Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.
Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.
Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Gagal Menahan Diri
Mereka sempat canggung, tetapi itu tak bertahan lama—Ben bukan tipe pria yang suka diabaikan.
"Tada! Spesial untuk kamu," ucap Ben dengan semangat, saat mengusulkan ide barbeque-an di halaman belakang rumah.
Haya tersenyum kecil. "Waw... terima kasih, Ben."
Ben mendekatinya dan membawanya duduk. "Apa pun untukmu," balasnya sambil mengetatkan rahangnya, sementara matanya lekat menatap netra hitam Hayaning yang bening.
Sinar matahari menyinari halaman, menciptakan bayangan di atas rerumputan. Hayaning duduk di kursi gazebo, menikmati semilir angin yang berembus lembut.
“Biar saya yang akan memanggangnya,” ujar Ben, mengambil alih tugas tanpa memberi Haya kesempatan untuk menolak.
Hayaning menurut, memperhatikan Ben yang mulai membakar daging. Aroma gurih mulai menyeruak di udara, membuat perutnya sedikit bergejolak.
"Kamu benar-benar bisa memasak, ya?" goda Hayaning sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, menikmati suasana siang yang cerah itu.
Ben menyeringai, sesekali membolak-balik daging panggang di atas bara. "Jangan meremehkan saya, Hayaning. Saya ini pria multitalenta."
Hayaning tertawa kecil, "mau nyangkal tapi faktanya iya, yah... Kamu memang serba bisa."
Ben mengangkat dagunya sedikit dengan ekspresi penuh percaya diri. "Kamu memang harus mengakuinya."
Mereka berdua banyak berbicara terutama Hayaning yang mulutnya tak letih menanyakan ini itu, dan Ben begitu sabar menjawabnya.
"Buka mulutmu," setelah matang, pria itu langsung menyuguhkan nya untuk sang Nona. Ben meniup daging panggang yang sudah matang agar Haya tak kepanasan dalam mulutnya.
Hayaning sempat mengerutkan kening, tapi tetap membuka mulutnya tanpa banyak protes. Ben menyuapkan potongan daging panggang itu langsung padanya, membuatnya terpaksa menerima perlakuan manja itu.
“Hmm…” Hayaning mengunyah pelan, lalu mengangguk. “Rasanya enak. Aku harus mengakuinya.”
Ben menyeringai puas. “Tentu saja. Saya ini—”
“Pria serba bisa,” potong Hayaning cepat, menirukan nada suara Ben dengan ekspresi meledek.
Ben terkekeh, lalu menyuapkan satu potongan daging untuk dirinya sendiri.
"Biar aku yang melakukan sekarang," kata Hayaning dengan antusias.
Ben menaikkan sebelah alisnya, menatap Hayaning dengan penuh minat. “Kamu yakin?”
Hayaning mengangguk mantap, lalu mengambil alih penjepit daging dari tangan Ben. “Aku kan juga harus belajar. Masa iya, tiap kali ada sesuatu, kamu terus yang repot?”
Ben tertawa kecil dan bersandar ke kursinya. “Baiklah, saya ingin lihat seberapa hebat Nona Hayaning dalam urusan memanggang daging.”
Haya menjulurkan lidah sekilas sebelum mulai membalik-balik daging dengan hati-hati. Sesekali ia melirik Ben yang terus mengawasinya dengan ekspresi geli.
“Kamu ngga perlu menatap seperti itu,” protes Hayaning, merasa diawasi seperti murid yang sedang diuji.
“Saya hanya memastikan kamu tidak membakar semuanya jadi arang,” sahut Ben santai.
Hayaning mendelik. “Aku bukan anak kecil, Ben.”
Ben hanya mengangkat bahu. “Kalau begitu, buktikan.”
Hayaning menghela napas sebelum kembali fokus. Aroma daging yang mulai matang semakin menggoda, membuatnya semakin bersemangat. Ia mengambil sepotong daging, meniupnya sebentar, lalu menyodorkannya pada Ben.
“Coba ini.”
Ben menatapnya sejenak sebelum tersenyum samar. “Disuapin juga?”
“Kalau ngga mau, ya udah.” Hayaning pura-pura menarik tangannya kembali, tapi Ben dengan cepat menangkap pergelangan tangannya dan menggigit daging dari tangannya langsung.
“Hmm…” Ben mengunyah dengan ekspresi berpikir.
“Gimana?” tanya Hayaning tak sabar.
Ben sengaja diam beberapa detik, membuat perempuan itu semakin penasaran, sebelum akhirnya berkata, “Lumayan.”
“Lumayan?” Hayaning mendengus kesal. “Aku udah susah payah, dan kamu cuma bilang lumayan?”
Ben terkekeh, menikmati ekspresi tidak terima Hayaning. “Bercanda. Rasanya enak.”
Hayaning mendengus pelan, tapi senyum tipis tetap bertahan di bibirnya. Mereka kembali memanggang daging bersama, berbagi canda dan tawa, seakan tak ada yang perlu dipikirkan selain kebersamaan saat ini.
Namun, di balik tawa dan percakapan ringan mereka, ada kenyataan yang tak bisa dihindari—bahwa kebersamaan ini akan segera berakhir.
Sebentar lagi, mereka akan kembali pada peran masing-masing. Hayaning sebagai seorang nona dan Ben... hanya seorang bodyguard yang masa tugasnya hampir selesai.
Tak akan ada lagi momen seperti ini.
Hari pertunangan Hayaning semakin dekat, dan ketika ia benar-benar menikah dengan Adipta, semuanya akan berakhir.
•••
Hayaning memoleskan lipstik berwarna merah lembut di bibirnya, memperhatikan bayangannya di cermin dengan ekspresi tenang. Gaun berwarna putih yang membalut tubuhnya terlihat sempurna, ia tersenyum lembut.
Sejak tinggal di rumah Ben, Hayaning tidak pernah merasa kesulitan. Pria itu telah menyiapkan segalanya untuknya—satu lemari penuh dengan pakaian yang sesuai dengan seleranya, lengkap dengan berbagai aksesori dan kebutuhan lainnya.
Pernah satu ketika Haya ingin mengganti uang yang telah dikeluarkan untuk membeli segala keperluannya, tetapi Ben hanya menatapnya dengan tatapan datar sebelum akhirnya berkata, "Jangan menghina saya, Hayaning."
Hayaning terdiam kala itu, dan sejak saat itu, ia tidak pernah lagi menyinggung soal uang atau mencoba mengganti apa pun.
"Apa kamu sudah siap Hayaning?"
Suara bariton yang berat menyapa indera rungu nya. Hayaning berbalik, dan saat itu juga, Ben yang bersandar di ambang pintu terdiam. Tatapannya mengeras, matanya menyapu sosok Hayaning yang berdiri anggun dalam gaun putihnya yang ia berikan siang tadi.
"You look so gorgeous..." Gumamnya tanpa ia sadari.
"Thank you, gaunnya sangat cantik dan sangat pas di tubuhku." Haya menyeka rambutnya di telinganya dengan kepala yang sedikit tertunduk dan mata yang menghindari tatapan Ben.
Ben mengerjapkan mata, seolah baru menyadari apa yang baru saja ia katakan. Ia berdeham pelan, mencoba mengalihkan perhatiannya dari memukaunya Hayaning malam ini.
"Take my hand, Little Rose," ujarnya pelan, mengulurkan tangan ke arahnya.
Hayaning menatapnya sesaat sebelum akhirnya menyambut uluran tangan itu. Jemari Ben yang hangat melingkupi tangannya dengan kokoh, menghadirkan rasa aman ketika ia menggenggamnya.
Ben membukakan pintu mobil, menundukkan sedikit kepalanya sebagai isyarat agar Hayaning masuk terlebih dahulu. Hayaning meliriknya sekilas sebelum melangkah masuk, merasakan genggaman Ben yang perlahan terlepas saat ia duduk di kursi sebelah kemudi.
Ben menutup pintu dengan lembut, lalu bergegas menuju sisi kemudi. Begitu ia duduk dan menyalakan mesin, mobil melaju dengan mulus menuju gedung pertunjukan teater.
"Ngga terasa lagi,"
"Apa?" Tanya Ben dengan suara pelan.
"Kita akan berpisah secepat ini. Setelah pertunangan, lalu pernikahanku… kita tidak akan bisa lagi seperti ini," suara Hayaning terdengar lirih, hampir tenggelam oleh suara mesin mobil yang melaju stabil di jalanan malam.
Ben menggenggam setir lebih erat, rahangnya mengencang sesaat sebelum ia menjawab. "Kamu berbicara seolah-olah kita benar-benar tidak akan pernah bertemu lagi."
Hayaning menoleh ke arahnya, menatap wajah Ben yang tetap fokus pada jalan. "Bukankah memang begitu?"
"Tidak, saya ini orangnya nekat, saya bisa lakukan apapun bila perlu untuk menggagalkan pernikahanmu."
"Kamu bercanda?" Hayaning tak menganggap ucap Ben yang barusan itu suatu kesungguhan.
"Kita lihat saja nanti."
•••
Hayaning tertawa lepas ketika pertunjukan teater di atas panggung menampilkan adegan lucu yang mengundang gelak tawa para penonton. Matanya berbinar, menikmati setiap momen tanpa menyadari tatapan Ben yang diam-diam mengarah padanya.
Ben tidak benar-benar fokus pada pertunjukan. Bukan karena tidak menarik, tetapi karena sesuatu yang lain lebih menarik perhatiannya—Hayaning. Cara perempuan itu tertawa, cara matanya berbinar, cara ia menikmati sesuatu yang ia sukai tanpa kepura-puraan.
"Kamu menatapku," bisik Hayaning tanpa menoleh, masih tersenyum sambil menonton.
Ben mengangkat sebelah alis. "Memangnya kenapa?"
Hayaning akhirnya menoleh, menatap Ben dengan senyuman lembutnya. "Awas nanti jatuh cinta."
Senyumannya raib, tetapi Ben justru mendekat sedikit. "Saya ingin mencuri satu hal dari kamu," gumamnya, matanya tetap terkunci pada wajahnya.
Hayaning mengerjap, lalu tertawa kecil. "Tidak boleh," balasnya ringan.
"Oh, begitu?"
"Heem."
Ben menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan kekehan kecil. "Baiklah," katanya pelan, tapi tatapannya jelas tidak menunjukkan niat untuk mundur begitu saja.
Hayaning kembali mengarahkan pandangannya ke panggung, mencoba mengabaikan bagaimana pria itu masih memperhatikannya.
"Tapi saya penasaran," lanjutnya santai.
Hayaning melirik sekilas. "Penasaran apa?"
"Penasaran apakah benar kamu tidak akan membiarkan saya melakukannya."
Hayaning menahan napas. "Ben..."
"Apa?" Ben tersenyum miring, menikmati reaksinya.
"Kita sedang di tempat umum," bisik Hayaning sambil mengernyit, berharap itu cukup untuk menghentikan pria itu.
"Tidak ada yang melihat," balas Ben ringan.
Hayaning mendengus, lalu menoleh sepenuhnya ke arahnya. "Kamu harus belajar untuk—"
Namun, sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, Ben sudah lebih dulu kembali mendekat, hanya menyisakan jarak tipis di antara mereka.
"Saya harus belajar untuk apa, hmm?" gumamnya berbisik.
Hayaning menelan salivanya, mencoba mencari kata-kata yang tepat, tetapi gagal. Matanya menatap mata Ben yang seolah menantangnya untuk menarik ucapan barusan.
Akhirnya, Hayaning hanya bisa berdeham pelan dan kembali mengalihkan fokusnya ke arah panggung. "Lupakan saja," katanya datar.
Ben terkekeh puas dengan reaksinya. "Well, kalau begitu saya akan berusaha lagi nanti."
•••
Setelah pertunjukan teater usai, mereka tidak langsung keluar dari gedung. Sebaliknya, mereka menikmati keindahan arsitektur bangunan, mengagumi lukisan-lukisan klasik yang menghiasi sepanjang lorong.
"Ben, tolong fotokan aku, boleh?" pinta Hayaning sambil tersenyum.
"Sure," jawab Ben santai.
Hayaning hendak mengambil ponselnya dari dalam tas, tetapi tampak kesulitan mencari benda itu. Ben yang melihatnya hanya menghela napas panjang sebelum akhirnya mengeluarkan ponselnya sendiri.
"Kalian perempuan memang suka ribet," protesnya, lalu tanpa pikir panjang, ia menggenggam tangan Hayaning yang masih sibuk mengaduk-aduk isi tasnya. "Pakai ponsel saya saja. Ayo cari angle yang bagus dan berpose."
Hayaning menyunggingkan senyum kecil, lalu melangkah ke tempat yang menurutnya menarik. Ia berpose anggun di depan lukisan klasik dengan pencahayaan yang dramatis.
Ben, yang seharusnya sibuk memotret, malah terdiam. Matanya terpaku pada sosok Hayaning di depannya. Cara perempuan itu berdiri, caranya menyibak rambut, hingga gaun yang membalut tubuhnya dengan sempurna—semua itu terlihat terlalu indah di matanya.
"Ben... kamu sudah memotret?" tegur Hayaning, mengerutkan kening ketika mendapati pria itu hanya menatapnya tanpa melakukan apa pun.
"Benjamin!" panggilnya sedikit lebih keras, menyadarkan pria itu dari lamunannya.
Ben berdeham, lalu buru-buru menekan tombol kamera beberapa kali. Namun, hasilnya? Ia bahkan tidak peduli apakah fotonya bagus atau tidak, karena fokusnya sama sekali bukan pada layar ponselnya.
"Sudah, Little Rose," katanya akhirnya, menyerahkan ponselnya kembali ke saku celana.
Hayaning tersenyum lebar. "Terima kasih, Ben. Jadi, apa selanjutnya?"
"Back to home," jawabnya singkat.
"Lho, kok cepat banget? Biasanya kamu ngajak jalan-jalan dulu."
Ben menatapnya sekilas. Jika saja Hayaning tahu betapa susah payahnya ia menahan diri saat ini.
"Kalau kamu masih ingin berjalan-jalan, kita bisa lanjut," ujarnya, meski dalam hati ia berharap Hayaning memilih pulang.
Hayaning terdiam sesaat, merasakan ada sesuatu yang tidak biasa. Biasanya, Ben yang paling semangat mengajaknya ke tempat-tempat baru.
Namun, sebelum ia sempat bertanya, matanya menangkap sesuatu yang tidak terduga yang membuatnya terkejut. Sesuatu yang menyembul di balik kain celananya.
"Ben… oh, astaga—Oke, kita pulang!" serunya buru-buru, merasakan pipinya memanas.
Tanpa banyak bicara, mereka segera masuk ke dalam mobil. Perjalanan pulang berlangsung dalam keheningan, tetapi Hayaning bisa merasakan Ben yang terlihat tegang, bahkan sesekali menggertakkan rahangnya.
Begitu tiba di rumah, Ben langsung melesat masuk ke kamarnya tanpa sepatah kata pun. Hayaning pun ikut masuk ke kamarnya sendiri, masih merasa heran dengan apa yang barusan terjadi.
"Huft… emang pria gampang bangun itu-nya, ya?" gumamnya, merebahkan diri di atas ranjang.
"Tapi… karena apa, sih? Perasaan tadi ngga ada yang aneh…"
Sementara itu, di dalam kamarnya, Ben berusaha keras untuk menenangkan diri dari keinginan yang menggebu-gebu, dengan cara menuntaskannya sendiri.
"Ughhh Sial."
Di tengah keadaannya yang kacau itu, ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk dari Hayaning.
Nona Hayaning
Benjiii, tolong kirimkan foto yang tadi
Ben menyeringai miring. Bisa-bisanya perempuan yang sudah membuatnya kewalahan ini malah meminta foto. Tanpa pikir panjang, ia mengirimkan satu foto yang ia ambil, benar hanya satu foto yang ternyata ditangkapnya—tentu saja asal-asalan, bahkan wajah Hayaning nyaris tidak terlihat.
Tak lama, pesan balasan muncul.
Nona Hayaning
Lho kok wajahnya ngga kelihatan? Ishh
Tuan Benjamin
Ah maaf, saya terlalu bawah potretnya
Nona Hayaning
Udah cantek" pose juga!
Tuan Benjamin
Sorry, tapi kamu begitu saja cantik kok
Nona Hayaning
Udah effort nge gaya malah begitu, dihh!
Tuan Benjamin
Kamu marah?
Nona Hayaning
Kesel, mana cuma satu lagi kek apaan banget
Tuan Benjamin
Otw kamarmu
Nona Hayaning
Wehhh....aku keluar.
Ben terkekeh pelan, tetapi rasa gelisahnya belum juga reda. Tanpa pikir panjang, ia bangkit dari tempat tidur dan melangkah keluar dari kamarnya.
Saat sampai di depan kamar Hayaning, ia mengetuk pintu. "Saya sudah ada di luar," suaranya terdengar dalam dan berat.
Dari dalam kamar, Hayaning membeku. Jantungnya berdebar tak karuan. Haduh, pria itu selalu gerak cepat. Hayaning membuka pintu begitu saja, namun dalam hitungan detik, tubuhnya sudah berada dalam genggaman Ben.
Tangan pria itu melingkari pinggangnya dengan erat, menariknya mendekat. "H-Hey, Ben—" Namun, kalimatnya terputus saat bibir Ben menutupi bibirnya dalam sapaan penuh gelora.