Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Menikah?
Seisi ruangan terdiam. Para pria yang tadi berapi-api menawar kini saling melirik gugup. Tak seorang pun berani membuka mulut. Nama besar sang bos seolah telah memaku lidah mereka.
Pria berbaju hitam itu lalu menoleh ke arah Kevia. Tatapannya bukan seperti tatapan penuh nafsu pria lain, melainkan dingin, profesional. Ia menunduk sedikit memberi hormat.
“Silakan, Nona. Saya akan mengantar Anda pada Tuan.”
Tubuh Kevia gemetar hebat. Tangannya mengepal erat di sisi dress, berusaha menyembunyikan ketakutan sekaligus tekadnya. Dengan langkah yang terasa berat, ia berdiri, menatap sebentar pria itu.
Ada hormat dalam sorot mata sang pria, tapi juga amarah yang ditekan dalam-dalam, amarah pada keadaan yang memaksa Kevia sampai di titik ini.
Kevia melangkah keluar lebih dulu. Tepat sebelum meninggalkan ruangan, pria berbaju hitam itu menoleh pada semua yang ada di sana. Suaranya tajam, penuh ancaman yang dingin.
“Mulai hari ini, gadis ini adalah milik bos kami. Jika ada yang berani menyentuhnya… bersiaplah berakhir di jalanan, atau di balik jeruji besi.”
Tak ada yang berani menanggapi. Semua hanya menunduk.
Pria itu lalu berbalik, menggiring Kevia dengan langkah pasti, keluar dari ruang lelang gelap itu, menuju sebuah kamar hotel, tempat pertemuan yang sesungguhnya dengan sang bos.
Kevia mengikuti langkah pria berbaju hitam itu hingga berhenti di depan sebuah pintu.
“Silakan, Nona,” ucapnya, membuka pintu dengan hormat.
Kevia tertegun di ambang pintu. Kamar hotel itu gelap, tanpa lampu menyala. Hanya cahaya redup dari luar yang menembus dinding kaca, menebar bayangan samar. Di sana, tampak siluet seorang pria berdiri tegak menghadap jendela, punggungnya menjadi satu-satunya yang terlihat oleh Kevia.
“Masuklah, Nona,” ulang pria berbaju hitam.
Dengan jantung berdebar kencang, lutut hampir kehilangan tenaga, Kevia melangkah masuk. Begitu ia melewati ambang, pintu menutup pelan dari luar. Suara klik kunci terdengar samar, membuat napas Kevia tercekat.
Hening. Hanya detak jam dinding dan bunyi napasnya sendiri yang terasa begitu keras di telinga.
Lalu suara itu datang. Dalam, berat, nyaris seperti bisikan tapi jelas menusuk ke dalam dada.
“Kemari.”
Kevia menelan ludah, kakinya seperti membawa beban batu. Ia melangkah hingga berhenti satu meter di belakang pria itu.
“Kenapa kau menjual diri?” tanyanya, masih membelakangi Kevia.
“A-aku… butuh uang.”
“Untuk apa?”
“Itu urusan pribadiku.”
Keheningan kembali menekan. Lalu suara berat itu terdengar lagi.
“Akan kuberikan berapa pun yang kau minta. Tanpa kau harus menyerahkan kehormatanmu.”
Mata Kevia membelalak, hatinya seakan terhentak. Namun batinnya menertawakan kalimat itu dengan getir.
"Membantu? Kata itu… sudah terlalu sering kudengar. Dulu Nyonya Rima juga bilang begitu. Membantu biaya cuci darah Ibu, membantu biaya obat-obatan. Tapi di balik kata ‘membantu’, dia menjerat Ayah, menginjak harga dirinya, mengurung kami seolah kami budak. Aku tidak mau lagi terjebak dalam ‘bantuan’ yang penuh racun. Aku lebih rela menanggung luka, rela kehilangan kehormatan… asalkan itu pilihanku sendiri. Bukan belas kasihan orang yang suatu saat bisa menuntutku dengan harga yang lebih mahal daripada ini."
Bibirnya bergetar, namun suaranya tegas ketika akhirnya keluar.
“Aku… tidak suka berutang budi.”
Pria itu terkekeh rendah, tawa berat yang seolah ditahan, bergema samar di ruangan temaram itu.
“Jadi kau tetap ingin menjual kehormatanmu? Padahal aku hanya ingin membantu.”
“Tak ada yang gratis di dunia ini,” jawab Kevia lirih tapi tegas. “Jika kau tak ingin membeli… aku pergi.”
Ia berbalik, siap melangkah. Namun tiba-tiba, tangan hangat namun kuat menarik pergelangannya. Tubuh Kevia terhentak, lalu jatuh ke dalam pelukan pria itu.
Dadanya keras, hangat, aroma maskulinnya langsung menyeruak. Napas Kevia tersengal, tubuhnya kaku, sementara suara rendah pria itu terdengar dekat di telinganya:
“Bodoh… justru karena aku tak ingin kau hancur, aku membelimu.”
Kevia tertegun. Aroma parfum itu… samar tapi familiar. "Apa dia… pria misterius yang menolongku tempo hari?"
Dengan hati-hati ia mendongak. Namun di balik redupnya cahaya, hanya siluet samar yang terlihat. Lelaki itu menunduk perlahan, hingga napas hangatnya menyapu leher Kevia.
“Jadi… kau akan tetap menjual diri, jika aku tidak menyentuhmu?” suaranya berat, bagai bisikan yang menusuk.
Kevia menelan ludah, suaranya pecah. “Hm…” hampir tak terdengar. Gugup, takut, tapi tekadnya memaksa untuk bertahan.
“Bagaimana kalau kau menikah denganku?” suara itu kembali, lirih namun menusuk.
Jemari dingin menelusuri punggung Kevia. Tubuh gadis itu meremang. Refleks, ia mendorong pria itu menjauh.
“Tidak!” serunya, keras.
Bayangan pernikahan ayahnya dengan Rima melintas. "Menikah tanpa cinta… hanya akan jadi penjara. Aku tak akan mengulang kesalahan itu."
Pria itu terdiam, hanya napasnya terdengar dalam ruang gelap.
“Kalau begitu… aku pergi.” Kevia berbalik, hendak melangkah.
Namun lagi-lagi tangannya diraih. Tubuhnya ditarik ke dalam dekapan kuat yang membuat lututnya lemas.
“Baik,” bisik pria itu berat, “jangan sampai kau menyesalinya.”
Dalam sekejap, tubuh Kevia terangkat. Lelaki itu membaringkannya di atas ranjang, menindih tubuh mungilnya. Napasnya hangat, menekan telinga Kevia.
“Kau masih punya waktu—”
Kalimat itu terputus ketika Kevia mendadak meraih lehernya dan mencium bibirnya. Segalanya terjadi begitu cepat, tanpa ruang bagi keraguan. Kevia tidak ingin menunggu lebih lama, tidak ingin memberi kesempatan pada dirinya untuk goyah.
Pria itu tertegun. Tubuhnya menegang, seolah tak percaya dengan apa yang barusan terjadi.
Ciuman Kevia kaku, gugup. Namun yang mengejutkan, ia juga merasakan bibir pria itu sama kaku dan asingnya, seolah bibir yang jarang, atau bahkan belum pernah, mengenal sentuhan.
Kevia sempat berhenti sepersekian detik, tertegun oleh kenyataan itu. Tapi tekadnya lebih besar daripada rasa gentarnya. Ia menutup mata rapat, lalu kembali menempelkan bibirnya, kali ini dengan nekat, meski tubuhnya masih gemetar hebat.
Ketegangan itu hanya sesaat. Seakan sebuah tombol dalam diri pria itu terlepas, naluri yang sempat ia tekan kemarin, saat hampir kehilangan kendali karena Kevia yang diracuni obat, kini bangkit dan mengambil alih. Ciumannya berubah, lebih dalam, lebih menguasai. Kevia masih kaku, takut dan sadar ini salah, namun ia bertahan. Demi ibunya. Demi tekad yang ia genggam, meski hatinya nyaris runtuh.
"Ibu… aku tidak punya pilihan. Demi Ibu, aku akan lakukan ini."
Kevia mencengkeram lengan pria itu tanpa sadar. Rasa sakit yang kian menyalak membuat tubuhnya menegang, membuat napasnya tercekat. Pria itu berhenti, matanya menatapnya dari dekat, lalu membisikkan kata-kata yang terdengar berat, menahan gejolak hasrat.
“Jika kau tak tahan sakitnya… kita berhenti di sini.”
Napasnya memburu, hangatnya menyapu wajah Kevia.
Sejenak Kevia terdiam. Batinnya berkecamuk. "Kalau aku berhenti sekarang, aku tetap sudah tak suci lagi. Aku… aku yang tadi begitu kukuh menjual diri. Kalau mundur sekarang, apa yang tersisa dariku?"
Ia menggigit bibir, menahan isak kecil yang hampir pecah. “Lanjutkan saja,” ucapnya lirih.
Pria itu menatapnya seolah meminta kepastian, lalu mengangguk pelan. “Baik. Tahan sakitnya.”
Gelombang perih itu membuat air mata menetes dari sudut mata Kevia. Ia sadar, malam ini sesuatu yang tak akan pernah kembali telah hilang darinya. Namun di sela rasa sakit, pelukan pria itu tiba-tiba erat, seolah ingin meredam gejolak yang sama-sama menelan mereka.
Napas keduanya berbaur, teratur lalu kacau, terseret arus yang tak terbendung.
Ketika napas Kevia mulai tenang, pria itu kembali menunduk, bibirnya menyentuh bibir Kevia. Refleks, Kevia mendorong dada bidang itu, membuat pria itu terhenti sejenak.
“Kenapa?” suaranya serak, masih sarat dengan hasrat yang menjerat.
Kevia menunduk, suaranya bergetar. “A-aku hanya menjual keperawananku… dan kau sudah mengambilnya. Kenapa sekarang…”
Kata-katanya terputus. Bibir pria itu melengkung tipis, lalu ia berbisik, tajam namun mendesak.
“Karena malam ini… kau adalah milikku sepenuhnya.”
Kevia menggeleng cepat. “T-tidak. Aku hanya menjual keperawananku…”
Pria itu menatapnya, lalu tangannya bergerak menyusuri lekuk tubuh Kevia, begitu lembut namun mengikat. Jemarinya singgah di tempat yang membuat Kevia terperanjat, tubuhnya bergetar, desahan lolos tanpa ia sadari.
“Kau yakin?” bisiknya, suara rendah itu menyalak di telinga Kevia, menggetarkan sekujur tubuhnya.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
ayo semangat kejar cintamu sebelum ia diambil orang lain ntar nyesel Lo...
walaupun kamu belum tau wajahnya tapi kamu kan tau ketulusan cintanya itu benar2 nyata,
dia rela memberikan apapun yang ia miliki kalau kamu mau menikah dengannya,tunggu apalagi kevia...
selama kamu bersama ia terasa nyaman dan terlindungi itu sudah cukup.
semangat lanjut kak Nana sehat selalu 🤲
Takut kehilangan - salah kamu sendiri selalu bicara tidak mengenakkan Sinting. Sinting cinta sama kamu - sepertinya kamupun sudah ada rasa terhadap Sinting. Kamu masih bocah jadi belum bisa berfikir jernih - marah-marah mulu bawaanmu.
knapa kamu gk rela kehilangan pria misterius karena dia sebenarnya yoga orang yang selama ini kamu sukai
kalau cinta yang bilang aja cinta jangan kamu bohongi dirimu sendiri.
Menyuruh Kevia keluar dari Kafe dengan mengirimi foto intim Kevia bersamanya - bikin emosi saja nih orang 😁.
Akhirnya Kevia masuk ke mobil Sinting - terjadi pembicaraan yang bikin Kevia marah. Benar nih Kevia tidak mau menikah sama Sinting - ntar kecewa lho kalau sudah melihat wajahnya.
Kevia menolak menikah - disuruh keluar dari mobil.
Apa benar Sinting mulai hari ini tidak akan menghubungi atau menemui Kevia lagi. Bagaiman Kevia ??? Menyesal tidak ? Hatimu sakit ya...sepertinya kamu sudah ada rasa sama Sinting - nyatanya kamu tidak rela kehilangan dia kan ??
biarkan Yoga menjauhi Kevia dulu biar Kevia sadar bahwa Pria misterius itulah yang selalu melindunginya dan menginginkannya dengan sepenuh hati,,dengan tulus
klo sekarang jadi serba salah kan...
sabar aja dulu,Selami hati mu.ntar juga ayank mu balik lagi kok Via...
setelah itu jangan sering marah marah lagi ya,hati dan tubuh mu butuh dia.
sekarang udah bisa pesan...
hidup seperti roda,dulu dibawah, sekarang diatas...🥰🥰🥰🥰