Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 4
Beberapa hari kemudian, Faizan mulai merasa muak dengan keadaan yang selalu mempertemukannya dengan Alea.
Pada malam hari, ketika Faiz sudah pulang dari perusahaannya, ia mendekati Alea setelah selesai mandi. Langkah kakinya kian mendekat, membuat gadis itu terpaksa mundur hingga punggungnya membentur tembok.
"Ja... jangan..." suara Alea nyaris tak terdengar.
Faizan berhenti tepat di depan Alea hingga hembusan napasnya terasa menyapu wajah polos gadis itu. Mata Faizan menatap tajam tanpa sedikit pun menunjukkan rasa kasihan.
"Kenapa? Bukankah kau sudah terbiasa menghadapi beberapa pria yang ingin dilayani olehmu?" ujar Faizan membuat Alea menelan ludah. "Aku sudah menikahimu dengan mahar yang sangat mahal. Aku tidak ingin melihat responmu seperti ini. Jangan bersandiwara di hadapanku," lanjut Faiz seraya mencengkeram dagu Alea.
Dengan tubuh gemetar, Alea mencoba menatap Faizan. Perlakuan Faizan mengingatkannya pada satu kejadian, ketika seorang pria bernama Alex—suami dari Tania—sering mencoba mengambil keuntungan dari orang-orang yang ingin membeli dirinya.
Tangan Alea tertahan saat ia hendak mendorong Faizan menjauh. Dengan cepat, Faizan memegang kedua pergelangan tangan Alea begitu erat hingga membuat gadis itu meringis kesakitan.
"Aaah... sakit..." rintihnya dengan suara hampir hilang.
Faizan menatap Alea dengan tatapan menyala. "Katakan, apa yang membuatmu memfitnahku?"
"Aku... aku hanya... maafkan aku," sahut Alea lirih, tak sanggup melanjutkan ucapannya.
"Aku butuh jawaban, bukan kata maaf," tegas Faiz.
"Aku... aku hanya terpaksa melakukan itu semua," jawab Alea lagi, menunduk takut, tak berani menatap mata Faizan.
"Katakan yang sebenarnya, atau aku akan menyiksamu malam ini." Suaranya cukup membuat Alea sangat ketakutan.
"Aku... aku hanya terpaksa, sungguh." Suara Alea bergetar, dan terpaksa air matanya jatuh mengungkapkan kesedihan yang dalam.
Faizan lalu melepaskan cengkeraman kedua tangan Alea dengan kasar. Dia kembali menatapnya dengan tajam. Pria itu tak juga mendapat jawaban memuaskan; pengakuan Alea baginya hanyalah debu yang terbawa angin.
"Mas, aku..."
"Jangan berani memanggilku dengan sebutan Mas!" amarah Faiz semakin meledak.
"Akh... sakit," suara Alea semakin melemah. Kedua tangannya berusaha melepaskan cengkeraman Faiz dari lehernya.
Tubuh Alea semakin bergetar. Faizan yang dikuasai emosi menjatuhkan Alea ke atas ranjang dengan kasar hingga membuat gadis itu terpental. Alea terbatuk, mengambil napas dalam-dalam. Kepalanya berdenyut, seluruh tubuhnya terasa nyeri. Baru saja ia berusaha bangkit, Faiz kembali mendekatinya.
Pria itu mengungkung tubuh Alea yang masih terbaring lemah. Kegelisahan dan rasa sakit terlihat jelas dari raut wajah Alea yang polos. Ia kembali menarik rambut Alea yang masih terikat, membuat gadis itu merintih kesakitan. Teriakan Alea seolah menjadi hiburan bagi Faizan.
"Ini akibatnya karena kau sudah berani mengusik kehidupanku, gadis pelacur. Perempuan sepertimu tidak pantas bersanding denganku," ucap Faizan penuh kebencian.
Masih berada di atas tubuh Alea, Faizan kembali mencengkeram kedua tangannya dengan begitu erat. "Layani aku malam ini, seperti kau melayani semua pelangganmu."
Alea hanya bisa gemetar, suaranya nyaris tak terdengar. "Ja... jangan..."
Alea terperangkap dalam ketakutan yang tak terbayangkan. Ingatan akan perlakuan Alex, yang hampir merenggut kesuciannya, kembali muncul. Malam itu, Alea berhasil pergi dari perlakuan suami kakak tirinya. Tapi bersama Faizan, Alea tak bisa menghindar. Bahkan bergerak pun dia tak mampu.
Faizan telah melukai Alea. Malam yang seharusnya menjadi saksi indahnya dua insan memadu kasih, kini berubah menjadi malam yang mencekam.
Di pagi harinya, Alea terbangun dengan rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Tanpa memedulikan kondisinya, ia tetap memberanikan diri keluar dari kamar. Hari ini sudah hari keempat ia menjadi seorang menantu di rumah Faizan. Dengan langkah tertatih, Alea berjalan menuju dapur, tempat seorang pelayan sedang sibuk memasak untuk sang majikan.
“Maaf, Nyonya mau apa?” tanya seorang pelayan bernama Iyem.
“Saya mau memasak untuk Mas Faiz,” sahut Alea dengan suara lembut.
“Jangan, Nyonya. Biar bibi saja. Nanti bibi dimarahin Den Faiz,” tolak Bi Iyem dengan raut wajah khawatir.
“Jangan panggil aku Nyonya. Panggil saja Alea,” pinta Alea dengan senyuman hangat, berusaha mencairkan suasana.
“Maaf, ini perintah dari Nyonya Besar.”
Di tengah obrolan itu, Ibu Maisaroh tiba-tiba muncul di dapur. Ia tampak terkejut melihat Alea ada di sana bersama Iyem.
“Alea, sedang apa kamu di dapur?”
Alea menoleh saat mendengar suara yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Eh, Ibu… pagi, Bu,” sahut Alea, gugup dan tak berani menatap sang ibu mertua.
Ibu Maisaroh mendekat. Matanya menangkap sesuatu yang janggal di wajah menantunya—luka lebam di sudut bibir Alea.
“Bibirmu kenapa, Lea?” tanyanya.
Seketika Alea mengalihkan wajah agar tidak terlihat jelas oleh sang ibu mertua.
“Apa Faiz menyakitimu, Lea?” tanya Ibu Maisaroh lagi.
Dengan cepat Alea menggeleng dan menunduk. “Semalam lampu kamarnya mati, aku tidak tahu di mana saklarnya. Akhirnya aku tersandung dan jatuh, membentur sudut meja,” bohong Alea. Tadi malam Faizan mengancamnya untuk tidak mengadu pada siapa pun tentang perlakuannya.
“Ya ampun… tapi sepertinya ini bukan luka karena jatuh, Lea,” gumam Ibu Maisaroh, kian curiga.
“Maaf, Bu. Alea permisi ke kamar dulu untuk membangunkan Mas Faiz. Takut kesiangan sampai kantor,” ucap Alea, berusaha mengalihkan topik.
Tak ingin dirinya semakin disiksa oleh Faizan, ia memilih pergi untuk menghindari kecurigaan sang ibu mertua. Dengan langkah sedikit pincang, Alea berjalan pelan, berusaha terlihat biasa saja. Namun sekeras apa pun ia mencoba menyembunyikan rasa sakit, tetap saja meninggalkan tanda tanya.
Saat membuka pintu kamar, Alea merasakan ketegangan menjalar di tubuhnya. Faizan sudah berdiri di depan pintu, menunggunya.
“Dari mana kamu?” suara Faiz terdengar lembut, tapi menusuk tajam ke dada Alea.
Gadis itu kembali teringat perlakuan kasar Faiz semalam. Sementara di sisi lain, Ibu Maisaroh masih menyimpan rasa curiga melihat luka di bibir Alea dan sikapnya yang tegang. Ia mulai menduga Faizan telah berbuat kasar pada menantunya.
“Aku… aku baru saja dari dapur. Ingin mem—”
“Sudah kubilang jangan berani keluar dari kamar sampai lukamu hilang,” potong Faiz datar. Tatapannya dingin membuat Alea kembali ketakutan.
Faizan mendekatkan wajahnya ke wajah Alea, menatap tajam. “Jika sampai Mamaku curiga, aku akan menyiksamu lebih dari semalam. Kau mengerti?” suaranya lirih, tapi cukup membuat bulu kuduk Alea berdiri.
Belum hilang rasa takut Alea mendengar ancaman itu, seseorang tiba-tiba muncul di belakangnya.
Suara tegas itu membuat Faizan dan Alea sama-sama terkejut. Alea refleks menoleh. Di ambang pintu, berdiri Ibu Maisaroh dengan raut wajah penuh selidik. Tatapan matanya bergantian menelusuri wajah Alea yang pucat dan Faizan yang jelas-jelas sedang menyimpan sesuatu.
“Ada apa kalian sebenarnya?”ujar Ibu Maisaroh, nadanya meninggi.
Faizan mengatur napas, berusaha tenang. “Tidak ada apa-apa, Ma,” ucapnya datar, seperti biasa ketika ia menyembunyikan sesuatu.
“Tidak ada apa-apa, tapi bibir menantuku lebam? Kakinya jalan pincang?!” suara Maisaroh mulai bergetar, menahan emosi. “Kau kira Mama ini buta, Faiz?”
Alea menunduk semakin dalam. Hatinya berdebar keras, takut pada Faizan, tapi juga takut kebenarannya terbongkar.
“Lea jatuh, Ma. Semalam lampu kamarnya mati. Itu saja.” Faizan berbohong tanpa sedikit pun berkedip.
Maisaroh menatap Alea lekat-lekat. “Benarkah, Lea?”
Alea hanya diam, bibirnya ingin berkata jujur tapi bayangan ancaman Faizan semalam membuat suaranya terkunci di tenggorokan.
“Lihat? Dia bahkan tidak bisa menjawab!” suara Maisaroh pecah. “Faiz, Mama tidak pernah mendidikmu jadi laki-laki kasar. Kalau benar kau menyentuh dia dengan cara—”
“Ma!” potong Faizan cepat, suaranya meninggi. “Tolong jangan ikut campur urusan rumah tangga Faiz!”
Maisaroh terdiam sejenak. Tatapannya beradu dengan mata Faizan yang penuh kemarahan, sesuatu yang jarang sekali terjadi.
Di tengah ketegangan itu, Alea memberanikan diri berkata lirih, hampir tak terdengar, “Ibu… Alea mohon… jangan marah. Mungkin semua ini hanya salah paham.”
Maisaroh menoleh padanya, hatinya semakin perih melihat menantunya memaksa tersenyum di balik luka yang jelas-jelas tak mungkin datang hanya karena sebuah meja.
“Alea, Nak…” suaranya melembut, “Kau tidak sendirian di rumah ini. Ingat itu.”
Faizan mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Ia sadar ibunya mulai curiga, dan itu bisa membuat semuanya lepas kendali.
“Lea, masuk sekarang,” ucap Faizan dingin, tanpa memberi ruang untuk bantahan.
Alea menurut. Ia melangkah pelan ke dalam kamar, meninggalkan Maisaroh dan Faizan beradu tatapan di luar.
Maisaroh menatap putranya tajam. “Kau bisa bohong pada Mama, Faiz. Tapi jangan pikir Mama tidak akan tahu kebenarannya.”
Faizan tidak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah, tapi di matanya ada bara yang sewaktu-waktu bisa menyala.
Di balik pintu, Alea terduduk lemas di tepi ranjang. Hatinya berdegup tak menentu. Ia tahu badai yang lebih besar sedang menunggu di depan.
...---------------...
Bersambung...