Menceritakan kisah seorang anak laki-laki yang menjadi korban kekejaman dunia beladiri yang kejam. Desa kecil miliknya di serang oleh sekelompok orang dari sekte aliran sesat dan membuatnya kehilangan segalanya.
Di saat dia mencoba menyelamatkan dirinya, dia bertemu dengan seorang kultivator misterius dan menjadi murid kultivator tersebut.
Dari sinilah semuanya berubah, dan dia bersumpah akan menjadi orang yang kuat dan menapaki jalan kultivasi yang terjal dan penuh bahaya untuk membalaskan dendam kedua orangtuanya.
Ikuti terus kisah selengkapnya di PENDEKAR KEGELAPAN!
Tingkatan kultivasi :
Foundation Dao 1-7 Tahapan bintang
Elemental Dao 1-7 Tahapan bintang
Celestial Dao 1-7 Tahapan bintang
Purification Dao 1-7 Tahapan bintang
Venerable Dao 1-7 Tahapan bintang
Ancestor Dao 1-7 tahapan bintang
Sovereign Dao 1-7 tahapan bintang
Eternal Dao Awal - Menengah - Akhir
Origin Dao Awal - menengah - akhir
Heavenly Dao
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch. 31
Malam itu, tepat setelah Acheng berhasil menghilangkan efek haus darah dari teknik Iblis Melahap Jiwa, Acheng membulatkan tekad dan berkata,
“Sudah cukup.”
Suara itu pelan, dalam, dan dingin. Namun terdapat beban berat dari pilihan yang menyakitkan.
Acheng tahu teknik iblis melahap jiwa telah memberinya kekuatan luar biasa dalam waktu singkat. Tapi bersamaan dengan itu, teknik itu perlahan mengambil alih kekuasaan atas jiwanya. Mengikis pikiran. Mengubahnya menjadi sosok seperti iblis yang tak memiliki hati nurani.
Kalau bukan karena Mutiara Roh Langit pemberian Lung Xueyin, mungkin malam ini adalah malam terakhir dirinya sebagai manusia.
Dengan satu gerakan tangan, api hitam menyala dari telapak tangannya. Api itu tidak berkobar liar, tapi tenang dan dalam seperti lautan tanpa dasar. Api miliknya, api hitam dari kedalaman Dao Kegelapan.
"Aku bersumpah... tidak akan lagi menggunakan teknik terkutuk itu lagi."
"Dan kau..." tatapannya tajam ke arah Bendera Kekacauan Jiwa
"...pergilah! untuk selamanya."
Tanpa keraguan, api itu menyelimuti bendera tersebut.
Bendera itu langsung terbakar dengan cepat dan cahaya ungu gelap terakhir dari bendera itu perlahan memudar… lalu hilang.
Yang tersisa hanya abu hitam… dan keheningan yang kembali menguasai kamar.
Acheng terdiam sejenak. Bahunya yang tegang perlahan merosot, seolah beban besar baru saja lepas dari punggungnya. Dia tidak berbicara lagi. Perlahan, dia berbaring di atas kasur jerami yang keras dan dingin.
Langit-langit kamar terlihat begitu sepi.
Tapi dalam hati Acheng, satu bayangan muncul: kota Shanxi.
Kota besar yang menjadi tujuan berikutnya.
Tempat yang dikenal sebagai pusat arus para kultivator di Kerajaan Song.
Kota yang katanya menyimpan banyak harta, peluang, dan juga bahaya.
“Sekitar lima ratus mil dari sini…” gumam Acheng dalam hati. Lalu dia pun langsung menutup matanya dan tertidur dengan penuh ketenangan malam itu.
...
Pagi itu, kabut tipis masih menggantung rendah di antara pepohonan saat Mang Acheng membuka matanya perlahan.
Udara dingin dari lereng gunung menyapu kulitnya, namun tubuhnya yang telah terbiasa dengan kerasnya dunia kultivator tetap terasa hangat dan stabil.
Tanpa kata-kata, ia bangkit dari tempat tidurnya yang sederhana, merapikan jubah hitamnya yang masih menempel pada aroma embun pagi, lalu melangkah keluar dari penginapan yang sunyi.
Langkah-langkahnya tenang, namun membawa tekanan yang tak bisa dijelaskan. Burung-burung yang bertengger di dahan pun memilih diam ketika pria itu lewat.
Perjalanan ke kota Shanxi kembali dilanjutkan. Jalan setapak yang mengarah ke timur penuh dengan bebatuan dan akar tua yang menyembul dari dalam tanah. Namun, tak jauh dari sana, Acheng mendapati sebuah karavan besar yang tampaknya bergerak ke arah yang sama.
Karavan itu terdiri dari belasan gerobak besar, masing-masing ditarik oleh binatang sihir bertanduk dua yang berwarna hitam mengkilap seperti baja, dengan tubuh yang menyerupai badak bernama Badak Cula Baja. Suara lonceng kecil di leher binatang itu berdenting lembut, menyatu dengan suasana pagi yang masih berselimut kabut.
Di sekitar karavan, sepuluh orang berjubah perak berdiri dengan postur tegap. Mereka adalah kultivator di ranah Dao Celestial Bintang 5, aura mereka teratur dan stabil, membuktikan bahwa mereka adalah kultivator bayaran yang menjaga karavan tersebut.
Acheng tidak berniat menyapa, ia hanya berjalan perlahan di belakang, membiarkan jaraknya tidak terlalu jauh dan tidak pula terlalu dekat. Tapi telinganya tajam menangkap gumaman dari para penjaga dan pedagang di gerobak belakang.
“Hei, kau sudah lihat pengumuman itu? Ternyata Sekte Bintang Darah mengeluarkan sayembara besar…”
“Tentu saja! Semua tempat di kota besar bahkan desa-desa kecil kini memasang poster buronan itu. Konon katanya, dia menghancurkan asosiasi Mata Langit, dan bahkan berhasil selamat dari kepungan tujuh tetua Sekte Bintang Darah.”
“Namanya... siapa tadi? Ah, Mang Acheng, pria muda yang katanya masih belum genap tiga puluh, tapi sudah mencapai ranah Dao Ancestor! Kau percaya?”
“Hmph! Mustahil. Siapa yang bisa menembus ranah itu di usia muda? Kecuali dia manusia setengah iblis!”
Suara tawa kecil terdengar dari salah satu pedagang, namun bercampur dengan nada ketakutan.
“Tapi kau lihat hadiahnya? Seribu koin emas! Bahkan jika hanya memberikan informasi keberadaan, kau akan mendapatkannya! Itu cukup untuk hidup nyaman selama puluhan tahun!”
Acheng berjalan dalam diam, matanya tetap menatap lurus ke depan, seolah tak peduli dengan bisik-bisik yang secara tak langsung membicarakan dirinya.
Namun dalam hatinya…
“Sekte Bintang Darah benar-benar mulai panik…”
“Mereka sudah memanfaatkan seluruh jaringan informasi mereka, menyebarkan namaku ke seluruh Kerajaan Song.”
Ia tahu perjalanan ke Shanxi tak akan semudah yang ia bayangkan. Kini, tidak hanya para tetua sekte yang memburunya, namun juga rakyat biasa yang rakus akan hadiah.
“Seribu koin emas...”
Gumamnya dalam hati, tanpa emosi.
Bagi banyak orang, itu adalah kekayaan.
Bagi Mang Acheng… itu adalah harga atas nyawanya.
Langkahnya tetap tenang, namun aura di tubuhnya seperti gunung yang tertidur tak terlihat, tapi siap meledak kapan saja.
Salah satu penjaga dari karavan menoleh ke belakang, matanya sempat menatap wajah Acheng yang terlihat asing namun misterius. Ia menyipitkan mata, mencoba mengingat wajah yang sempat ia lihat di lembaran pengumuman.
Akan tetapi saat matanya bertemu dengan tatapan Acheng hanya satu detik… pria itu merasakan tekanan seperti seekor harimau memandang seekor kelinci.
Keringat dingin mengalir. Dia buru-buru mengalihkan pandangannya dan menunduk.
“Sial... auranya benar-benar mengerikan…”
Di antara debu yang beterbangan di jalan setapak, bayangan Acheng perlahan menyatu dengan iring-iringan karavan.
...
Setelah menempuh perjalanan seharian penuh, Mang Acheng akhirnya tiba di depan gerbang besar Kota Shanxi. Saat itu, senja mulai menampakkan keindahannya yang berwarna oranye dan menyelimuti seluruh kota Shanxi.
Gerbang itu menjulang tinggi dengan ornamen naga petir di lengkung atasnya simbol khas klan Lei, penguasa mutlak kota ini. Di depan gerbang berdiri dua penjaga berpakaian zirah perak dengan lambang kilat melingkar di dada mereka, memegang tombak bermata dua. Mereka menatap tajam setiap pelancong yang datang, memeriksa satu per satu dengan sihir pelacak aura.
“Berhenti di situ. Tunjukkan giok identitasmu!”
Suara lantang salah satu penjaga menggema di antara kerumunan.
Orang-orang mengantre panjang, beberapa terlihat gugup, beberapa lagi tampak biasa saja. Kota Shanxi bukan kota sembarangan. Ini adalah sarang naga petir, pusat kekuatan elemen petir di Kerajaan Song, sekaligus tempat kedudukan klan bangsawan Lei.
Klan ini dikenal karena kekuatan mereka yang menakutkan. Dalam satu generasi, mereka naik dari klan biasa menjadi bangsawan kerajaan. Semua karena Tuan Muda Lei Han, yang menikahi putri dari klan Song, darah langsung dari garis raja. Dengan aliansi itu, klan Lei menjadi simbol kekuatan dan otoritas di kerajaan.
"Mereka bukan hanya penguasa kota ini," gumam seorang kultivator tua dalam antrean, "mereka juga merupakan wajah dari kerajaan itu sendiri."
Klan Lei memiliki lebih dari seratus kultivator di ranah Dao Venerable, dan patriark-nya, Lei Tianmu, dikenal luas sebagai “Master Pedang Petir”—pemilik teknik pedang petir tingkat Langit yang bisa membelah gunung dan menghancurkan langit dengan satu ayunan.
Kekuatan Lei Tianmu berada di ranah Dao Ancestor Bintang 2, dan merupakan salah satu orang terkuat di kerajaan Song.
Namun, di tengah hiruk-pikuk dan ketatnya pemeriksaan, satu bayangan gelap menyelinap di antara tubuh-tubuh manusia seperti kabut hitam yang nyaris tak terlihat. Tubuhnya bergerak seperti arus angin malam.
Itu adalah Mang Acheng.
Dengan aura yang ditekan hingga hampir tidak terdeteksi bahkan alat pelacak milik penjaga tidak mampu mendeteksi apa-apa, ia melangkah melewati gerbang dengan mudahnya.
“Kau pikir penjaga gerbang kota sekelas ini bisa menghentikanku? Terlalu naif,” pikir Acheng dingin, melangkah pelan seperti bayangan di senja hari.
Begitu berhasil memasuki kota, pemandangan yang membentang di hadapannya benar-benar berbeda dengan kota Shuiyuan.
Kota ini penuh kehidupan. Toko-toko senjata artefak, paviliun pil, akademi kultivasi, bahkan arsitekturnya dibangun dengan formasi energi petir yang memperkuat sirkulasi spiritual kota. Para kultivator dari berbagai ranah lalu lalang dengan giok identitas menggantung di pinggang mereka.
Aura kekuatan terasa berpadu dengan irama kehidupan. Setiap jengkal tanah di kota ini dipenuhi energi petir murni, membuat tempat ini sempurna bagi kultivator elemen petir. Bahkan udara terasa hangat dan berdenyut, seperti sedang mengalirkan arus.
Acheng memandangi sekeliling, matanya tajam memetakan situasi.
“Kota ini... tak bisa diremehkan. Tapi juga penuh peluang.”
Dia memutuskan untuk tidak menarik perhatian terlebih dahulu. Untuk saat ini, informasi adalah segalanya. Maka langkah kakinya membawanya ke sebuah kedai makan yang berada di dekat distrik pusat tempat para pedagang, pelancong, dan informan sering berkumpul.
Tempat itu ramai, penuh dengan gelak tawa dan bau anggur murah. Namun bagi seorang seperti Acheng, suasana ramai bukanlah penghalang. Justru di keramaian seperti ini, gosip dan rahasia bertebaran seperti daun musim gugur.
Ia memilih duduk di sudut ruangan, membelakangi dinding, dan memesan satu mangkuk nasi, sayur asin, serta sebotol anggur merah pahit.
“Datang-datang langsung minta duduk di pojokan... hmm, sepertinya bukan orang biasa,” bisik seorang pelayan.
Saat mangkuk disajikan, telinga Acheng sudah mulai menangkap berbagai pembicaraan dari meja-meja di sekitarnya.
“Kau sudah lihat? Poster buronan itu sekarang sudah sampai ke kota ini. Sekte Bintang Darah benar-benar mengamuk!”
“Huh, siapa sih pria bernama Mang Acheng itu? Katanya masih muda, tapi sudah mencapai Dao Ancestor?”
“Aku dengar dia menghancurkan satu organisasi dalam satu malam. Organisasi Serigala Hitam dimusnahkan olehnya.”
Acheng hanya mengangkat cangkir anggurnya, menyesap perlahan.
“Jika sekte bintang darah menyebar bounty ke kota Shanxi… berarti mereka mulai menyempitkan ruang gerakku. Tapi mereka tidak tahu satu hal…”
Matanya menyipit menggambarkan ketenangan seorang pembunuh.
"Aku tidak sedang lari dari mereka. Aku hanya menunggu momen yang tepat untuk menghancurkan mereka.”
JANDA LEMAH lagi,klo JANDA tingkat kultivasi nya sangat tinggi melebihi tingkatan dunia ini mungkin masih bisa di terima.