Menjadi sekretarisnya saja sudah sulit, apalagi kini aku jadi istrinya.
Dia bos galak yang tak kenal kompromi.
Dan aku… terjebak di antara cinta, gengsi, dan luka masa lalu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
“Cukup!” Suaranya pecah, meninggi, membuat semua orang refleks terdiam.
Aruna menatap Rani dengan mata berkilat tajam, penuh bara amarah yang selama ini ia pendam. “Kamu sudah cukup banyak bicara, Rani. Dari awal kamu masuk rumah ini, kamu nggak pernah berhenti merendahkanku. Kamu kira aku nggak punya harga diri? Kamu kira aku akan terus diam dan menerima semua hinaanmu?”
Rani sempat tertegun. Ia jelas tak menyangka Aruna akan berani mengangkat suara. Bibir merahnya terkatup sesaat sebelum melengkung kembali membentuk senyum sinis. “Oh? Akhirnya berani juga buka mulut? Kukira kamu cuma bisa menunduk dan menangis di belakang. Tapi apa pun yang kamu katakan, nggak akan mengubah kenyataan. Arkan nggak cinta sama kamu. Itu fakta!”
Aruna melangkah maju, wajahnya merah karena amarah bercampur sakit hati. “Kamu pikir aku nggak tahu itu?!” suaranya bergetar, tapi penuh tenaga. “Ya, benar! Pernikahan ini hanya perjodohan keluarga. Aku nggak pernah minta dan aku nggak pernah berharap. Jadi jangan pernah kamu berpikir aku ini bersaing sama kamu untuk mendapatkan Arkan. Karena dari awal, aku sama sekali nggak ingin diperlakukan seperti barang dagangan yang ditukar hanya demi kepentingan orang tua!”
Kata-kata Aruna jatuh keras seperti batu yang menghantam kaca, memecahkan keheningan. Semua orang membeku. Ibunya menatap kaget, wajahnya pucat. Ayahnya menggenggam erat lutut, seolah mencoba menahan sesuatu dalam dadanya. Sementara orang tua Arkan sama-sama terdiam, jelas tak menyangka rahasia yang seharusnya di simpan akhirnya pecah di hadapan Rani yang pastinya akan melakukan rencana yang lebih buruk lagi.
Rani terdiam sepersekian detik, lalu tertawa kecil. “Oh? Jadi kamu sendiri ngaku kalau Arkan nggak pernah cinta sama kamu? Bagus. Berarti aku yang menang, kan?”
Aruna mengepalkan tangan, napasnya memburu. “Menang? Kamu pikir semua ini permainan? Hidupku bukan papan catur, Rani! Kamu pikir aku nggak sakit hati? Kamu pikir aku nggak terluka dijadikan bahan hinaan, dianggap penghalang, diseret ke dalam drama yang bahkan bukan pilihanku?!”
Air mata mulai menggenang di sudut matanya, tapi kali ini Aruna tak berusaha menahannya. Ia biarkan tetes itu jatuh, biar semua orang tahu betapa perihnya hatinya.
Dengan langkah cepat, Aruna maju dan merebut ponsel yang masih diangkat Rani. Rani terkejut, berusaha menahan, tapi genggaman Aruna jauh lebih kuat karena amarah memberi kekuatan tambahan.
“Hey! Balikin itu! Itu ponselku!” teriak Rani, wajahnya berubah panik.
Aruna menatapnya tajam, air mata masih menetes di pipi. “Kalau kamu yakin apa yang kamu tunjukkan itu benar, kamu nggak akan takut aku memeriksanya lebih jauh. Tapi aku tahu ada sesuatu yang janggal. Aku akan cari tahu kebenarannya. Dan kalau ternyata semua ini cuma rekayasa, aku pastikan semua orang akan tahu siapa kamu sebenarnya.”
Suara Aruna tegas, menusuk hingga membuat ruangan kembali sunyi. Semua orang seakan membeku, tak ada yang berani menyela.
Aruna lalu berbalik, berjalan cepat menuju pintu keluar dengan ponsel Rani yang tergenggam erat di tangannya.
“Aruna! Berhenti! Kembalikan ponsel itu!” Rani mengejar, tapi langkah Aruna terlalu cepat. Arkan sempat mengangkat tangan, seolah ingin menahan, namun suaranya tercekat di tenggorokan. Ia hanya bisa menatap punggung Aruna yang kaku, penuh luka, namun juga tegak penuh tekad.
Begitu keluar dari rumah, udara siang menyambut dengan aura panas yang menusuk. Aruna berlari kecil, menembus halaman, lalu keluar ke jalan. Napasnya tersengal, dadanya terasa sesak, tapi ia terus menggenggam ponsel itu seolah memegang kunci untuk membuktikan kebenarannya.
Di kejauhan, ia bisa mendengar suara Rani yang berteriak-teriak histeris, memanggil namanya. Tapi Aruna tidak peduli.
Setiap langkah yang ia ambil dipenuhi campuran amarah, kekecewaan, dan luka yang menumpuk karena begitu banyak hal yang ia simpan selama bertahun-tahun. Rasanya ia ingin berteriak sekencang mungkin, membuang semua beban dari dadanya.
Namun ia tahu, ada hal yang lebih penting, kebenaran.
Aruna tiba di kamar tidurnya setelah berlari cukup jauh, mengunci pintu rapat-rapat. Napasnya masih belum teratur. Tangannya gemetar saat membuka layar ponsel Rani. Untungnya, ponsel itu tidak terkunci dengan sidik jari atau pola. Hanya password angka sederhana yang sempat ia lihat ketika Rani menyalakan rekaman tadi.
Dengan cepat, Aruna menelusuri galeri video. Ada banyak file di sana, tapi matanya langsung tertuju pada satu folder dengan nama samar: “Doc_Proj”. Jantungnya berdetak kencang. Ia membuka folder itu—dan benar saja, di dalamnya ada puluhan video dengan judul acak, beberapa di antaranya berisi rekaman yang samar-samar mirip dengan yang tadi diputar Rani.
Aruna menelan ludah, membuka satu video.
Di layar, tampak sosok laki-laki dan perempuan berbaring. Namun semakin ia perhatikan, semakin jelas bahwa video itu hasil rekayasa. Wajahnya sengaja dibuat buram, gambar tubuhnya dipotong di beberapa bagian, bahkan suara tawa samar terdengar seperti hasil dubbing.
Air mata Aruna jatuh lagi, tapi kali ini bukan karena sakit hati—melainkan karena campuran lega dan marah yang lebih besar.
“Jadi ini caramu, Rani…” bisiknya dengan suara serak. “Kamu tega memalsukan semua ini hanya untuk menjatuhkanku.”
Aruna menggenggam erat ponsel itu, pikirannya penuh gejolak. Ia ingin sekali kembali ke ruang tamu, melemparkan bukti-bukti ini ke wajah semua orang, mempermalukan Rani di hadapan mereka. Tapi di sisi lain, ia juga sadar, semua ini bukan hanya tentang dirinya. Ada keluarga, ada harga diri, ada perasaan yang campur aduk di antara mereka semua.
Ia menutup mata, mencoba menarik napas panjang.
“Aku harus tenang… aku harus lakukan ini dengan benar,” katanya pada diri sendiri