Pria Dari Belgia

Pagi ini, aku merasa sangat senang, bahagia yang sederhana, tapi nyata. Seperti udara yang tiba-tiba terasa lebih segar, seolah dunia ikut bernapas bersamaku. Ada rasa ringan yang sulit dijelaskan, seperti beban lama yang perlahan mengelupas. Aku berjalan keluar kamar, melihat langit yang biru, dan aku tersenyum kecil. Akhirnya keberanian kecilku semalam diterima dengan baik oleh Maarten.

Aku langsung bergerak, seperti ada energi baru yang mengalir dalam tubuhku. Dengan langkah ringan, kubuka lemari dan mulai memilih pakaian satu per satu. Mataku menyapu setiap lipatan kain, membayangkan suasana Bali yang hangat, matahari yang mencium kulit, dan angin laut yang membelai rambutku. Aku ingin tampil sederhana, tapi tetap nyaman. Rasanya seperti menyusun potongan mimpi dalam bentuk pakaian.

Koper yang sudah lama terdiam di pojok kamar, kubawa keluar. Ada sedikit debu di permukaannya, dan entah kenapa itu membuatku terharu. Seolah koper itu ikut menunggu momen ini, momen di mana aku akhirnya bisa pergi lagi bersama pria yang aku percaya.

Sambil melipat baju dan menyusunnya rapi, aku tersenyum sendiri. Pagi ini, dunia terasa berbeda. Aku belum benar-benar berangkat, tapi hatiku sudah sampai lebih dulu.

Tak lama setelah aku selesai membereskan koper, ponselku kembali berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Maarten. Pesan yang singkat, tapi cukup membuat detak jantungku berubah ritmenya.

“Besok, tunggu aku di Bandara Soekarno-Hatta. Pesawatku tiba jam empat sore.”

Aku membaca ulang kalimat itu beberapa kali. Ada rasa gugup yang sulit dijelaskan. Ini nyata. Besok kami akan bertemu lagi. Bukan di layar ponsel, bukan lewat panggilan video, tapi di dunia nyata, di antara keramaian bandara dan suara pengumuman kedatangan. Rasanya seperti menunggu seseorang yang membawa bagian dari hidupku yang sempat hilang, kini perlahan kembali.

Aku masih melipat bajuku dengan semangat, ditemani beberapa musik favoritku. Lalu notifikasi itu muncul lagi  di layar ponselku. Sekilas kulihat namanya, dan kutahu pasti ada sesuatu yang penting. Tapi aku tidak menduga bahwa yang kuketahui berikutnya akan membuatku hampir tak bisa berkata-kata. Dia mengirim sebuah boarding pass, atas namaku sendiri, terkirim langsung dari Maarten. Hari keberangkatan besok, jam 6 sore.

Sejenak aku terdiam. Aku menatap layar ponselku cukup lama, mencoba mencerna kenyataan. Dan besok, aku benar-benar akan pergi bersamanya. Ke tempat yang semalam hanya jadi angan-angan dalam percakapan. Rasanya seperti seseorang baru saja membuka pintu kecil menuju dunia yang selama ini hanya bisa kubayangkan dari kejauhan.

Tiket itu bukan hanya lembar perjalanan, tapi juga bukti bahwa Maarten mendengarkanku, bahwa pendapatku tak disepelekan. Ia tidak hanya baik, tapi juga tulus. Aku bukan siapa-siapa, tapi aku diperlakukan seolah layak untuk merasa bahagia. Senyuman kecil tak bisa kutahan di bibirku. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa sangat dihargai.

"Maarten... Terima kasih banyak. Aku tidak tahu harus berkata apa"

"Kamu layak mendapatkannya kupu-kupuku. Dan ingat janjiku, aku akan memperkenalkan dunia yang indah kepadamu, dan besok kita akan memulai semuanya"

Aku menatap layar ponselku lama, menahan air mata yang tiba-tiba mengendap di pelupuk mataku. Kata-katanya sederhana, tapi terasa begitu dalam. Mungkin karena aku sudah terlalu lama tidak mendengar seseorang berkata bahwa aku layak mendapatkan sesuatu. Atau mungkin karena baru kali ini ada seseorang yang benar-benar menepati janjinya padaku tanpa basa-basi, tanpa alasan, tanpa membuatku merasa berlebihan karena berharap.

Aku menyandarkan kepalaku di bantal, mencoba menenangkan degup jantung yang tak beraturan. Perjalanan ini bukan hanya tentang pergi ke Bali. Tapi tentang sesuatu yang lebih besar, yaitu kepercayaan, keberanian, dan harapan yang mulai berani tumbuh kembali.

Kupandangi boarding pass itu sekali lagi. Lalu kupejamkan mata, membayangkan esok hari. Suara mesin pesawat, matahari yang menyambut di atas awan, dan sosok Maarten yang memelukku di bandara dengan senyum hangatnya. Semua terasa seperti mimpi, tapi kali ini, aku tahu mimpi itu sedang mendekat. Perlahan, tapi nyata..

Dan jujur saja, aku sudah lupa bagaimana caranya naik pesawat. Terakhir, 5 tahun yang lalu. Aku membuka ponsel dan mulai mencari di internet :

"Cara naik pesawat untuk pemula"

"Urutan dari check-in sampai boarding"

"Apa yang harus dilakukan di bandara Soekarno Hatta".

Semua terasa asing dan menakutkan. Tapi aku terus membaca, mencatat, dan mengulang-ulang agar tidak ada yang tertinggal.

Tapi jauh di dalam hatiku, aku tahu, Maarten tidak akan membiarkanku sendirian. Dia bukan tipe orang yang egois, lalu membiarkan seseorang jatuh tanpa peduli. Aku yakin, dia akan menjagaku.

Kepercayaan itu, yang membuatku sedikit lebih tenang. Mungkin aku belum sepenuhnya berani. Tapi aku tidak lagi merasa sendiri. Ada Maarten, yang dengan sabarnya mendampingiku, yang dengan tenangnya akan menuntunku mengenal dunia yang belum pernah aku sentuh. Dan untuk itu, aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan mencoba sebaik mungkin.

"Kelly. Besok aku tiba di bandara soekarno hatta jam 4 sore. Keberangkatan ke bali jam 6 sore. Aku ingin kamu jam 3 sore sudah ada di bandara, jadi kita masih mempunyai waktu 2 jam sebelum melakukan penerbangan ke bali"

"Jangan khawatir Maarten. Jam 3 sore aku sudah tiba di Bandara soekarno hatta. Aku akan menunggumu"

Dan entah kenapa, malam ini terasa lebih panjang dari biasanya. Mungkin karena aku terlalu menanti hari esok. Rasanya seperti waktu berjalan lambat hanya untuk menggodaku.

Aku sangat ingin hari itu segera datang. Aku ingin melihat Maarten lagi, menatap matanya, mendengar suaranya, dan merasakan kehadirannya yang selama ini hanya bisa kunanti lewat layar ponsel. Ada sesuatu yang menghangat di dadaku setiap kali aku membayangkannya. Besok, kami akan memulai perjalanan ini bersama. Dan aku tak sabar untuk memulainya.

Terima kasih tuhan, sudah menghadirkan Maarten dalam hidupku.

Aku tahu, tak semua orang diberi kesempatan seperti ini diperhatikan, dijaga, dan diajak melihat dunia dengan cara yang begitu lembut. Saat hidup terasa gelap dan penuh keraguan, kehadirannya seperti cahaya yang pelan-pelan menuntunku keluar dari bayang-bayang.

Aku tidak tahu ke mana perjalanan ini akan membawa kami. Tapi untuk saat ini, aku hanya ingin bersyukur. Karena semesta telah mempertemukan aku dengannya, di waktu yang paling aku butuhkan.