Mess Up!
Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.
Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 3 Hal yang Tidak Bisa Ditembus
”Kau demam tinggi,” info seorang lelaki bersurai merah pendek setelah melihat suhu di termometer yang menunjukan angka 38 derajat. Itulah sebabnya aku merasa pusing sejak semalam. ”Hari ini tidak ada yang penting, kan di kampus? Kau harus istirahat.” Aku hanya menatap langit-langit kamar kosku yang sedikit kabur. Nafasku tersengal, terasa tidak nyaman.
”Hahhh, ada tugas kuliah yang harus kukumpulkan...” lirihku.
Lelaki itu menghela nafas panjang, ikut merasa bingung. Sebagai informasi, dia adalah tetangga kamar sebelah yang berumur dua tahun lebih tua dariku. Ya dia Kakak tingkat di kampus yang sama namun berbeda fakultas yang sekarang sedang menyusun thesis kelulusan. Namanya adalah Vincent. Dia yang lebih dulu menyapaku di hari pertama aku mulai tinggal di sini. Setelah itu kami cepat menjadi akrab. Bahkan saling mengurus seperti sekarang ini.
”Jam berapa mata kuliahmu? Hubungi saja teman kelas yang bisa kau mintai bantuan. Dengan kondisimu seperti ini, berjalan saja mustahil.” Vincent memberi usul yang bisa langsung kuterima. Aku mengangguk dan segera bangkit dari posisi berbaringku. ”Eyy, jangan paksakan diri! Kau mau apa?” Vincent segera mencegahku.
”Aku mau ambil ponselku di atas meja belajar,” jawabku lemas.
”Aku saja. Kau tiduran saja.” Vincent pun beranjak dan melangkah sedikit mendekati meja untuk menjemput ponselku. ”Baterenya habis, nih,” infonya lagi sambil mengayunkan layar ponsel mengarah padaku.
”Ahhhh! Aku lupa mengisi daya sebelum tidur tadi malam!” Aku merasa frustasi. Rasa pusing yang sudah menyerangku sejak tadi malam sungguh membuyarkan semua konsentrasiku.
”Tenanglah. Kan tinggal di charge saja,” kata Vincent sambil berinisiatif bergerak menyambungkan ponselku ke kabel isi daya. Tidak cukup sampai situ, ia juga menyalakan ponselku yang masih menunjukan daya terisi sebanyak 1% itu. Begitu ponsel menyala, suara notifikasi yang tidak kuheningkan berbunyi tak henti. Vincent terkejut, begitu pula aku yang reflek bangkit dan menghampiri Vincent untuk meraih ponselku.
”Hei! Kubilang kau jangan beranjak dari tempat tidur!” Teguran Vincent tidak kuhiraukan.
Aku melihat ke layar ponsel yang dibanjiri dengan notifikasi aplikasi chat. Sebagai manusia yang rajin bersosial, banyak yang mengirimiku pesan, tapi ada satu orang yang nama kontaknya terus berada di puncak aplikasi pesan tersebut, ya itu adalah Lya. Belum sempat aku membuka pesan darinya, suara ketukan pintu terdengar dari luar kamar kosku.
Sekali lagi, badan Vincent bergerak secara otomatis membukakan pintu kamarku untuk mengetahui identitas orang yang barusan mengetuk. Begitu tahu, kedua mataku melebar dan spontan melontarkan namanya, ”Lya!”
Lya tidak langsung menyapaku. Aku dapat melihat wajahnya sempat menegang melihat sosok tinggi Vincent yang membukakan pintu sebelum kemudian mata itu menemukanku di dalam kamar. Ia melemparkan lambaian tangan canggung.
”Kau siapa, ya?” tanya Vincent, masih menghalangi pintu dengan bersandar miring di punggung pintu.
”Dia teman kelasku... Kami sama-sama di kelas A.” Aku membantu Lya menjawab. Aku sudah tahu kalau Lya pasti merasa canggung dengan orang yang tidak dia kenal. Setelah menjawabnya, aku menyingkirkan Vincent dari pintu agar aku bisa melihat sosok Lya dengan jelas. Hari ini pun Lya masih sangat menawan. Aku sangat ingin memeluknya kalau saja Vincent tidak ada di sana bersama kami.
”Ternyata benar kau masih sakit...” kata Lya yang menatap lurus padaku dengan penuh rasa khawatir.
”Yah... aku tidak sangka juga. Ternyata aku memang terserang demam,” balasku. ”Ngomong-ngomong, bagaimana kamu tahu nomor kamarku? Aku kaget tiba-tiba kamu di sini. Bahkan ini masih pagi, mata kuliah kita baru mulai siang, kan?”
”Aku ingin melihatmu.”
Jawaban tegas Lya sontak membuatku membatu ’lagi’. Aku masih tidak terbiasa dengan kejutan dari sifat Lya yang ini. Aku sempat tidak percaya dia tidak pernah pacaran. Lihat saja betapa lihainya dia membuat jantungku kini berdegup kencang, meski sejak tadi memang sudah begitu karena demam.
”Pacarmu, Ben?” sela Vincent dari belakang punggungku. Secara lancang ia melemparkan pandangan kepada Lya dari kaki hingga kepala.
”Hei! Dia pacarku, jadi jangan menatapnya begitu! Kuhajar kau!” Aku emosi dan mendorongnya lagi masuk ke kamar. ”Dia anak kamar sebelah, jangan dipedulikan. Ah! Apa kau mau masuk?” Aku mempersilahkan Lya, tapi aku lupa Vincent masih di dalam kamarku. Aku pun mengusirnya, ”Hei, keluar kamu. Kembali ke kamarmu!”
”Apa kau tidak punya perasaan? Aku sudah merawatmu sejak pagi!” protes Vincent. Dengan tega aku mengabaikan itu dan mendorongnya keluar kamar. Lya sedikit menyingkir untuk menghindari tubuh besar Vincent yang sedang kudorong. Setelah mereka bersamaan berada di luar, di sanalah kontak mata kembali tercipta. Aku tidak tahu bahwa terdapat suasana tegang di antara mereka. Mata mereka terlihat sedang saling menilai.
”Baiklah, aku akan kembali. Cepat sembuh, Ben.” Akhirnya Vincent menurut dan melangkah masuk ke kamarnya sendiri. Sebelum menutup pintu, ia menyempatkan diri menatap Lya sekali.
”Silakan masuk, Lya.” Sekarang aku benar-benar mempersilahkannya masuk ke kamarku. Lya mengangguk. Ia melepas sepatunya dan berjalan perlahan memasuki kamarku. Begitu masuk, ia mencoba bersikap sopan dengan tidak menoleh ke setiap sudut kamarku. Aku terkekeh melihat dirinya yang berusaha keras itu.
”Lihat saja sepuasmu. Aku senang kau memberikanku kunjungan dadakan seperti ini,” kataku. ”Oh, iya... mumpung ingat, bisakah kau memberikan buku tugasku pada Eric? Sepertinya aku tidak bisa pergi kuliah hari ini.” Aku memberikan buku tugasku yang sudah kuambil dari meja kepada Lya.
Lya mengangguk sekali dan memasukan buku itu ke dalam tas, ”Akan kuberikan. Aku juga tidak ingin kau memaksakan diri kuliah.”
Kami pun terdiam setelah itu. Tanpa malu aku memandangi Lya. Hari ini pun ia memakai turtleneck meski cuaca belakangan ini sedang panas-panasnya, tidak terkecuali hari ini. Mungkin itu cara berpakaian favoritnya, saat itu aku hanya berpikir begitu.
”Hei, Ben... kau tidak berbaring? Kenapa malah ikut duduk bersamaku di lantai?” sambil mengatakan itu, Lya menarik tanganku untuk beranjak bangun. Aku menurutinya dan membiarkan tubuhku didorong perlahan ke atas tempat tidur. Aku sedikit terhempas ketika Lya berhasil membaringkanku. ”Istirahatlah. Aku kemari hanya untuk memastikan kondisimu karena tadi malam kau terlihat tidak sehat.”
’Tadi malam?’
Aku langsung mengingat satu hal yang justru menjadi penyebab utama sakit kepalaku tadi malam. Bagaimana mungkin aku lupa tentang teman masa kecil Lya! ”Hei, Lya... apa tadi malam kau bermalam di apartemen Leo?” tanyaku.
”Hmm? Oh, Iya... Dia memaksaku... Lagi pula aku membutuhkannya untuk mengerjakan tugasku.” Lya menjawab dengan jujur. Di wajahnya tidak tampak rasa tidak enak hingga membuatku sedikit kesal.
”Kenapa kau tidak minta aku saja untuk mengerjakannya? Padahal aku bisa melakukannya juga untukmu,” kataku sedikit ketus. Aku tidak sengaja. Suhu tubuh dan rasa sakit di kepala membuatku tidak bisa berpikir jernih. Lihat saja Lya sampai kubuat berwajah bingung. Padahal dia sudah sengaja datang kemari karena mencemaskanku!
”Kau, kan sakit? Lagipula aku tidak mungkin memintamu mengerjakannya...”
”Kenapa tidak?”
”Karena kita baru kenal, kan...?”
”Tapi, kau kan pacarku! Mintalah apapun dariku. Jangan merasa segan.”
”Ben... Kenapa kau tiba-tiba merasa kesal? Aku tidak mengerti...”
Untungnya aku terlalu pusing untuk lanjut menyalurkan rasa kesalku. Lagipula jika aku membiarkan rasa cemburuku menang, aku takut akan membuat Lya tersinggung. Aku tidak ingin hal itu. Aku sudah memutuskan untuk bicara baik-baik, ”Maaf... Aku tidak kesal. Hanya saja, kupikir akan bagus jika kita bisa saling mengandalkan mulai sekarang,” ujarku sambil membuang nafas.
Lya terdiam sebelum kemudian ia berbaring di sampingku. Entah yang keberapa kalinya aku dibuat terkejut dengan tindakan di luar dugaannya ini. ”Kau bisa tertular jika terlalu dekat, Lya.” Aku dan alasan bodohku.
”Sejak masuk kamar penuh virus ini juga aku bisa saja tertular, kan?” Dan itu Lya dengan balasan yang tidak bisa kubantah.
”Benar juga.” Aku tertawa kecil.
”Ben,” panggil Lya sambil menarik wajahku menghadap kepadanya. Kini kami berdua berbaring saling berhadapan. Mata kami beradu pandang sangat dalam. ”Aku menyukaimu.” Pernyataan yang entah datang dari mana.
”Tiba-tiba?” ujarku bingung.
”Aku hanya ingin kamu tahu, aku sudah menyukaimu. Dan aku akan berusaha untuk semakin menyukaimu sampai rasa ini berubah jadi cinta. Aku akan menjagamu. Melindungimu. Menyayangimu.”
Semua perkataan Lya itu seharusnya aku yang katakan. Aku tidak tahu dari mana dia mendapat inspirasi untuk mengatakan semua kalimat jantan itu. Aku sampai melupakan masalah ’teman masa kecil’ itu karena Lya yang terlalu imut untuk diabaikan.
”Aku mohon bantuannya, Lya. Sayangilah aku. Asal kau tahu, aku sangat perasa, mudah cemburu.” Aku ingin memeluknya, sangat ingin memeluknya.
Badanku pun mengikuti isi hatiku. Aku menenggelamkan Lya pada pelukanku. Kutaruh wajahnya di dadaku dan kuberikan tepukan ringan di kepalanya. Aroma harum dari pelembut pakaian khas Lya. ”Biarkan kita seperti ini sebentar, ya Lya? Aku sedang bermanja padamu sekarang.”
Lya tidak menolak. Dia membiarkan dirinya nyaman dalam pelukanku. Aku tersenyum sambil memejamkan mataku. ”Kalau kau tertular, aku yang akan merawatmu, Lya,” kataku sebelum akhirnya otakku menyuruhku istirahat. Aku terlelap pulas.
***
Beberapa hari berlalu, dan hari ini Lya tak terlihat di kelas. Aku mencoba menanyakan kabarnya lewat chat. Balasannya singkat: dia demam. Aku terdiam sejenak, menyadari kemungkinan yang jelas— pasti 100% tertular dariku. Tanpa basa-basi aku menanyakan alamat tempat tinggalnya. Di luar dugaan, tempat tinggal kami ternyata cukup berdekatan!
”Hei, aku tidak bisa ikut main hari ini. Aku ada urusan,” ujarku pada Eric dan Derrick, yang juga merupakan golongan dari anak gaul di kampus. Hanya saja gaya hidup Derrick lebih santai dibanding Eric dan aku.
”Hmm? Begitukah? Urusan apa memangnya? Mendadak?” tanya Derrick.
”Yah, bisa dibilang mendadak, sih. Ini juga sangat penting.”
”Apa kau ingin menjenguk Lya?” Kini Eric yang bertanya. Membuat Derrick merasa heran karena satu nama itu disebut.
”Hahaha, iya... kau tahu, dia sepertinya tertular demam karenaku... makanya hari ini aku akan merawatnya.” Aku tertawa penuh sipu.
”Tunggu... Kau dan Lya? Lya yang biasanya sendirian di kelas itu? Kok bisa kalian saling menularkan demam?” Derrick tidak bisa menelaah obrolan yang sedang berlangsung.
Eric menghela nafas, ”Mereka pacaran.”
Derrick terbelangah mendapatkan kabar itu. ”Sejak kapan memangnya! Aku tidak pernah lihat kalian berinteraksi? AH! Kupikir-pikir belakangan ini kalian sering bertukar sapa! Kenapa aku tidak menyadarinya?!” Dia pun heboh. ”Jadi, apa Lya yang mengejarmu? Karena setiap kalian bertemu pasti dia duluan yang menyapa”
”Tidak, aku yang menembaknya duluan.”
”Serius?!” Sekali lagi Derrick terkejut, rahangnya terus terbuka lebar seperti akan lepas. ”Memangnya sejak kapan kau suka padanya? Aku tidak sadar...”
”Yah... Kau tidak perlu sadar juga, sih... Aku akan merasa malu jika rasa sukaku terlihat jelas. Pokoknya aku suka padanya.”
Eric yang sejak tadi diam, kini menatapku seperti sedang mengobservasi. ”Hei, jadi... tentang cowok yang kemarin bersama Lya itu...” Setelah menghilangkan banyak keraguan, Eric pun akhirnya membahas topik itu.
”Oh, dia teman masa kecil Lya. Hanya itu setidaknya bagi Lya!” jelasku dengan notasi santai seakan tiada beban. Wajah Eric seketika lega.
”Baguslah.”
Aku tidak bisa terlalu lama mengobrol. Masih ada Lya yang menungguku untuk kujenguk. Setelah ini pun aku harus mampir ke mini market untuk membeli beberapa buah tangan untuk kekasihku itu!
”Hei, kalau begitu, aku duluan, ya! Sampai jumpa hari senin!”
Kalimat pamitku hanya dibalas dengan lambaian tangan yang santai dari Eric dan Derrick. Dengan cepat aku membalikan punggungku dari mereka dan berlari cukup cepat agar bisa segera bertemu Lya. Perasaan antusiasku tampak jelas menggebu-gebu, itu sebelum ketika aku tiba digerbang fakultas dan menemukan sosok familiar sedang bersandar pada mobilnya di parkiran kampus.
Mata kami tanpa sengaja bertemu sehingga orang itu tanpa ragu beranjak menghampiriku, ”Hei, kau,” sahutnya.
”Leo...?”
Ya, orang itu tidak lain adalah Leo. Hari ini pun sosoknya tampak mencolok di tengah kumpulan mahasiswa yang lalu lalang. Setiap langkahnya menunjukan ketidak ramahan. Sekarang tidak ada Lya, sepertinya orang itu tidak berpikir untuk terus berpura-pura.
”Ada perlu apa teman masa kecil Lya kemari?” tanyaku sinis.
Leo yang sudah berada di depanku kini mendengus. Matanya yang tajam seakan menusukku. ”Kau akan pergi ke tempat Lya?” tanyanya.
”Bagaimana kau tahu?” Aku bertanya balik.
”Aku barusan dari kos Lya. Dia menyuruhku pulang karena kau akan datang nanti.” Terlihat dari raut wajahnya, Leo tampak kesal.
”Kau ingin melampiaskan rasa cemburumu padaku? Karena Lya mengusirmu untukku?” Aku tahu omonganku sekarang seperti orang yang besar kepala, tapi aku tidak ingin terlihat terusik menghadapi orang di depanku ini.
Leo terdiam, ekspresinya masih menunjukan rasa tidak suka. Alisnya sedikit berkerut, dan rahangnya tampak menegang seolah ia menahan sesuatu yang ingin diucapkan. Udara di antara kami sangat terasa tegang.
”Hahhhh...” Leo menghela napas panjang sambil sedikit menggaruk kepalanya. ”Terserah saja. Aku hanya ingin memberitahumu untuk segera selesaikan rasa penasaranmu itu pada Lya.”
Urat di pelipisku menegang mendengar kalimat itu. Emosi langsung menyeruak, seperti bara yang disiram bensin. Cara Leo mengucapkannya seakan menohok jantungku, membuatku tampak seperti pria brengsek yang hanya mendekati Lya demi mengobati rasa penasaran, lalu meninggalkannya ketika sudah puas.
Tanganku mengepal, dada terasa sesak, dan pikiranku berteriak untuk segera membalas. ”Jangan meremehkan perasaanku, sialan!” suaraku pecah, lebih keras dari yang kukira.
”Hah! Begini saja kau sudah terpancing, malam itu juga,” katanya sambil kini sedikit menunduk, mendorong dadaku dengan telunjuknya. Sentuhan kecil itu seperti percikan api yang menyulut amarahku.
”Apa kau tahu, sifatmu yang banyak menuntut itu akan sangat menyusahkan Lya?” Tatapan Leo menajam, suaranya rendah tapi penuh penekanan. ”Apa kau sadar dia tidak pernah berinisiatif menceritakan dirinya terlebih dahulu? Bukan karena kau belum bertanya, tapi karena dia sebisa mungkin ingin menutupinya. Meski kau mengenalnya lama pun tidak ada perubahan, ada hal yang tidak bisa seenaknya kau tembus hanya sebagai seorang pacar.”
Aku terdiam sejenak. Kata-katanya menghantam lebih keras daripada dorongan jarinya. Dadaku terasa panas, bukan hanya karena marah, tapi juga karena sebagian dari diriku takut semua perkataan itu ada benarnya.
”Kau juga hanya teman masa kecil,” balasku dengan nada dingin, menatap matanya tanpa berkedip. ”Ada batasan yang juga tidak bisa kau lewati dari Lya, kan? Makanya statusmu tetap sama meski sudah mengenalnya lama.” Aku sengaja menekankan setiap kata, biar terasa menusuk. Dadaku naik turun menahan emosi, sementara tanganku terkepal erat hingga jariku memutih.
Sedangkan pria di depanku itu, ia tampak menggeretakan giginya. Urat lehernya timbul, menahan emosi yang jelas hampir meledak. Bibirnya menampakkan senyum miring—senyum yang sama sekali tidak ramah—sementara tatapannya semakin mematikan, seolah siap menyeretku dan menghabisiku kapan saja. Aura dingin memancar dari tubuhnya, membuat bulu kudukku meremang. Jarak kami yang hanya beberapa senti terasa seperti jurang maut. Dari semua itu, aku tahu bahwa lawanku ini bukanlah orang biasa; ada sesuatu yang sedikit tidak normal, sesuatu yang berbahaya tersembunyi di balik sikapnya.
”Sepertinya kau salah sangka...” gumamnya ”Hubungan kami lebih dari sekedar itu. Setidaknya aku tahu hal yang akan sulit kau runtuhkan dari Lya.” Sambil mengatakan itu, ia menunjuk lehernya sendiri seakan memberiku suatu isyarat. Aku tidak bisa menangkapnya dan memilih untuk diam. Jika aku meladeninya, aku mencium masalah di antara kami tidak akan selesai.
”Yah... aku sudah mengatakan apa yang ingin kukatakan...” ujar Leo akhirnya, suaranya terdengar datar tapi menyebalkan. Ia memutar matanya seakan bosan, lalu mengangkat kedua pundaknya dengan gerakan ringan yang terkesan meremehkan. Bohong jika aku tidak merasa kesal melihat perubahan sikapnya yang seperti psikopat ini. ”Selamat bersenang-senang bersama Lya hari ini. Nikmatilah selagi bisa,” sambungnya sebelum melangkah pergi, membuka pintu mobilnya dengan gerakan kasar. Mesin mewah itu meraung saat dinyalakan, suaranya menggema di sekitar parkiran dan menusuk telingaku. Dalam hitungan detik, mobil itu melesat ke jalanan.
Aku tetap berdiri mematung, wajahku berkerut penuh kesal bercampur bingung. Tidak ada kata yang bisa keluar selain umpatan yang cocok untuk pria itu. ”Dasar orang gila,” gumamku akhirnya.
.
.
.
To Be Continue
saya hanya bantu koreksi yg simple2 aja/Pray/
tapi lucu juga, spontan nyatain cinta karena lihat pujaan hati jalan sendirian, padahal udh mendem cukup lama
✿⚈‿‿⚈✿
Tapi... Dahlah bodoamat🗿