap pipinya pelan, tersenyum tipis.
“Kayaknya… iya,” bisiknya.
Rafael menatapnya lama. “Nona masih sama. Suka nutupin apa yang Nona rasain.”
Ela buru-buru mengalihkan pandangan ke luar jendela. Jalanan gelap, hanya diterangi lampu jalan dan sesekali mobil yang lewat. Tapi untuk pertama kalinya hari itu, bibirnya melengkung lembut, meski samar.
Udara malam di kafe itu terasa hangat dengan aroma kopi yang menenangkan. Rafael kembali ke meja, meletakkan satu gelas cokelat panas di depan Elanor. “Aku tau Nona nggak suka yang terlalu pahit, jadi aku bikinin ini.”
Ela menatap gelas itu, lalu menatap Rafael. Senyum tipisnya muncul, samar tapi nyata. “Kamu masih inget hal-hal kecil kayak gini, Rafa?”
Rafael tertawa kecil, suaranya serak. “Gimana bisa lupa? Dulu di kediaman Cromwel, tiap kali aku disuruh bawa baki teh atau kopi ke ruang tamu, Nona selalu nyolong satu gelas cokelat yang disiapin buat tamu.”
Ela terkekeh pelan, meski matanya berkaca-kaca. “Itu bukan nyolong. Aku cuma… haus.”
“Haus tiap hari?” Rafael menaikkan alisnya, pura-pura heran.
Ela akhirnya menunduk, menutup mulutnya yang tertawa. “Ya ampun, Rafa… Jangan di ingat ah, jadi malu tau."
Hening sejenak, hanya suara denting sendok dari meja lain yang terdengar. Rafael menatapnya dalam-dalam, kemudian bersandar. “Nona inget juga nggak? Waktu kamu kabur dari pelajaran piano, nyelinap ke dapur, dan aku yang kena semprot karena nggak bisa nemuin kamu?”
Ela mendongak cepat, wajahnya terkejut. “Astaga, itu kamu yang dimarahin? Aku pikir nggak ketauan.”
“Ketauan lah,” jawab Rafael dengan nada bercanda. “Aku disuruh ngepel dapur seminggu penuh gara-gara itu.”
Ela menutup wajah dengan kedua tangannya, bahunya terguncang karena menahan tawa. “Ya ampun, Rafa… aku jahat banget ya.”
“Tapi jahatnya manis,” Rafael tersenyum hangat. “Soalnya gara-gara itu, aku jadi punya alasan buat sering ketemu Nona.”
Ela menurunkan tangannya perlahan. Matanya basah, tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan perasaan hangat yang lama hilang. “Aku… aku kangen masa-masa itu, Rafa. Masa di mana aku nggak harus takut sama siapa pun.”
Rafael menunduk sebentar, suaranya pelan. “Nona masih punya itu kok. Walau semua orang bikin Nona jatuh, masih ada orang yang inget gimana aslinya Nona.”
Percakapan hangat mereka terhenti saat suara TV di pojok kafe naik volumenya. Semua mata secara refleks menoleh ke arah layar yang menayangkan berita sore ini.
“Putri bungsu keluarga Cromwel, Elanor Cromwel, dikabarkan mEnghilang sejak siang tadi. Keluarga Cromwel meminta masyarakat Olympus membantu pencarian. Bagi siapa pun yang menemukan, akan diberikan hadiah uang tunai dalam jumlah besar.”
Di layar muncul wajah Ela dalam seragam sekolah.
Gelas di tangan Ela hampir terlepas. Wajahnya langsung pucat, tangannya gemetar. Perlahan ia menunduk dalam-dalam, rambutnya jatuh menutupi pipi. Napasnya menjadi berat.
Rafael melirik ke sekeliling, beberapa pengunjung mulai berbisik-bisik sambil menoleh ke arah meja mereka. Tanpa berkata apa-apa, Rafael bangkit. “Nona, tunggu sebentar. Aku ke dalam dulu.”
Ela hanya mengangguk cepat, tetap menunduk, tangannya meremas ujung rok seragamnya. Jantungnya berdetak semakin keras, bukan hanya karena panik… tapi juga takut kalau seseorang mengenalinya.
Tak lama kemudian Rafael kembali, membawa sesuatu di tangannya. Sebuah hoodie hitam yang tampak sudah sering ia pakai. Ia berdiri di samping Ela, lalu meletakkannya dengan hati-hati di atas meja. “Pakai ini, Nona. Biar nggak ada yang mengenali.”
Ela mendongak sedikit, matanya berkilat, basah tapi penuh rasa syukur. “Rafa…” suaranya hampir berbisik.
“Sudah, pakai aja,” potong Rafael singkat, namun matanya menatap penuh ketulusan.
Ela meraih hoodie itu, lalu menyelubungkannya ke tubuh mungilnya. Begitu kain itu menyentuh kulitnya, ada rasa hangat yang mengalir. Ia menarik hoodie itu lebih rapat, dan secara refleks menghirup aromanya. Wangi khas sabun dan kopi bercampur menjadi sesuatu yang membuat dadanya berdegup kencang.
Pipinya memerah, meski ia mencoba menyembunyikan wajah di balik tudung hoodie. Senyumnya perlahan terbit, kecil, tapi nyata. Dengan tangan nya yang meraba bagian dada tengahnya, "Kenapa dadaku sepeti arena perang sekarang?" batinnya.
Rafael hanya menatap sejenak, kemudian tersenyum tipis. “Aku balik kerja dulu, Nona. Jangan kemana-mana, ya.”
Ela menunduk sambil mengangguk, suaranya hampir tak terdengar. “Iya, Rafa…”
Saat Rafael berbalik, Ela masih menatap punggungnya. Senyum samar tetap menempel di bibirnya. Dada yang berdegup kencang itu, seakan membisikkan sesuatu yang baru, perasaan yang perlahan tumbuh pada teman masa kecilnya.
Malam sudah merayap hampir ke tengah, lampu neon di luar kafe berkelip samar. Ela masih duduk di pojok dengan hoodie hitam milik Rafael, kedua tangannya memegang cangkir yang kini sudah dingin. Ia menunduk, berusaha menenangkan diri, ketika tiba-tiba...
Ting. Suara bel kafe saat pintu di buka.
Langkah sepatu berat terdengar jelas, diiringi suara khas helm motor yang ditenteng. Suara itu begitu familiar.
“Rio, cari tempat duduk. Gue butuh kopi,” suara Dominic, datar tapi penuh letih.
Ela menahan napasnya. Tubuhnya menegang, keringat dingin merembes di pelipis. Kak… Dominic. Jantungnya seolah mau pecah, takut jika kakaknya menoleh ke sudut tempat ia duduk.
Rio yang ceroboh malah sibuk cengar-cengir dengan barista perempuan, sementara Dominic dengan wajah masam mengedarkan pandangan, jelas kecewa karena pencarian seharian tak membuahkan hasil.
Belum sempat Ela menarik napas lega, pintu kafe kembali terbuka. Angin malam menyusup masuk, dan bersama itu—sosok tinggi dengan setelan rapi melangkah masuk.
Daniel.
Ela hampir menjatuhkan cangkir dari tangannya. Wajahnya pucat pasi, napasnya tercekat. Dua kakaknya berada di ruangan yang sama, hanya beberapa meter darinya.
Dominic menoleh, dan matanya langsung membeku saat mendapati sosok Daniel di pintu.
“Lo ngapain di sini?” suara Dominic berat, penuh sindiran.
Daniel menegakkan bahunya, dasinya sedikit longgar, wajahnya jelas lelah namun sorot matanya tetap dingin. “Pertanyaan itu harusnya gue yang tanya. Lo seharian keluyuran, hasilnya apa? Elanor nggak ada juga.”
Dominic mendengus, suaranya meninggi. “Setidaknya gue nggak duduk manis di kantor sambil nyuruh orang lain kerja. Kalau lo beneran peduli, dia nggak mungkin hilang kayak gini!”
Beberapa pengunjung kafe mulai menoleh, suasana jadi tegang. Dua kakak Cromwel itu saling berdiri berhadapan, tatapan mereka bagai pedang yang saling menantang.
Ela, di sudutnya, menunduk semakin dalam. Tangannya gemetar, jantungnya berdetak kencang tak karuan. Ia berdoa dalam hati agar tak ada yang menyadari keberadaannya.
Sementara itu, Rafael yang tadi sibuk di meja bar, sudah memperhatikan keadaan dari jauh. Tatapannya berpindah ke Ela, yang jelas berusaha menyembunyikan wajahnya. Ia tahu, hanya sedikit waktu sebelum Dominic atau Daniel sadar, bahwa adik yang mereka cari selama ini… duduk tak jauh dari mereka.
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭