Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertaruhan Rasa
Sore itu, hujan gerimis mengguyur Jakarta dengan tenang, seolah ingin membasuh beban yang menghantui pikiranku. Aku duduk di sudut kafe dekat kantor, menanti kehadiran Arvino Mahendra. Tanganku gemetar, bukan takut, tapi… harapan?
Dia datang dengan payung hitam, senyum hangatnya membuat udara seakan lebih ringan.
“Kamu aman?” tanyanya lembut.
Aku mengangguk. “Ya… terima kasih.”
Arvino duduk di hadapanku, lalu meletakkan secarik kertas di mejanya.
“Aku dengar kamu jadi speaker utama hari ini. Bagus sekali.”
Aku tersenyum tipis. “Terima kasih. Tapi… ada hal lain yang membuatku gelisah.”
Dia menatapku serius. “Kamu boleh cerita.”
Aku menelan ludah. “Dia… Leon. Dia menyuruhku tak dekat denganmu.”
Arvino melembutkan senyumannya. “Lana, aku bukan ancaman. Aku di sini karena aku peduli.”
Dokter hatiku berdebar: apakah aku benar-benar bisa percaya?
Malamnya, aku kembali ke kos dengan hati bimbang. Ponselku bergetar: notifikasi baru masuk dari nomor ‘L’.
“Siapa dia untukmu?”
Tanganku gatal ingin membalas, tapi aku biarkan kosong.
Leon tahu. Dia tahu tentang Arvino. Dan itu membuatku takut.
Ke esokan harinya, aku diundang rapat kelas atas lagi oleh Leon. Ruangannya dingin, wangi kopi mahal memenuhi udara, aroma dominasi melekat di setiap sudut. Dia duduk di sana, memandangku seakan ingin melihatku dan membungkam pikiranku.
“Aku ingin tahu,” katanya pelan, “apa kamu menginginkan sesuatu selain diriku?”
Deg. Katanya itu menghancurkan bentengku.
Aku menahan napas. “Aku… aku ingin punya kebebasan.”
Leon tersenyum kecil, sok tenang. “Kebebasan? Selama kamu di sini, kamu milikku.”
Sebelum ia lanjut, aku memberanikan diri:
“Aku ingin… ingin merasa dihargai bukan sebagai milikmu.”
Dia terdiam, lalu berdiri. “Kalau begitu, tunjukkan padaku nilai selain tubuhmu. Buktikan.”
Itu tantangan. Dan entah kenapa, aku merasa lebih hidup.
Hari berikutnya, aku menghubungi Arvino di tempat yang lebih privat: ruang presentasi kosong lantai 25. Ia menatapku penuh perhatian.
“Aku tidak mau hidup seperti… boneka kekuasaan,” ucapku tegas.
Arvino mengangguk. “Kalau kamu butuh dukungan… aku di sini, bukan untuk memilikimu, tapi untuk memperjuangkanmu.”
Aku merasakan kehangatan itu,beda sekali dari kerenggangan Leon.
“Mungkin aku… bahkan butuh teman,” bisikku pelan.
Dia tersenyum. “Mulai sekarang, kamu tak sendiri.”
Malamnya, aku duduk terpaku saat notifikasi transfer masuk: 10 juta dari ‘L’. Tapi yang lebih menohok adalah pesannya:
L: Jangan salah jalan. Ini peringatan.
Jantungku terpacu. Siapa yang “salah jalan”? Arvino? Aku?
Aku menyadari: ini bukan hanya soal cinta atau kekuasaan. Ini sudah jadi pertaruhan rasa dan kendali.
Esoknya, presentasi penting menanti. Tema: “Penguatan brand personal dan kerjasama tim”tema yang seolah ditujukan untukku. Aku berdiri di depan audiens termasuk Leon sambil menggenggam pointer, lalu berkata:
“Ada dua kekuatan yang bisa membawa kita maju: nilai personal dan tim yang bersinergi. Membangun brand bukan hanya soal produk... tapi soal manusia di baliknya.”
Pandangan Leon menusuk, seolah menantangku. Aku menegakkan tubuh, membalas tatapannya dengan penuh keyakinan.
Nilai personal berarti keberanian. Keberanian untuk berdiri, untuk berbicara, untuk memilih jalan hidup sendiri.
Kemitraan tim berarti saling mendukung—bukan menguasai, bukan dijadikan barang.
Aku menutup presentasi itu dengan sorot mata penuh tekad:
“Aku memilih menjadi manusia. Bukan pion.”
Ruangan hening. Lalu tepuk tangan terdengar pelan, tapi tulus.
Leon menunduk, ekspresinya tertutup. Arvino tersenyum bangga.
Sore harinya, Leon memanggilku ke ruangannya. Hatinya lesu, tapi matanya… masih terlalu tajam.
“Kamu… menantangku,” katanya. “Aku suka itu.”
Aku menyadari: dalam relasi rusak ini, justru aku mulai punya kekuatan.
“Aku tidak ingin jadi milik Anda,” kataku.
Kalimat itu mengguncang, tapi hatiku lebih tenang dari yang pernah kurasakan.
Leon berdiri, jarak kita hanya sejengkal. Tapi matanya lembut,untuk pertama kalinya.
“Kalau kamu bisa membuktikan bahwa kamu lebih dari kontrak… aku akan pertimbangkan sesuatu.”
Aku menahan napas. “Apa…?”
Dia tersenyum. “Kita akan bicarakan ulang kontrak itu,dengan syarat baru.”
Lalu dia pergi, meninggalkanku terengah di ruang dinginnya.
Aku tahu: ini bukan akhir. Tapi… aku telah menandai batas baru. Aku tak lagi punya pilihan.
Aku bisa melanjutkan,berdiri di kaki ku sendiri,atau… menyerahkan hatiku perlahan pada apa yang sulit kulupakan.
malam ini aku akan hidup atas pilihanku sendiri.
Arvino berdiri di balik meja kecil kafe hotel, menggenggam secangkir latte hangat sembari memperhatikan Lana yang duduk di hadapannya. Matanya tajam, namun penuh kelembutan. Tak ada tekanan dalam sorot itu, tak ada intimidasi seperti yang selalu Lana rasakan dari Leonhart. Di hadapan Arvino, ia merasa... aman. Tapi sekaligus takut akan rasa aman itu.
"Apa kamu sering diledek rekan kerja seperti tadi, Lana?" tanya Arvino perlahan, nadanya ringan namun menyiratkan keprihatinan.
Lana tersenyum canggung, menyesap cappuccino-nya yang mulai dingin. "Mereka hanya terlalu senang bergosip. Sudah biasa."
“Tapi kamu tak terlihat biasa saja,” ucap Arvino sambil memiringkan kepala. “Kamu terlihat... lelah menahan banyak hal.”
Lana menunduk. Suaranya hampir tak terdengar saat ia berkata, "Saya memang lelah."
Ada jeda di antara mereka, hening yang menggantung seperti kabut tipis yang menyelimuti pagi. Arvino tak bertanya lebih jauh. Dia tak memaksa, hanya duduk dan menunggu. Itu membuat Lana merasa... dilihat.
"Aku tahu kau baru saja masuk ke dunia kerja yang keras," ujar Arvino. "Tapi instingku bilang, ada sesuatu yang lebih berat dari sekadar adaptasi. Apa aku salah?"
Lana memejamkan mata. Wajah Leonhart kembali hadir di benaknya,sorot matanya, genggamannya, ciuman penuh dominasi, dan bisikan dingin yang menusuk hati.
“Aku hanya mencoba bertahan hidup,” gumamnya pelan.
Siang itu Lana kembali ke kantor. Leonhart belum muncul sejak pagi. Suasana sedikit lebih ringan tanpa kehadiran pria itu. Tapi entah kenapa, ada rasa kosong yang menjalar dalam diam. Seperti seseorang yang biasa menakutimu tiba-tiba menghilang, dan justru ketidakhadirannya membuatmu lebih resah.
Pukul tiga sore, pesan masuk di ponsel Lana.
Leonhart: Ke lantai 29. Sekarang.
Detak jantungnya berpacu lebih cepat. Jari-jarinya gemetar saat ia berdiri dan berjalan menuju lift. Lantai 29 adalah lantai paling atas dari gedung itu. Hanya Leonhart yang punya akses penuh ke ruangan di sana.
Begitu pintu lift terbuka, udara dingin menyambutnya. Sunyi. Lantai itu nyaris kosong, hanya ada satu ruangan besar dengan dinding kaca bening menghadap kota.
Leonhart berdiri membelakanginya, mengenakan kemeja hitam dan dasi merah gelap. Tangan kirinya menggenggam segelas wine. Ia tak langsung menoleh saat Lana masuk. Ia hanya bicara pelan, tapi tegas.
"Arvino terlalu dekat denganmu."
Lana menggenggam erat jari-jarinya. "Dia hanya bersikap sopan. Dia atasan saya juga."
Leonhart perlahan berbalik. Tatapannya tajam, gelap, tapi juga ada bara aneh di sana. Api posesif yang menyala tanpa logika.
"Apa kau tersenyum padanya seperti kau tersenyum padaku malam itu, Lana?"
Pertanyaan itu menusuk.
“Aku tidak...”
“Kau tahu bagaimana aku memperlakukan milikku,” Leon menyela, mendekat. “Dan aku tidak suka barangku disentuh orang lain.”
"Berhenti menyebutku barang," ucap Lana, suaranya pecah tapi berani. “Aku bukan milikmu.”
Leon mendekat hingga hanya sejengkal dari wajahnya. Tatapannya menusuk, dan senyumnya kecil tapi menyeramkan.
“Sayangnya, kamu sudah terjual. Dan aku tidak pernah beli untuk berbagi.”
Air mata mengambang di pelupuk mata Lana. Tapi kali ini, ia menatap balik Leon dengan tatapan yang tak lagi sepenuhnya takut,ada luka, tapi juga kemarahan.
“Aku menjual tubuhku untuk menyelamatkan ibuku, Leon. Tapi bukan berarti aku menyerahkan jiwaku.”
Leon tertawa sinis. Tapi tawanya rapuh. Tangannya mengepal. Ia membalikkan badan, berjalan ke jendela, dan menatap kota yang padat.
“Kau pikir aku menikmati ini?” bisiknya, hampir tak terdengar. “Aku membenci bagaimana kamu masuk begitu saja ke dalam pikiranku. Aku benci... bagaimana kamu membuatku merasa.”
Lana terdiam. Itu pertama kalinya Leonhart menyiratkan kelemahan. Dan itu membuatnya gamang.
Malam harinya, Lana pulang ke apartemen kecilnya. Ibunya sudah tidur, napasnya teratur. Di ruang tamu, ponselnya bergetar lagi.
Arvino:Aku di bawah. Boleh kita bicara sebentar?
Lana tertegun. Ia turun, menemukan Arvino berdiri di dekat mobilnya, membawa dua cup cokelat panas.
"Untukmu," katanya sambil tersenyum.
Lana menerimanya, lalu menatap pria itu. “Kau selalu muncul di saat aku hampir tenggelam.”
Arvino menyentuh bahunya pelan. “Kalau kamu mau, aku bisa jadi pelampungmu.”
Lana tersenyum getir. "Kamu pria baik, Arvino. Tapi aku rusak."
Arvino menggeleng. “Kamu terluka, bukan rusak. Dan luka... bisa sembuh. Kalau kamu izinkan orang lain membantu.”
Seketika itu, air mata Lana jatuh. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya. Arvino tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya berdiri di sana, mendampingi dalam diam.
Dan untuk pertama kalinya sejak malam itu, Lana merasa hangat. Meski hanya sebentar.
Keesokan paginya, saat Lana tiba di kantor, meja kerjanya dipenuhi bunga mawar putih segar dan sepucuk surat kecil.
"Kamu cantik saat menangis, tapi lebih cantik saat melawan.
Jangan pernah biarkan lelaki manapun mengatur napasmu,
Bahkan aku.
"L."
Tangannya gemetar. Ada benih rasa aneh di dalam dirinya. Antara takut, tersentuh, dan benci.
Di balik semuanya, Lana mulai sadar satu hal: Cinta dan perang terkadang hanya dipisahkan oleh sehelai napas.
Dan di antara dua pria ini,Leon yang membelenggu dan Arvino yang menawarkan pelarian.ia harus memilih bukan hanya jalan hidup, tapi juga bagaimana ia ingin mencintai... dan dicintai.