NovelToon NovelToon
Dosenku Ternyata Menyukaiku

Dosenku Ternyata Menyukaiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Dosen / Beda Usia / Diam-Diam Cinta / Romansa / Slice of Life
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Luckygurl_

Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.

Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.

Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.

Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tak kenal menyerah

Panik. Ya, begitulah suasana pagi ini di rumah Camelia. Gadis itu baru terbangun pukul sembilan, sementara kelasnya dijadwalkan dimulai setengah jam lagi. Dengan napas terburu-buru, ia menyambar perlengkapan di meja belajarnya, mulai dari alat tulis, ponsel, hingga tablet yang tergeletak di ujung ranjang.

Tak sempat menyisir rambut, ia langsung keluar kamar.

“Bi! Bibi!” teriaknya sembari menuruni tangga dengan langkah serampangan.

“Iya, Non!” sahut seorang maid yang muncul tergesa dari arah dapur.

“Jaket yang aku titip cuci tiga hari lalu, udah kering belum? Di mana sekarang?” tanya Camelia panik, sambil merapikan tasnya.

“S-sudah, Non. Saya ambilkan dulu, ya.” jawab si maid cepat-cepat berlari ke belakang.

Sementara itu, Camelia bergegas menuju garasi, berharap sang sopir sudah siap di tempat. Namun langkahnya terhenti mendadak ketika melihat ruang tamu. Seorang pria duduk, berbincang dengan ibunya, pria yang tak asing baginya, dengan kacamata, kemeja biru laut yang dibiarkan terbuka satu kancing di atas, sweater abu-abu muda terlipat di bahu, dan celana kain yang mempertegas posturnya.

Girisena Pramudito.

Jantung Camelia mencelos. Ngapain dia di sini?! batinnya kalut.

Rindi, sang ibu, melihat putrinya yang terdiam di tempat, lalu berdiri dan menghampiri. “Dari tadi ditungguin loh sama Sena. Lama banget sih dandannya, Mel,” ucapnya, menepuk pelan bahu Camelia.

Camelia hanya menatap ibunya, kemudian beralih pada Sena yang tersenyum kecil.

“Maaf ya, Mama nggak bisa nemenin. Mama harus ke kantor. Nak Sena, terima kasih ya,” ujar Rindi ramah sebelum mencium pipi putrinya. “Mel, kamu berangkat sama Sena, ya. Dia udah nunggu dari tadi, kasihan.”

“Ma, aku nggak bisa,” bisik Camelia panik.

“Jangan bikin orang kecewa. Dia nungguin kamu dari pagi, dua jam malah,” bisik Rindi balik.

“Huh?! Dua jam?!” Camelia nyaris tak percaya.

“Udah ya, Mama pergi dulu.” Rindi pun berlalu, meninggalkan keheningan yang kaku antara Sena dan Camelia.

Fakta yang diungkapkan Rindi memang benar. Sena telah datang sejak pagi. Bahkan ia sempat duduk berbincang dengan ayah Camelia di teras. Tapi, alih-alih membangunkan sang puan, ia memilih menunggu. “Biarkan Camelia tidur, saya nggak mau ganggu.” katanya pada Edo.

Kini, di hadapan Camelia yang masih berselimut panik dan kebingungan, Sena berdiri kikuk. Tangannya menyentuh gagang kacamata, lalu dengan suara nyaris pelan ia berkata, “Maaf, kalau aku bikin kamu nggak nyaman... lagi.”

Camelia mendengus. Bebal banget sih orang ini?! pikirnya.

“Non, jaketnya,” ujar sang maid yang datang tergesa sambil menyerahkan paperbag hitam berisi jaket.

Camelia mengambilnya tanpa banyak bicara dan langsung melangkah keluar, melewati Sena tanpa sepatah kata.

“Mel... Camelia...” panggil Sena, menyusul dari belakang.

“Mel, kamu marah? Kalau iya, aku minta maaf. Aku nggak punya maksud apa-apa, sungguh. Aku cuma pengen nganter kamu ke kampus,” ucapnya cepat, mencoba mengejar langkah Camelia yang lebih dulu menuju halaman depan.

Camelia mendadak berhenti dan berbalik. “Ya udah, buruan. Mana mobilmu? Aku udah telat!”

Sena pun tersenyum lega, nyaris refleks. “Iya! Siap, Komandan!” katanya spontan, lalu berlari ke garasi untuk mengambil mobilnya yang memang sudah ia parkir sejak pagi.

Camelia memutar bola matanya dengan malas ketika melihat Sena berlari tergesa ke arah garasi. Dia kenapa, sih? Datang tiba-tiba, sok manis pula. Ck! gerutunya dalam hati.

Sejujurnya, Camelia tidak pernah ingin terjebak dalam situasi seperti ini. Ia tahu betul dirinya selalu berusaha menjaga jarak—berusaha menjauh—tapi yang terjadi justru sebaliknya. Sena seakan tidak pernah mundur. Selalu muncul, bahkan di saat yang tak terduga.

Bodohnya, Camelia pun tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak benar-benar paham apa maksud dari semua ini. Apakah itu perhatian? Kepedulian? Atau sesuatu yang lebih dalam?

Bukan karena tidak bisa merasakannya, tapi lebih karena ia terlalu polos dalam membaca hati. Tidak peka terhadap bahasa perasaan. Baginya, semua yang dilakukan Sena hanya terlihat sebagai kebetulan yang terlalu sering, bukan sebagai pertanda yang disengaja, yang membuatnya makin bingung, kenapa setiap kali Sena datang, ia tidak pernah benar-benar bisa marah. Justru hatinya semakin riuh, meski mulutnya memilih diam.

......................

Suasana dalam mobil terasa senyap. Hanya dentuman musik instrumental dari speaker yang mengisi jeda di antara mereka. Bagi Sena, hari ini adalah hari keberuntungan. Bisa satu mobil lagi dengan Camelia membuatnya merasa perjuangan datang pagi-pagi ke rumah gadis itu tak sia-sia. Ada senyum kecil yang terus terbit di bibirnya, nyaris sulit dihapus.

Namun, berbeda dengan Sena, Camelia duduk diam. Tatapannya lurus ke depan, bibirnya terkatup rapat. Keheningan yang bagi Sena begitu mencekam, hingga ia memutuskan untuk memulai percakapan. Tetapi, baru saja ia membuka mulut, Camelia lebih dulu menoleh.

“Maksud kamu datang pagi-pagi ke rumahku itu apa?” tanyanya.

Sena menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Tapi ia tetap menjawab, “Ya, jemput kamu, Mel. Memangnya apalagi?”

“Aku punya sopir, Pak—”

“Mas, Mel.” Sena buru-buru memotong. “Panggil aku Mas. Jangan Pak dong, kita lagi di luar kampus.”

Camelia tersenyum miris. “Kenapa sih, maksa banget? Apa karena pagi itu aku kasih kamu tumpangan dan kamu berpikir kalau aku ini orang baik? Jadi kamu merasa berhutang dan sekarang mencoba ‘membalas budi’ dengan bersikap seperti ini? Kamu pikir cuma aku yang pernah nolong kamu dalam hidup ini? Please, jangan kuno. Aku lakukan itu karena memang ingin membantu. Itu saja. Jangan samakan aku dengan mahasiswa lain yang suka memuji-muji kamu. Aku nggak tertarik, ya. Sama sekali.”

Deg.

Ucapan itu menghantam dada Sena seperti batu. Ia tahu, mendekati Camelia tidak akan mudah. Tapi, mendengar penolakan sekeras itu tetap saja menyakitkan. Apakah salah jika ia memperlakukan Camelia dengan lebih dari sekadar sopan santun? Apakah salah jika ia diam-diam menaruh hati?

Giovani saja boleh tertawa bersama dia, kenapa aku seperti orang berdosa hanya karena ingin bersikap manis? batin Sena dengan getir.

“Kamu beneran nggak suka sikapku yang seperti ini?” tanyanya, kali ini suaranya sedikit serak, dan berat.

Camelia menoleh cepat, tapi tidak menjawab. Ia hanya memalingkan muka ke jendela, memberi sinyal jelas bahwa ia tidak ingin membahas lebih lanjut.

“Kita cuma berdua sekarang, lupakan bahwa aku dosen. Lihat aku sebagai laki-laki biasa. Kalau aku bilang aku jatuh hati sama seseorang yang pernah menolongku... apa itu salah?” lanjutnya.

Camelia menoleh cepat. “Kamu gila, ya?” pekiknya tak percaya.

“Nggak. Aku cukup waras untuk jujur, dan aku bukan tipe laki-laki yang mudah suka. Apalagi jatuh cinta. Jadi, menurutku kamu gadis yang beruntung.” balas Sena.

Ucapan itu membuat Camelia merasa muak. Menyesal aku kasih tumpangan waktu itu. Harusnya aku tinggal aja di pinggir jalan! gerutunya dalam hati.

“Aku harap kamu nggak kaget kalau nanti aku akan terus berusaha. Karena aku akan memperjuangkan kamu, Mel. Apapun caranya,” ucap Sena dengan yakin.

Bulu kuduk Camelia meremang. Bukan karena tersentuh, tapi karena ngeri. Dia bucin? Sama aku? teriaknya dalam hati. Yang benar saja!

“Berhenti!” seru Camelia tiba-tiba, dengan nada tinggi.

“Hah?” Sena menoleh sekilas. “Tapi belum sampai kampus.”

“Aku bilang berhenti!” ulang Camelia, kini dengan teriakan yang lebih lantang.

Sena tersentak, buru-buru menepi dan menghentikan mobil di bahu jalan. Sedangkan Camelia meraih pegangan pintu, tapi—klik—masih terkunci.

“Pak! Buka pintunya!” tuntut Camelia kesal.

“Kita sampai kampus dulu, ya,” ucap Sena tenang.

“Nggak mau. Aku mau turun sekarang. Pak Sena, bukain!” bentak Camelia.

“Mas. Mas Sena, Mel. Ayolah,” bujuk Sena.

“Duh! Iya, Mas Sena! Bukain pintunya! Aku mau turun sekarang! Aaaa!” teriaknya sambil menghentakkan kaki, seperti anak kecil yang tantrum.

Sena panik, tak tahu harus bagaimana. Tapi akhirnya ia menyerah dan membuka kunci pintu.

Camelia langsung tersenyum puas. “Nah, gitu dong! Aku keluar. Bye!” ucapnya tajam.

Bruk!

Pintu ditutup keras. Sena terdiam, tubuhnya sedikit tersentak. Tapi semua itu hanya ada di pikirannya. Karena kenyataannya, Camelia masih duduk di sebelahnya. Diam, tak bergerak. Sementara Sena? Ia hanya membayangkan yang terburuk.

Ia berusaha menenangkan diri. Jangan terlalu jauh berandai-andai, Sena. Dia masih di sini. Dan itu saja... sudah lebih dari cukup, batinnya

Begitu mobil berhenti di area parkir Universitas Avanya, Camelia langsung menyentuh handle pintu, bersiap turun. Namun, belum sempat membuka, tangan Sena lebih dulu menahan pergelangan tangannya.

Refleks, Camelia menoleh dengan sorot mata tajam. Tatapannya menyala, membuat Sena buru-buru melepas genggaman.

“Ah, maaf...” ucapnya cepat, menundukkan kepala sedikit. “Sekali lagi, aku minta maaf kalau sudah membuatmu tidak nyaman. Dan... tentang ucapanku tadi, maaf kalau terdengar lancang.”

Camelia mengerutkan kening. “Ucapan yang mana?”

Sena langsung membeku. Ah... itu kan cuma dalam pikiranku tadi. Mana mungkin dia tahu? batinnya, malu sendiri.

“Lupakan. Maksudku... maaf, ya.”

Camelia mendengus pelan. “Mas, tahu nggak, aku tuh muak banget dengar kamu bilang ‘maaf’. Kayaknya itu udah puluhan kali deh kamu ucapkan. Jadi, tolong... cukup sampai di sini saja.”

Sena membisu. Kepalan tangannya mengejang di atas setir, namun ia tetap mendengarkan.

“Percuma kamu bilang maaf kalau akhirnya kamu mengulang hal yang sama. Kamu bilang membuatku nggak nyaman, tapi terus mengulanginya. Aku sudah terlalu sering mengalaminya sampai rasanya... aku mulai kebal, dan tahu apa yang lebih menyedihkan? Aku mulai membiasakan diri menerima gangguan mu. Aku benar-benar sudah telat. Jadi aku harus keluar. Terima kasih atas tumpangannya.” tutup Camelia, lalu membuka pintu mobil tanpa menunggu respons lebih lanjut.

Langkah Camelia semakin menjauh, dan Sena hanya bisa memandangi punggung gadis itu yang hilang di balik keramaian kampus.

Kamu benar, Camelia. Aku nggak lebih dari pengganggu bagimu, batinnya getir.

Kalimat yang tadi terucap— “Aku mulai membiasakan diri menerima gangguanmu.” —masih terngiang di benaknya, seperti gema tak berujung yang menghantam batin paling dalam.

Tapi di balik luka yang terasa, Sena masih menyimpan seberkas keyakinan. Ia tersenyum tipis, menatap bayangan samar Camelia dari kaca spion.

“Nggak apa-apa, setidaknya, aku punya lampu hijau dari kedua orang tuamu.”

Dengan keyakinan itu, Sena kembali menggenggam kemudi, membulatkan tekadnya. Selangkah ditolak, dua langkah lebih dekat. Menyerah bukan karakternya. Ia akan tetap berjuang untuk gadis yang mengubah hidupnya tanpa pernah sadar.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!