AKU BUKAN PELACUR
Tan Palupi Gulizar nama yang manis. Namun tak semanis perjalanan hidup yang harus ia lalui untuk mencari jawaban siapa jati dirinya yang sebenarnya.
Sosok yang selama ini melindungi dan membesarkannya, ternyata menyimpan sebuah cerita dan misteri tentang siapa dia sebenarnya.
Lika-liku asmara cinta seorang detektif, yang terjerat perjanjian.
Ikuti kisah kasih asmara beda usia, jangan lupa komentar dan kritik membangun, like, rate ⭐🖐️
Selamat membaca 🤗🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima Rhujiwati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Palupi berjalan pelan mendekati Riris, yang terlihat agak pucat dan sedikit acak-acakan, "Mbak... Apa yang terjadi? Kenapa mbak bisa berada di sini?"
"Palupi." Riris memeluknya, menangis tersedu dan mengeluarkan jurus mautnya untuk memperdaya hati Palupi, yang akan lemah bila menyaksikan hal yang menyentuh hatinya.
Palupi membalas pelukan Riris, mengusap air mata Riris dengan lembut, lalu membawanya duduk di bangku yang tersedia di sampingnya.
Ray tetap siaga mengawasinya dari kejauhan dan melihat adegan tersebut dengan mengerutkan keningnya, 'kenapa berpelukan? Apa yang terjadi dengan Riris?'
Ray merogoh saku celananya dan mengambil ponselnya.
"Ya, hallo... Segera jemput nona Gulizar, dan lakukan tugasmu awasi target utama." Ray tidak ingin kecolongan lagi, maka ia menekankan suaranya kepada sang penerima pesan.
Berbeda dengan Liana, bukannya merasa kasihan, dia bahkan melepas paksa pelukan Riris, dan menarik lengan Palupi, hingga hampir saja tubuh Riris terjerembab untung ada bangku kosong yang bisa menampung tubuhnya untuk tidak nyungsep ke lantai.
"Liana...! Apa yang kamu lakukan, jangan berbuat kasar dong!" Kembali Palupi membantu dan merengkuh tubuh Riris.
"Lupi.... Ibu sakit, maafkan semua kelakuan kami padamu. Tolong jangan menaruh dendam pada kami. Ibu membutuhkan biaya, dan perhatian yang banyak, Lupi." Air mata Riris meluncur dengan lancar, tangis sesenggukan mengiris kalbu.
"Oke kali ini aku percaya pada ucapanmu, namun...! Jangan pernah sekalipun kamu memperdayai ketulusan seseorang dengan dramamu yang kampungan itu," Liana dengan bersedekap tangan memandang sinis ke arah Riris.
"Kakakku Liana sayang, kita dengarkan dulu penjelasan mbak Riris ya! Menghakimi seseorang tanpa alasan tidak baik loh sayang," Palupi tersenyum manis sambil mengerlingkan mata kirinya ke arah Liana yang sedang tidak terima dengan kelakuan Riris padanya.
Riris yang sebenarnya merasa dongkol, menundukkan kepalanya dia masih setia dengan akting yang ia perbuat untuk memperlancar rencananya agar dapat memperdayai Palupi.
"Mbak Riris, sebenarnya aku sudah tahu semua cerita tentang siapa aku, siapa orang tuaku, dan di mana mereka sekarang. Namun percayalah! Sedikit pun aku tidak pernah menaruh dendam pada kalian. Hanya saja, kenapa perempuan yang kupanggil dengan sebutan ibu, tega memisahkan aku dengan orang tuaku, sedangkan kalian, hanya uang yang kalian harapkan!"
Palupi menjeda kata-katanya, sesak di dada saat mengingat dirinya harus terputus hubungan dengan orang tua kandungnya dan kehilangan masa kanak-kanaknya yang seharusnya indah dan manis bersama keluarga bahagianya.
Kembali air mata palsu Riris berlinang, seolah-olah ia sangat menyesali perbuatan ibunya. "Maafkan kami Lupi, semua karena keadaan kami sendiri. Tahu kan bagaimana susahnya ibu, membesarkan kita berdua."
"Baiklah mbak, aku tidak pernah melupakan masa-masa itu, dan aku sangat berterima kasih pada ibu yang sudah bersusah payah membesarkan aku. Sekarang ibu di mana, dan apa yang harus aku lakukan?" Suara Palupi tetap bernada lembut, walaupun sebenarnya ada rasa kecewa atas semua kelakuan dan perlakuan yang ia terima selama ini.
Liana mendekati Palupi, dan memberikan ide padanya, "Baiklah, kita duduk di tempat yang lebih nyaman saja, dan kalian ngobrollah dengan santai. Jangan seperti telenovela begini. Malu dilihat banyak orang kayak sedang syuting aja." Hardik Liana dengan penuh kejengkelan.
"Memangnya Ibu sakit apa Mbak? Karena ketika kalian jual paksa diriku, kondisi ibu baik-baik saja bahkan wajahnya terlihat bahagia setelah menerima pembayaran seratus juta!" Emosi Palupi naik, namun tak lama Palupi berhasil menekan emosinya.
Riris terkesiap mendengar ucapan Palupi yang menohok.
Mereka pun menuju tempat yang Liana sarankan. Mereka bertiga saling berbincang hingga beberapa puluh menit.
Palupi memasang wajah mode datar saat berbincang dengan perempuan yang dianggapnya kakak.
Palupi sengaja tak bereaksi berlebihan karena sudah hafal dengan kelakuan busuk Riris, yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang.
Tidak lama kemudian datang dua laki-laki macho menghampiri Palupi dan Liana, "Nona Gulizar, sudah saatnya kita harus kembali. Silakan!"
Riris bengong, melihat Palupi dan Liana bangkit dari duduknya dan pergi begitu saja tanpa berpamitan dan mengikuti kedua lelaki itu.
Batin Riris terguncang melihat bagaimana Palupi diperlakukan dengan sopan oleh kedua lelaki dengan postur tubuh gagah dan tegap itu. Liurnya menetes, melihat laki-laki macho dan tampan. Otak mesumnya langsung bekerja membayangkan betapa nikmatnya bila bergumul sepanjang malam dengan mereka.
Riris berusaha mengejar Palupi. Tangan Riris meraih pundak Palupi dan memohon, "Lupi, mbak mohon! kiranya kau sudi menengok ibu yang sedang mengalami penderitaan sakit kanker rahim stadium akhir. Walau bagaimana pun juga kau adalah bagian dari kami."
Tentu saja Palupi kaget dengan ucapan Riris, dia tidak menduga ibu yang selama ini bersikap keras dan sering memberikan penekanan yang tidak masuk akal, sedang terkapar lemah dengan sakit yang tidak ringan.
"Kenapa tidak ada yang memberi kabar kepadaku kalau ibu sedang sakit keras, Liana?" Mata coklat Palupi menatap tajam ke arah Liana.
Liana merasa bingung mendapat pertanyaan yang ditujukan kepadanya, sedangkan ia sendiri juga tidak tahu menahu tentang berita sakitnya Juleha. "Ish....ish...kejam loh pandangan matamu sayang, hmm."
"Nona Gulizar, mari kita segera kembali sebelum tuan John mengetahui semua ini," kembali salah satu pria bodyguard itu memperingatkan Palupi.
"Baiklah, mbak! Lupi akan meminta Ray untuk mengantar aku ke tempat ibu. Sekarang aku harus pulang." Mau tidak mau mereka harus berpisah. Palupi meninggalkan Riris dengan rasa yang aneh di hati.
Riris tersenyum sinis dengan sikap Palupi, yang ternyata masih juga bisa ia perdayai. Setelah bayang-bayang Palupi tidak terlihat oleh mata Riris, ia kembali ke tempat Bambang yang sudah sekian puluh menit menunggu kembalinya Riris.
"Sayang... Kenapa lama hemm... Hampir saja aku tinggal pulang kalau sedikit saja kamu terlambat kembali ke tempat ini." Omel Bambang sambil mencubit pipi Riris yang sudah duduk di sampingnya.
"Maaf Oom, tadi Riris ketemu teman lama. Dan kami sedikit mengobrol." Dusta Riris dengan sejuta rencana yang akan ia lakukan untuk memperdayai Bambang dengan Palupi sebagai umpannya.
"Oom sudah selesai ngurus tiket para TKW yg mau terbang ke Jeddah?" Tanya Riris untuk mengalihkan perhatian Bambang yang mencecarnya dengan pertanyaan yang tak bemanfaat.
"Hmmm, ternyata masih ada dua dokumen yang belum lengkap. Seingatku ketinggalan di meja kerjaku."
"Terus gimana dong Oom? Apa kedua TKW itu harus ditunda keberangkatannya?," dengan tampang pura-pura bodoh. Riris berusaha agar perhatian Bambang betul-betul teralihkan dari keinginan mencari tahu alasan Riris yang cukup lama pergi. Riris tak ingin Bambang tahu pertemuan Riris dengan Palupi.
Benak Riris sedang merancang rencana, bagaimana caranya menangkap Palupi yang akan dijadikan alat tawar-menawar dengan Bambang.
Saat melamun, bahunya ditepuk Bambang. "Itu Tomo sudah datang. Nanti kamu duduk di sini dulu dengan Tomo, sementara aku urus kelengkapan dokumen kedua TKW itu di ruang Komandan Costum."
"Baiklah, aku tunggu di sini dengan mas Tomo. Jangan lama-lama ya." Jawab Riris dengan gaya manja.
...****************...
wow😳😳Riris cari masalah tuh...
lanjut yuk ahhh nggak 😜
TBC... & LOVE By : RR always 😘
klo palupi dia terlalu baik