---
📖 Deskripsi: “Di Ujung Ikhlas Ada Bahagia”
Widuri, perempuan lembut yang hidupnya tampak sempurna bersama Raka dan putra kecil mereka, Arkana. Namun di balik senyumnya yang tenang, tersimpan luka yang perlahan mengikis keteguhan hatinya.
Semuanya berubah ketika hadir seorang wanita kaya bernama Rianty — manja, cantik, dan tak tahu malu. Ia terang-terangan mengejar cinta Raka, suami orang, tanpa peduli siapa yang akan terluka.
Raka terjebak di antara dua dunia: cinta tulus yang telah ia bangun bersama Widuri, dan godaan mewah yang datang dari Rianty.
Sementara itu, keluarga besar ikut memperkeruh suasana — ibu yang memaksa, ayah yang diam, dan sahabat yang mencoba menasihati di tengah dilema moral yang makin menyesakkan.
Di antara air mata, pengkhianatan, dan keikhlasan yang diuji, Widuri belajar bahwa bahagia tidak selalu datang dari memiliki… kadang, bahagia justru lahir dari melepaskan dengan ikhlas.
“Karena di ujung ikhlas… selalu ada bahagia.”
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4 RIANTY YANG MANJA
Rianty membuka pintu rumah dengan langkah perlahan. Sepatu haknya beradu pelan di lantai marmer, menggaung dalam keheningan sore itu. Begitu kepalanya menoleh ke ruang tamu, tubuhnya refleks menegang — di sana duduk sang Papih, Tuan Bram, dengan ekspresi dingin dan mata tajam seperti elang yang sedang mengintai mangsanya.
Suasana mendadak berat. Bahkan suara jam dinding terdengar terlalu nyaring.
“Dari mana saja kamu seharian ini, Rianty?” suara Tuan Bram terdengar dalam dan tegas, tidak perlu meninggi untuk membuat jantung Rianty berdegup kencang.
Gadis itu menggigit bibir bawahnya, berusaha menata napas. Tangannya yang halus saling meremas, berusaha mencari keberanian di antara gugup dan rasa takut.
“Anu… Pih… aku…” ia menelan ludah. “Aku lagi memperjuangkan cintaku, Pih.”
Kening Tuan Bram berkerut. Suaranya turun satu nada, tapi justru terdengar makin menakutkan.
“Memperjuangkan cinta…?”
Rianty mengangguk pelan. “Iya, Pih… tapi nanti bantu aku ya, Pih…”
“Bantu?” Tuan Bram mengangkat satu alis, menatap anak semata wayangnya itu dengan sorot tajam penuh selidik.
“Mm… begini, Pih… mm… aduh gimana ya…” Rianty gelisah, ujung jarinya mengetuk meja, menatap lantai, lalu mendongak dengan nekat.
“RIANTY!” suara Tuan Bram menggema, keras, membuat udara di ruangan seolah membeku.
Rianty memejamkan mata sebentar, lalu mengucapkannya cepat-cepat — seperti menyingkirkan beban yang terlalu lama ia pendam.
“Pih… aku menyukai pria beristri!”
Kedua mata Tuan Bram membesar. “Apa?! Mamih!” serunya spontan, menoleh ke arah tangga.
Dari arah dapur, langkah kaki terdengar mendekat cepat. Nyonya Cassandra, sang Mamih, muncul dengan wajah terkejut setengah tak percaya.
“Rianty, kamu bilang apa barusan?” suaranya meninggi, namun tetap berbalut keanggunan khas wanita kelas atas.
Rianty menatap kedua orang tuanya bergantian. Ia tahu, ini saatnya ia harus jujur — apa pun risikonya.
“Dia pria yang bertanggung jawab, Mih. Aku sudah memperhatikannya selama setahun terakhir. Dia jujur, pekerja keras… dan tulus.”
Tuan Bram terdiam lama, lalu menghela napas. Tatapannya tajam menelusuri wajah putrinya, mencoba membaca apakah semua ini hanya kelabilan sesaat atau perasaan yang sungguh-sungguh.
Akhirnya ia bertanya dengan nada pelan tapi menusuk.
“Lalu… apa pekerjaannya? CEO? Arsitek? Pemilik hotel? Atau—”
Belum sempat selesai, Rianty menyela cepat.
“Security, Pih.”
Keheningan mendadak menebal. Tuan Bram nyaris tak percaya apa yang baru ia dengar. Nyonya Cassandra bahkan menutup mulutnya dengan tangan, menahan seruan kaget.
“Papih tidak setuju!” suara Tuan Bram meninggi. “Masih banyak laki-laki yang lebih pantas untukmu! Lihat Gery — dia sudah lama menaruh hati padamu. Orang tuanya sudah beberapa kali datang melamar!”
Rianty menggeleng keras, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
“Tapi Gery itu Casanova, Pih! Dia memang kaya dan tampan, tapi tukang main perempuan. Aku nggak mau hidupku jadi drama penyakit dan perselingkuhan!”
“Benar kata Rianty!” sambung Nyonya Cassandra tiba-tiba. “Mamih juga nggak pernah suka sama si Gery itu!”
Tuan Bram menatap istrinya, terkejut karena biasanya Cassandra selalu sependapat dengannya.
Namun kali ini, mata sang istri menatap dengan keyakinan penuh.
Rianty memegang tangan ibunya, penuh harap.
“Mih… boleh ya? Aku ingin mengejar cintaku. Sekali ini saja… biarkan aku memilih sendiri.”
Keheningan kembali menyelimuti ruang tamu. Hanya suara detak jam yang terdengar, lambat dan berat.
Nyonya Cassandra akhirnya berbicara pelan tapi tegas, menatap suaminya lurus.
“Menurut Mamih, biarkan saja Rianty menikah dengan laki-laki itu. Kalau pun jadi istri kedua, kita masih bisa tutup rapat keluarga mereka dengan uang dan kemewahan. Orang miskin selalu bisa dibujuk dengan kenyamanan, Bram.”
Mata Rianty langsung berbinar. Ia menubruk ibunya dan memeluknya erat.
“Mamih! Mamihku tersayang! Terlove love the best!” serunya riang, seperti anak kecil yang baru mendapat boneka baru.
Tuan Bram hanya bisa menatap, tanpa kata. Dalam hati, ia tahu — kalau Cassandra sudah bicara seperti itu, berarti keputusannya tak akan berubah.
Ia bersandar di kursi, menarik napas panjang, menatap anaknya yang masih memeluk istrinya erat-erat. Dalam diam, Tuan Bram sadar:
Cinta memang buta, tapi kekuasaan bisa menutup mata siapa pun yang terlalu lama memandangnya.
Dan sore itu, ketegangan di rumah keluarga Bram belum benar-benar usai.
Hanya menunggu waktu sebelum badai berikutnya datang — badai yang mungkin akan mengguncang cinta, nama baik, dan harga diri mereka semua.
#TBC
Nah sudah sampai dikeluarga rianty,
Rianty si anak tunggal dan manja
Jangan lupa vote komen like dan kirsan nya yaaa
InsyaAllah sore up bab 5
Papayy readers!!