NovelToon NovelToon
Gelora Cinta Sang Bodyguard

Gelora Cinta Sang Bodyguard

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Cintamanis / Mafia / Pengantin Pengganti Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:12.5k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.

Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.

Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

31. Serangan Panik

Setelah pertengkaran di bioskop tiga hari lalu, Hayaning benar-benar semakin menjaga jarak. Ia tak lagi membiarkan Ben mengganggunya, setidaknya setiap satu hari hanya selama setengah hari. Perempuan itu lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri.

Satu-satunya interaksi mereka hanya terjadi saat sesi latihan menembak dan bela diri—itu pun dalam waktu yang terasa begitu singkat bagi Ben. Ia hanya melakukan apa yang perlu, tanpa ada obrolan tambahan, tanpa ada celah bagi Ben untuk mendekatinya.

"Stupid Hayaning!" Serunya kesal sembari menghembuskan asap rokok ke langit malam di kantor Security Zachary Crop, perusahaan jasa keamanan miliknya dan Sean.

"Huh!" Ia tersenyum menyeringai, "lihat saja bom waktu yang akan meledak di hari pertunangan mu itu Hayaning, lihat bagaimana busuknya anggota keluarga mu itu." Ben bergumam seolah-olah berbicara dengan nona-nya.

Kehadiran bos kedua di Security Zachary Crop dengan suasana hati yang buruk membuat para anak buahnya diam-diam saling bertukar pandang, tak ingin menarik perhatian atau salah ucap di depan pria itu.

"Jadi gimana?" Tanya seorang pria yang menatap Ben dengan ekspresi letih.

"Gue ngga ngerti sama jalan pikiran perempuan, maunya apa sih?!" Decak Ben dengan isi pikirannya yang carut-marut.

Javas ingin sekali tertawa namun ia menahannya sebab tahu suasana hati temannya itu sedang tidak baik.

Pria ini bisa jadi sangat menakutkan jika sudah dalam mode marah seperti sekarang. Rahangnya mengeras, jemarinya mengepal, dan tatapannya tajam seperti sedang bersiap menghadapi musuh bebuyutan.

Javas duduk santai di seberang Ben, menyilangkan tangan di dada. "Gue harus tahu dulu masalahnya, baru bisa kasih solusi. Jangan cuma ngomel ngga jelas."

Ben mendengus kasar, meneguk minumannya dengan gerakan frustasi. "Hayaning. Perempuan itu benar-benar bikin gue... argh! Dia tahu gue ngga suka dia dekat-dekat sama Adipta, pria itu bisa kapan aja kasarin dia."

Javas menaikkan alis, sedikit terhibur. "Ih lo sibuk banget sih ngurusin kehidupan pribadinya. Terus lo ngarep dia ngapain? Lagipula dia kan atasan lo, orang yang harus lo jaga secara 'profesional', Really Ben? Apa jangan-jangan ada sesuatu diantara kalian?" Javas tersenyum menggoda.

Ben mendelik tajam. "Bukan itu maksud gue! Gue cuma—sial, gue cuma ngga ngerti apa yang ada di kepalanya."

Javas tersenyum miring. "Bro, itu artinya lo udah jatuh cinta. Tuh perempuan berhasil buat lo falling in love lagi."

Ben mendengus lagi, lebih keras. "Jatuh cinta? Ngaco lo! Justru tugas gue itu ngelindungi dia dari cowok baji—"

"Ah, denial lo!" Javas menyela ucapannya, lalu menyeringai puas.

Ben mengacak rambutnya dengan frustasi. "F*ck!" Umpatnya kesal, ternyata berkonsultasi pada teman dekatnya ini hanya membuatnya semakin bingung dan marah.

"Ben," kini Javas lebih serius. "Mungkin ini waktunya buat lo lepasin semua sisa dimasa lalu. Gue tau perjuangan lo dulu kayak apa buat lepas dari semua yang udah dilakuin Louisa ke elo. Well, sekarang waktunya lo buat buka hati lagi."

"Gue ngga ada urusan lagi sama Louisa," tukas Ben cepat, suaranya dalam dan penuh tekanan. "Dan Hayaning... ya, dia bukan siapa-siapa gue. Tapi gue kerja buat jagain dia—"

"Bullshit, lo ah!" Javas menggeram frustrasi. Tangannya mencengkeram botol bir di atas meja, nyaris tergoda untuk mengetukkannya ke kepala Ben biar pria itu sadar akan isi hatinya sendiri.

"Kalo dia bukan siapa-siapa, kenapa lo segitu emosinya ngeliat dia sama tuh cowok?" Sedangkan tuh cowok calonnya, orang yang udah ada sebelum lo kerja disana dan kenal sama Hayaning."

Ben tak langsung menjawab. Ia meneguk birnya dalam sekali teguk, lalu mendesah panjang. "Gue cuma ngga suka orang kayak Adipta deketin dia. He's abusive. Waktu di bioskop aja dia mau p*kul Haya."

Javas benar-benar lelah, ia melirik jam ditangannya. "Tau ah cape gue, lo denial mulu. Basi, Ben!" Ia menggeram keras lalu menyeruput birnya sambil menatap Ben dengan tatapan yang sudah terlalu malas untuk berdebat. "Lo tuh udah kayak orang yang nyemplung ke kolam, tapi pura-pura ngga basah."

Ben mendengus pendek, tatapannya kosong menelusuri permukaan botol bir di tangannya. "Gue ngga bisa, Javas. Gue ngga bisa jadi bodoh dan dungu lagi—"

"Please, Ben." Javas mendengus sinis, "lo udah dungu dari dulu. Lo denial. Dan sekarang, lo udah ketemu seseorang yang bisa bikin lo kelabakan kayak gini, tapi bukannya sadar, malah lo pura-pura buta." Ucapnya sarkastik.

Ben terdiam, rahangnya mengeras.

Sementara Javas mengusap wajahnya dengan kesal, lalu memijat keningnya, mendesis frustrasi menghadapi keras kepala Benjamin.

"Udah, ah. Gue mau kerja. Bisa gila kalau kelamaan ngobrol sama orang sekeras kepala lo," gerutunya. "Yang katanya ngga bakal jatuh cinta lagi, yang katanya ogah nikah. Ben… gue bakal jadi orang pertama yang ketawa paling kenceng kalau lo ngekhianati ucapan sendiri."

Javas bangkit dari duduknya, melirik sekilas ke arah Ben yang masih duduk dengan ekspresi datar.

"Dah gue cabut!" Javas melangkah pergi begitu saja.

Ben hanya melirik sekilas tanpa niat menahan atau membalas ucapan Javas. Suasana di ruangan balkon kembali sunyi begitu langkah kawannya menghilang di balik pintu.

Ia menghela napas, meletakkan botol minumannya ke meja dengan sedikit hentakan, "si*lan!"

•••

"Oh ya, nanti saya lihat ya Mbak. Iya terimakasih." Ucap Hayaning di telepon, dengan seseorang dari WO.

Benjamin makin jelek suasana hatinya sebab Hayaning berubah super sibuk mengurusi acara pertunangan nya.

"Sungguhan sekali ternyata kamu, sebegitunya ingin menikah dengan Adipta." Ucap Ben menyindir Hayaning, sang empu menoleh kearahnya dengan ekspresi wajah dingin.

"Sudah lah Ben, aku lelah berdebat dengan kamu. Terakhir kalinya kamu udah melewati batas," ucapnya letih, "aku datang ke Paviliun ini mau minta bantuan mu, maukah kamu temani aku petik bunga mawar di taman belakang? Untuk menghias kamarku, sudah lama aku ngga taruh bunga itu dikamar."

Ben mengerjapkan matanya, ia langsung tersenyum dan matanya yang tadinya tajam berubah melembut. Sejenak, ia lupa akan kekesalannya.

"Tentu saja, Nona."

Hayaning berbalik lebih dulu, melangkah ke rumah utama dengan langkah ringan. Sementara Ben, masih berdiri di tempatnya sesaat, memperhatikan punggung perempuan itu dengan pandangan rumit sebelum akhirnya mengikutinya dari belakang.

Tujuan mereka adalah taman belakang rumah utama Adhijokso. Namun, langkah Hayaning terhenti ketika sosok Bara muncul di hadapan mereka. Tatapan tajam pria itu menusuk seperti belati, membuat udara di sekitar mereka mendadak terasa lebih berat.

Sejenak, keberanian Hayaning goyah. Ia yang tadinya mantap melangkah kini tanpa sadar memperlambat langkahnya, menunggu Ben berada di sisinya. Jari-jarinya bergerak refleks, mencengkeram ujung pakaian pria itu, seolah mencari pegangan.

Ben langsung menyadarinya. Dengan tenang, ia menggenggam tangan Hayaning, memberi tekanan halus yang menenangkan—sebuah isyarat bahwa ia ada di sana, bahwa Hayaning bersama dengannya.

"Ayo Nona,"

Ben segera membawanya pergi dari sana, Bara tak berkata apa namun matanya mengikuti mereka hingga menghilang di tikungan koridor menuju taman belakang.

Begitu jauh dari pandangan Bara, langkah Hayaning kembali stabil. Ia menghela napas perlahan, melepaskan genggamannya dari tangan Ben. "Maaf," gumamnya lirih.

Ben menoleh, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Tak perlu minta maaf," jawabnya ringan.

Hayaning terdiam, tak ingin memperpanjang percakapan. Ia hanya melanjutkan langkahnya menuju semak mawar yang rimbun di sisi taman.

Ben mengawasinya sejenak sebelum mengikutinya dan ikut berjongkok, tangannya terulur memetik bunga mawar merah yang terlihat paling segar dengan alat yang tersedia disana.

"Apa yang Bara lakukan padamu?" Spontan Ben bertanya.

"Ya?" Hayaning seperti orang linglung tetiba ditanya begitu.

"Saya tanya, apa yang Bara lakukan padamu?" Dengan sabar Ben mengulang pertanyaannya.

"Ben tolong petikan lima tangkai mawar merah, sementara aku akan petik mawar putih." Hayaning tak menjawab justru ia segera mengalihkan pembicaraan.

Ben menyipitkan mata, jelas tak puas dengan cara Hayaning mengalihkan pembicaraan. Tapi ia tak mendesaknya lebih jauh. Untuk saat ini.

Ben menghela nafas panjang, ia tak lagi bersuara, tangannya mulai bergerak memetik lima tangkai mawar merah seperti yang diminta. Jemarinya terampil menyingkirkan duri dari batangnya, sesekali matanya melirik ke arah Hayaning yang sibuk dengan mawar putih di tangannya.

Hening menyelimuti mereka, hanya terdengar suara dedaunan yang tersibak pelan. Hayaning tampak begitu fokus, tetapi Ben bisa melihat bagaimana jemarinya gemetar saat memetik bunga.

Ben menghela napas, ia tak tahan dalam situasi sunyi ini.

Ia segera menarik tangan Hayaning untuk berdiri dan membawanya menuju bangku taman yang berada di bawah pohon rindang. Tanpa sepatah kata pun, ia menekan bahu Hayaning agar duduk, sementara dirinya duduk disampingnya.

“Kamu ngga perlu pura-pura kuat di depan saya,” ucap Ben pelan, tatapannya menelisik wajah Hayaning yang tetap berusaha terlihat tenang.

Hayaning tersenyum tipis, tetapi Ben bisa melihat kedalaman matanya yang berbicara lebih banyak daripada mulutnya.

"Aku baik-baik saja," jawabnya akhirnya.

Ben tertawa kecil, tawanya lebih seperti hembusan napas sarkastik. “Oh ya? Terus tanganmu yang gemetaran itu kenapa?”

Hayaning menunduk, memperhatikan jemarinya yang memang masih sedikit bergetar. Ia mengepalkan tangannya di atas pangkuan, seolah mencoba menyembunyikannya.

“Bukan apa-apa,” ujarnya pelan.

Ben mengulurkan tangannya, meraih kepalan tangan Hayaning dengan mantap. "Kamu panik," gumamnya, ibu jarinya perlahan mengusap punggung tangan perempuan itu. "Tanganmu dingin... detak nadimu lebih cepat dari biasanya."

Hayaning tertegun.

Ben mengeratkan genggamannya, memberikan sedikit tekanan yang menenangkan. "Atur napasmu perlahan," suaranya lebih lembut kali ini. "Buang segala rasa takutmu, saya di sini."

Hayaning masih terdiam, tetapi matanya mulai bergetar.

"Iya, saya tahu kamu sedang panic attack," lanjut Ben, tetap mengusap punggung tangannya dengan ibu jari. "Dengar saya, tarik napas dalam... keluarkan pelan-pelan."

Hayaning mencoba mengikuti. Dadanya naik turun, masih terasa sesak, tetapi genggaman hangat Ben membantunya kembali rileks perlahan-lahan.

Setelah beberapa saat melakukan penenangan, akhirnya Hayaning dapat bernafas dengan lega.

"Terimakasih Ben," bisiknya pelan, tanpa menatap sang lawan bicara. Hayaning tak mau tersesat disana, ia tetap harus tegas untuk menjaga jarak dengan pria dihadapannya.

Sementara angin sore yang sejuk berhembus, membawa keheningan yang menenangkan di antara mereka, memberi keduanya waktu untuk merenung.

Ben sendiri menyadari ketakutan yang terlihat jelas di mata Hayaning. Ia tahu, mungkin itulah alasan kenapa Hayaning meminta kehadirannya sore itu. Sebab ada Bara, kakak tertuanya yang tak biasa berada di rumah utama. Biasanya pria itu hanya datang sebentar saja lalu pergi lagi.

Hayaning jelas merasa terganggu dengan kehadiran Bara. Ada sesuatu yang mengusiknya terhadap Bara, seolah-olah ada trauma yang membekas dalam dirinya yang tak ingin ia hadapi. Ben bisa merasakannya, dan itu membuatnya semakin penasaran.

"Si*lan! Ini keluarga benar-benar problematik!" Geramnya kesal dalam dada, Ben harus segera mencari tahu sendiri.

1
Nurul Halimah
kok blum up2 ya bolak blik buka blom up2 juga penasarn kisah slanjutnya
Nurul Halimah
lagi nungguin up nya thor
Indah Widi
keren thor,,,👍
di tunggu bab selanjutnya 💪😊
yumi chan
km hrs bisa mjauhi ben haya...biarlh ben yg mndrita karna terluka dgn kt2nya sndri jgn jd wnita yg lmh karna cinta..
yumi chan
jgn bdh hya pergilh jauh..bt apa km berthn dgn orng yg gk mau srius dgn km...bknkh ben sm jga dgn adipti..bt apa km msh berhrp pdnya
yumi chan
dsr km bdh hya mau aja sm lk2 bjnign kyk bnji
Nurul Halimah
bagus bnget sampai ngerasain gmna jadi si little rose karakternya okeee
JustReading
Sama sekali tidak mengecewakan. Sebelumnya aku berpikir bakal biasa saja, ternyata sangat bagus!
Nadeshiko Gamez
Mantap thor, terus berkarya ya!
Ludmila Zonis
Bravo thor, teruslah berkarya sampai sukses!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!