“Papa bukan koruptor, Dewa!” suara Elsa pecah, matanya sembab, tubuhnya masih terkulai lemah di ranjang rumah sakit. “Kau tahu sendiri, Papa tak pernah hidup berlebihan. Semua ini jebakan, aku yakin.” Dewa berdiri di sisi ranjang, jas mahalnya kontras dengan wajah dingin yang nyaris tanpa ekspresi. “Elsa, media sudah memberitakan. Bukti aliran dana itu ada. Aku tidak bisa membela sesuatu yang jelas-jelas mencoreng nama keluarga.” “Jadi kau lebih percaya berita daripada aku?” Elsa menatapnya tak percaya. “Aku baru melahirkan anakmu, Dewa! Anak kita! Bagaimana bisa kau memilih pergi di saat seperti ini?” Dewa menarik napas panjang, suaranya datar, seperti sudah bulat dengan keputusannya. “Aku sudah menandatangani surat cerai. Dan Lily… aku akan membawanya bersamaku. Julia akan membantuku merawatnya.” Air mata Elsa langsung pecah. “Julia? Sahabatku sendiri?” Suaranya bergetar, penuh luka. “Kau… kalian… tega sekali.” Dewa tidak menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, seolah ada sedikit rasa bersalah, lalu melangkah pergi. Suara pintu menutup menjadi tanda perpisahan yang paling menyakitkan. Elsa menjerit, mencoba bangkit, tapi jahitan di perutnya membuatnya tersungkur. Tangannya terulur, seakan masih bisa menggenggam bayinya yang sudah dibawa pergi. “Lily… jangan bawa anakku!” Namun dunia tetap saja kejam. Tidak ada yang berbalik. Tidak ada yang mendengar. Hanya isakannya yang menggema, memenuhi ruangan sunyi yang baru saja ia isi dengan kehidupan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saat Takdir Mulai Bicara…
Ruangan klinik itu sederhana tapi bersih. Lampu neon di langit-langit menyinari ruangan dengan cahaya pucat, tirai putih setengah terbuka membiarkan cahaya sore masuk samar. Bau antiseptik menusuk, bercampur dengan aroma obat-obatan. Di ranjang besi dengan seprai putih, Elsa terbaring. Tubuhnya lemah, rambutnya berantakan menempel di kening yang basah oleh keringat.
Kelopak matanya perlahan bergerak, seperti berat sekali untuk dibuka. Ia mengerjap beberapa kali, pandangan kabur sebelum akhirnya mulai jelas. Langit-langit putih. Bunyi tetesan infus tik… tik… tik…. Napasnya tersengal. Perutnya terasa perih, setiap gerakan sekecil apa pun menimbulkan nyeri yang menusuk. Jemarinya tak kalah sakitnya, nyeri, ngilu.
Suara lembut menyapanya.
“Syukurlah kamu sudah sadar…”
Elsa menoleh pelan, matanya masih sayu. Di kursi dekat ranjang, duduk seorang wanita cantik dengan rambut hitam panjang terurai, wajahnya anggun dan penuh kelembutan. Wanita itu mengenakan blus sutra krem dan celana bahan, jelas sekali bukan sembarangan orang. Matanya berbinar lega, tapi juga menyimpan harapan.
“Siapa… anda?” suara Elsa parau, hampir tak terdengar.
Wanita itu tersenyum tipis. “Namaku Sandra. Aku yang membawamu ke sini… tadi kamu pingsan di jalan.”
Elsa terdiam. Matanya berkedip-kedip, mencoba mengingat. Ingatan samar kembali, lorong rumah sakit, langkahnya yang terseok, tangisnya memanggil nama bayinya, lalu kegelapan. Dadanya tiba-tiba sesak.
“Kenapa aku di sini?” suaranya pecah, menyiratkan ketakutan.
Sandra mencondongkan tubuh, suaranya hangat. “Kamu pingsan, sayang. Dokter sudah meriksa kamu tadi. Kamu aman sekarang. Jangan khawatir.”
Air mata menggenang di mata Elsa. Ia menggigit bibirnya, lalu berbisik getir. “Tidak… aku tidak aman. Aku… sudah kehilangan segalanya.”
Sandra tertegun, tangannya terangkat ragu, sebelum akhirnya ia berani menyentuh tangan Elsa yang dingin. “Hei… kamu jangan bicara begitu.”
Elsa menoleh, mata sayunya penuh luka. “Kamu tidak tahu… suamiku menceraikan aku… tepat setelah aku melahirkan. Mertuaku bahkan tak datang, sahabatku… mengkhianatiku. Bayiku… dibawa pergi… aku bahkan tidak bisa melihatnya lagi.”
Kalimat itu hancur di udara, pecah jadi tangis. Bahunya bergetar, suaranya tercekik.
Sandra menggenggam tangan Elsa lebih erat. Wajahnya menegang, iba sekaligus ada sesuatu di dalam dirinya yang bergetar penuh harap. “Astaga…” ia berbisik lirih, nadanya tulus, “aku… aku tidak bisa bayangkan rasa sakitmu. Kamu kuat sekali sampai bisa bertahan sejauh ini, Elsa.”
Elsa menutup wajahnya dengan tangan, meski infus membuat gerakannya kaku. Air mata terus jatuh, membasahi pipinya. “Aku… tidak kuat. Aku ingin… aku ingin mati saja.”
Kata-kata itu menusuk dada Sandra. Ia spontan mengusap lembut punggung tangan Elsa, matanya berembun. “Jangan bilang begitu… kamu berharga, Elsa. Kamu masih punya harapan.”
Elsa menoleh perlahan, menatapnya penuh kebingungan. “Kenapa kamu peduli? Kamu bahkan tidak mengenalku.”
Sandra menghela napas, menahan getar emosinya. Senyum tipis terbit di bibirnya, meski matanya berkaca-kaca. “Karena aku juga seorang ibu… dan aku tahu, seorang ibu tidak boleh dibiarkan sendiri saat seperti ini, kamu butuh dukungan.”
Suasana hening sesaat. Mesin infus tetap menetes pelan, waktu seolah berhenti. Elsa terisak, suaranya lirih, “Aku bahkan… bukan seorang ibu lagi. Bayiku sudah dibawa pergi…”
Sandra menggenggam tangannya lebih erat, kali ini tak hanya karena iba, tapi juga karena secercah harapan yang tiba-tiba tumbuh. Tatapannya lembut, namun ada sinar berbeda yang mulai muncul. “Percayalah… bagaimana pun dan dimana pun anakmu, kamu tetap ibunya. Kamu hanya butuh semangat untuk sembuh… dan aku akan menemanimu sampai sembuh.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ruangan itu kembali hening setelah tangis Elsa mereda. Dokter masuk sebentar, memeriksa perban di perutnya dan memastikan infus berjalan lancar. “Lukanya sudah dijahit kembali. Jangan khawatir, tidak ada perdarahan lagi. Beberapa kukunya yang copot pun sudah saya obati dan perban. Beberapa hari ke depan harus rutin kontrol, tapi secara umum kondisimu membaik,” jelasnya singkat sebelum berpamitan.
Elsa mengangguk pelan, suaranya lemah. “Terima kasih, Dok…”
Setelah dokter keluar, Elsa menarik napas panjang. Wajahnya sayu, tapi ada sorot tenang yang berbeda dari sebelumnya. Perlahan ia berusaha duduk, menyingkap selimut, lalu menurunkan kakinya ke lantai.
Sandra, yang sejak tadi memperhatikannya, langsung panik. “Hei, kamu mau kemana?” tanyanya, ia cepat mendekat.
Elsa berdiri dengan goyah. Tangannya menahan sisi ranjang, kakinya gemetar. “Aku… aku harus pergi.”
Sandra menatapnya lekat. “Pergi? Ke mana?”
Elsa diam sebentar. Matanya menerawang kosong, lalu suaranya pecah lirih, “Aku tidak tahu. Rumahku sudah disita. Papaku dipenjara. Aku tidak punya tempat lagi.”
Sandra tertegun. Pertanyaan sempat berputar di kepalanya, kenapa Papanya sampai masuk penjara? Tapi ia menahannya. Itu tidak penting sekarang. Yang jelas, perempuan di depannya terlihat benar-benar kehilangan arah.
Perlahan, Sandra menarik kursi, duduk lebih dekat, lalu meraih tangan Elsa yang dingin dan gemetar. Suaranya lembut dan menenangkan. “Kalau begitu… jangan pergi dulu. Aku punya… tawaran untukmu.”
Elsa menoleh pelan, matanya penuh kebingungan dan kelelahan. “Tawaran?”
Sandra menelan ludah, lalu menghela napas. “Aku punya bayi… tapi aku tidak bisa menyusuinya. Aku… terlalu takut tubuhku berubah. Bayiku butuh susu. Aku butuh seseorang… seseorang yang bisa menolongku. Kamu… kamu bisa tinggal di rumahku. Jadi ibu susu untuk anakku.”
Elsa terdiam. Kata-kata itu melayang di udara, terasa asing sekaligus… memberi jalan. Untuk saat ini ia memang butuh tempat untuk berlindung, butuh tempat untuk mengumpulkan kekuatan, butuh uang, agar ia bisa membebaskan Papanya, dan merebut kembali bayinya.
Elsa menggigit bibirnya, menunduk, air mata kembali jatuh. “Aku… aku tidak tahu… bisa atau tidak. Rasanya semuanya… hancur. Aku tidak punya apa-apa lagi.”
Sandra menggenggam tangannya lebih erat. “Justru itu, Elsa. Kamu bisa mulai lagi. Kamu butuh rumah, aku bisa berikan. Kamu butuh perlindungan, aku juga bisa berikan. Dan anakku… dia membutuhkanmu.”
Suasana hening, hanya terdengar detak jam dinding dan suara kendaraan samar dari luar jendela. Elsa memejamkan mata, dadanya naik turun dengan cepat. Lalu, perlahan, ia mengangguk.
“Aku… mau.” Suaranya pelan, tapi mantap. Matanya menatap Sandra penuh tekad baru. “Aku mau. Aku akan melakukannya.”
Sandra terperanjat sejenak, lalu senyum lebarnya merekah. Matanya berbinar, lega sekaligus bahagia. Ia spontan memeluk Elsa, menahan air mata yang ikut meleleh. “Terima kasih, Elsa… kamu tidak tahu betapa bahagianya aku mendengar itu.”
Elsa tersenyum tipis di pelukan itu, meski wajahnya masih penuh luka. Dalam hatinya ia berbisik: Ini awal. Aku akan kumpulkan kekuatan. Aku akan hidup lagi. Dan suatu hari… aku akan mengambil anakku kembali.
(Bersambung)…
tetap semangat berkarya kak ❤️❤️🥰🥰
tetap semangat 👍👍
kagum🤭🤭