Siapa sangka moment KKN mampu mempertemukan kembali dua hati yang sudah lama terasa asing. Merangkai kembali kisah manis Meidina dan Jingga yang sudah sama-sama di semester akhir masa-masa kuliahnya.
Terakhir kali, komunikasi keduanya begitu buruk dan memutuskan untuk menjadi dua sosok asing meski berada di satu kampus yang sama. Padahal dulu, pernah ada dua hati yang saling mendukung, ada dua hati yang saling menyayangi dan ada dua sosok yang sama-sama berjuang.
Bahkan semesta seperti memiliki cara sendiri untuk membuat keduanya mendayung kembali demi menemui ujung cerita.
Akankah Mei dan Jingga berusaha merajut kembali kisah yang belum memiliki akhir cerita itu, atau justru berakhir dengan melupakan satu sama lain?
****
"Gue Aksara Jingga Gayatra, anak teknik..."
"Meidina Sastro Asmoro anak FKM, kenal atau tau Ga?"
"Sorry, gue ngga kenal."
.
.
.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lelah dan chaos
"Bawa perkakas basic dulu, Jov." Pinta Jingga sedikit mengernyit ketika rintikan hujan membasahi kepala yang tertutupi jas, namun berhasil membasahi wajah dan kacamatanya yang mengembun. Ia lantas membuka itu dan memasukannya ke dalam saku.
"Hati-hati guys!" Arshaka membawakan satu tas berisi perkakas.
"Jaga posko sama yang lain Ka." Diangguki Arshaka.
"Hati-hati!" Nalula dan Syua turut berdiri di dekat ambang pintu.
Dua motor yang membawa 4 orang ini menjauh dari posko, "lewat jembatan goyang apa jalur aman, tapi jauh?" tanya Maru.
"Jembatan goyang aman kali ya, Ga..." tanya Jovi, ia hanya mau sampai dengan cepat ke lokasi kincir air.
"Aman. Tapi hati-hati aja..." pikirannya tak fokus pada satu titik saja, dimana Mei masih mendominasi pikiran Jingga.
Deburan air besar begitu cepat nan membuat seram di bawah sana.
"An jing ngeri gini, bang..." Arlan menelan salivanya seret demi melihat pada arus kencang yang menyeret dan menenggelamkan benda apapun yang jatuh kedalamnya.
"Aman---aman, kuat lah. Awas licin."
Dalam terpaan hujan deras, Maru dan Jovi membawa motor dengan hati-hati melintasi jembatan goyang.
Rasa dingin yang menggigit tak membuat keempatnya mengurungkan niatan untuk memperjuangkan proyek kerja program kuliah kerja nyata mereka, bukti pengabdian untuk masyarakat luas, terutama warga Widya Mukti.
"Brrrr, dingin bet anjirrr." Oceh Arlan mengusap wajah yang telah kuyup dan mengucurkan air.
Dari kejauhan telah terlihat kincir hasil kerja Jovi cukup mengenaskan, "an jing Ga, beneran keseret sebagian. Bang sat...kenapa gue mesti lupa bautin dulu tadi..." Jovi bahkan langsung turun dari motor dengan wajah speechlessnya. Terbayangkan wajah lelahnya seminggu ini.
"Hati-hati Jo, itu nanti lo jatoh keseret... arusnya kenceng gitu!"
.
.
Mei kembali melirik jam di tangannya, teh manis sudah habis diteguknya bersama Hamzah yang sudah mengajaknya berbincang tentang semua hal, bahkan pria itu sempat-sempatnya bertanya hal-hal di luar program kkn, termasuk apakah Mei telah memiliki seseorang yang spesial di hatinya saat ini...
Ia memandang resah mengingat waktu telah menunjukan pukul 15.20 WIB.
"Kang, bawa jas hujan engga?" tanya Mei melirik tetesan hujan yang sudah tak selebat tadi.
"Engga teh, tapi kalau teh Mei mau nerjang hujan...saya hayu aja. Tunggu sebentar lagi, 10 menit deh atau sampai adzan ashar selesai. Mungkin hujan reda."
"Padahal mau nginep disini juga ngga apa-apa, teh...nanti saya siapin tempatnya, tapi mungkin sama anak-anak, ngga apa-apa?" tawar bu Atih, praktis saja Mei menggeleng cepat, "eh ngga usah bu, saya pulang aja...temen-temen yang lain pasti udah nunggu saya, pasti khawatir." tolak Mei.
Kang Hamzah tersenyum, "tunggu 10 menit ya, kalau memang masih hujan ngga apa-apa...jas almamaternya dikerudungin aja. Maaf saya ngga bawa jaket juga."
Mei menggeleng, "eh, ngga apa-apa kang."
Bu Atih beranjak dari duduknya, sementara anak-anaknya anteng bermain bersama termasuk Arika yang selalu menjadi perhatian Mei. Sungguh ia menaruh simpati berlebih untuknya, Mei dapat merasakan apa yang Arika rasakan...sebab ia pernah ada di posisi hampir seperti Arika. Menjadi bahan bullyan bahkan oleh kawan sendiri.
"Teh.. mau p--ulang?" tanya bocah itu mendekat dan tanpa aba-aba duduk di pangkuan Mei, "iya. Pulang ke posko...Arika kalo butuh temen bisa minta anter mamah ke posko, nanti disana banyak aa sama teteh kkn yang lain juga."
"Aa?" tanya nya. Mei mengangguk menunjukan ujung jas almamaternya agar ia ingat, mungkin pernah bertemu dengan Arshaka, Maru, Arlan atau Jingga yang sempat menyambangi sekolah tk dan paud.
"Arika boleh kok main ke posko. Ajak teteh, aa sama adeknya." tunjuk Mei lagi ke arah saudara-saudaranya.
"Teh, ini ada jas plastik begini. Mungkin bisa dipakai?" bu Atih menunjukan jas plastik biru milik sang suami.
Hujan masih menyisakan rintik gerimisnya, dan jas milik ayah Arika sudah Mei pakai.
"Mau akang aja yang pakai?" tawar Mei tentu saja digelengi kang Hamzah, yang benar saja...dimana sikap ksatrianya, "teh Mei saja yang pakai, saya sudah biasa."
"Hati-hati teh..."
"Ati...ati!!" suara Arika sambil berjingkrak-jingkrak berdadah ria pada Mei.
"Iya!" Mei turut membalas melambaikan tangannya setelah sejenak menyingkirkan tudung jas yang dirasa kebesaran dan menghalangi pandangan, "dadah!" bahkan tangannya ikut tenggelam dalam jas plastik itu. Ia dan kang Hamzah berjalan menanjak menapaki tangga tanah merah yang cukup licin.
"Awas teh, bisa?" hampir ia menyentuh tangan Mei demi menahan dan menjadi pegangan gadis ini.
Mei mengangguk, "licin ya kang..." senyumnya getir ingat ucapan Alby dan Syua yang mengatakan sama sekali tak ada pegangan disini, hingga Mei hanya bisa mengandalkan pepohonan di sampingnya, "harus di catat ini kang. Bahaya sama sekali ngga ada tumpuan atau pegangan."
"Iya, nanti saya bilang bapak." kekehnya mengawasi langkah Mei sampai benar-benar sampai di atas, dimana motornya terparkir di pinggiran jalan.
"Hufftt lumayan, lutut sampe ke dagu ini mah."
Lelaki itu menyingkirkan air yang membasahi jok motornya hingga memuncratkan air dari sana.
"Basah."
"Ngga apa-apa kang." Angguk Mei tak menatap mata kang Hamzah, setelah lelaki itu naik ke atas motornya, Mei turut naik ke boncengan.
Rasa dinginnya cukup membuat Mei mengepalkan tangan kencang, hufft dingin!
***
Jingga dan ketiga lainnya telah kembali ke posko lagi, cukup percuma juga memakai jas hujan, karena nyatanya....mereka tetap basah kuyup.
Jovi duduk di beranda dengan menunduk membuat air mengucur dari dagu dan ujung rambutnya, ia berdecak merutuki kebodo hannya, "ahhh...cape-cape gue rakit, Ga...sorry banget...ini salah gue."
Maru bahkan sudah bisa meme ras air dari kaosnya dan setengah berlari ke belakang rumah lewat samping, "Tolong bukain pintu dapur, gue kuyup gini oy pengen bersih-bersih!" pintanya diangguki Arshaka.
Begitupun dengan Arlan yang kemudian memilih langsung merebahkan dirinya di beranda, "anjirrr uji nyali banget gue barusan...gila..." ia masih tak percaya dengan aksi barusan. Ban motor Jovi sempat slip di atas jembatan tadi.
Begitupun dengan Jingga yang sudah merasa kepalanya hampir pecah.
"Gimana?" tanya Syua.
"Ancur ci, hasil kerja seminggu kebawa arus air...ujannya gede banget, nih si mo nyet lupa pakein baut."
"Lo bisa ngga jangan berisik dulu?!" kini Jovi menatap Arlan dengan cukup sengit.
"Santai Jo..." Syua mencoba menengahi.
"Ya emang bener kan, lo banyak lupanya...lo banyak cerobohnya?" Arlan kini ikut terpancing oleh reaksi Jovian.
"Enteng banget lo ngomong bang sat. Coba lo jadi gue...sekarang gue tanya, tugas lo disini ngapain selain recokin anggota lain, ha?!"
"Wo...wo...santai Jo...Lan..." Alby dan Mahad sudah menghampiri, sementara Arshaka baru saja kembali dari belakang, Zaltan cukup teralihkan dari laptop ketika mendengar keributan di depan sana.
"Lo pikir jadi pubdok enteng?! Coba lo kerjain...jangan mentang-mentang proker lo paling banyak lo yang paling berjasa disini Jov, tiap hari yang lain...bahkan gue sampai detik ini...kalo lo lupa, bantuin kerjaan lo. Tiap hari, lo cuma bisa tolong ini dong..tolong itu dong...apa-apa juga lo minta Jingga yang kerjain, dimana letak tanggung jawab lo selain dari kecerobohan yang bikin proyek ambyar?!" tembak Arlan lagi.
Jingga mengurut keningnya mencoba menengahi, "udah...udah, lo berdua bisa tenangin diri dulu. Jov...waktu masih cukup. Semoga masih cukup sampe minggu depan..."
"Minggu depan ada apa, Ga?" tanya Mahad.
"Pak Sulaeman mau tinjau perkembangan kkn beberapa kelompok termasuk kelompok 21."
"Hah? Seriusan Ga?" tanya Alby diangguki Jingga.
"Denger kan lo, nyet? Kalo bukan gara-gara kecerobohan lo...kita ngga mesti ngerjain dari awal. Fix, ini proker kkn gagal!!" bentak Arlan.
Jovi melayangkan tinjunya pada Arlan yang kemudian memicu perkelahian keduanya yang membuat Arshaka, Mahad, Alby dan Zaltan segera melerai mereka.
"Lo berdua bisa diem ngga?! Lo berdua lagi cape...gue yakin. Istirahat...Jov, Lan...kita cari solusinya bareng-bareng...gue yakin pasti bisa, pasti masih sempet. Toh ngga mesti ngulang dari awal juga kok..." Jingga kembali angkat bicara.
"Kalo dari awal nih mo nyet ngga bikin proyek ribet begitu kita ngga akan susah, Ga..." tuduh Arlan yang kembali memancing kemarahan Jovian.
"Tapi progress juga kan udah dapet persetujuan semua anggota, termasuk lo setan..."
Namun tanpa di duga dari dalam Senja ikut turun dengan wajah sembabnya, "lo berdua bisa tenang ngga sih?! Berisik! Lo berdua tuh malah nyusahin Jingga bukannya ikut mikir!"
"Nah lo, apa kerjaan lo selain dari nyusahin kelompok?! Selain dari ngurusin kuteks sama cowok lo yang ga penting itu, sampe empedu ikan aja lupa lo buang?! Ngga guna." tembak Jovi.
"Apa lo bilang?!" ujar Senja tak percaya, jika pembahasan empedu akan masuk menjadi bola panas.
"Jov!" Syua melotot menegur. Senja menatap nyalang sekaligus murka pada Jovian.
"Woy...santai woyy....kita cuma lagi capek guys, tenangin diri dulu." Arshaka buka suara.
"Tenang...tenang...lo bisa banget Ka ngomong gitu, lah kerjaan lo pacaran mulu sama Vio." Arlan kini buka suara yang membuat semuanya menatap Vio dan Shaka dengan pandangan syoknya.
"Ini apa lagi sih?!" Syua berdecak menatap sengit Vio dan Shaka.
"Ba cot lo bang sat..." Shaka bergumam menatap Arlan sengit, "lo pikir gue sama Vio ngga profesional, toh setiap kerjaan beres...sekalipun gue pacaran atau berantem, masalah lo apa?!"
Vio menahan Shaka.
"Emang nih mulut si se tan ngga punya filter!" tunjuk Jovi.
"Apa lagi ha?! Rahasia apa lagi yang belum buka-bukaan diantara kelompok 21 ini?!" Syua menatap satu persatu anggota kelompok.
Mahad cukup merasa risih dengan sikap so ketua dari Syua yang sejak awal tak ia sukai, ia berdecih, "lo...gue risih sama sikap so provider lo itu. Bisa ngga lo jangan so begitu? Disini lo bukan siapa-siapa..."
"Mahad..." Lula kini menahan Syua dan Mahad yang sudah bersiap untuk memulai versus baru diantara mereka, "udah dong udah..."
"Oh ya? Terus lo apa kabar?! Lo pikir semua bisa lo beli pake uang?! Ngga malu, lo berantem sama cewek?!"
Jingga menghela nafasnya berat, kepalanya semakin berat dan sakit saja.
"Bisa berenti ngga? Lo semua masuk! Jangan ribut di luar gini...bikin malu, kita bicarain dengan kepala dingin." Titah Jingga.
"Singkirin dulu nih si se tan satu.. Gue nyesel kenal..." tunjuk Jovi lagi pada Arlan.
"Apaan lo?!" Arlan hendak meninju Jovi namun sayang, posisi Jingga yang menengahi membuat jotosan itu justru mengenai Jingga.
Bugh!
"Astaga!"
"Ga?!" Bahkan para anggota perempuan menutup mulutnya.
"Udah puas, Lan ?" tanya Jingga kini tak bisa untuk berwajah ramah lagi, "lo juga mau bales, Jov?"
.
.
.
.
hmmm semangat mimin shin sehat selalu 😘😘
cahyoooooooooooooo
Semangattt terus mbak penulis sehat selalu 💪💪🙏🙏🌹🌹
Semangattt terus mbak penulis sehat selalu 💪💪🙏🙏🌹🌹
semoga silaturahmi tetep terjalin baik dengan kelompok ataupun warga Widya Mukti.......