NovelToon NovelToon
Bayang-bayang Yang Tidak Pergi

Bayang-bayang Yang Tidak Pergi

Status: tamat
Genre:Toko Interdimensi / Tamat
Popularitas:375
Nilai: 5
Nama Author: Made Budiarsa

Bayang-Bayang yang Tidak Pergi adalah sebuah novel puitis dan eksistensial yang menggali luka antar generasi, kehancuran batin, dan keterasingan seorang perempuan serta anak-anak yang mewarisi ingatan dan tubuh yang tidak pernah diminta.

Novel ini terbagi dalam tiga bagian yang saling mencerminkan satu sama lain:

Bagian Pertama, Orang yang Hilang, mengisahkan seorang perempuan yang meninggalkan keluarganya setelah adik perempuannya bunuh diri. Narasi penuh luka ini menjelma menjadi refleksi tentang tubuh, keluarga, dan dunia yang ia anggap kejam. Ia menikahi seorang pria tanpa cinta, dan hidup dalam rumah penuh keheningan, sambil mengumpulkan kembali kepingan-kepingan jiwanya yang sudah dibakar sejak kecil.

Bagian Kedua, Bunga Mawar, Kenanga dan Ibu, melanjutkan suara narator laki-laki—kemungkinan anak dari tokoh pertama—yang menjalani rumah tangga bersama seorang istri polos, namun hidup dalam bayangan cinta masa lalu dan sosok ibu yang asing. Kenangan, perselingkuhan, dan percakap

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Made Budiarsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Setiap orang membawa luka

Angin berhembus, hamparan sawah bergoyang-goyang, memaksaku membuka mata tapi lonceng angin ditanganku masih berbunyi, menari-nari liar namun membentuk melodi yang indah. Aku teringat dengan kekacauan pikiranku dan hidupku, meksipun banyak orang tidak ingin sepertiku, tapi sebagian dari mereka tahu, aku punya kisah yang indah untuk diceritakan dan terlalu sedih untuk dikenang.

Aku menatap lonceng lalu bunga sedap malam ditanganku. Aku teringat aroma bunga Dantura saat duduk dibalkon pagi tadi, juga kematian wanita itu, sesuatu yang tidak pernah diharapkan.

Aku tahu dia berusaha hidup dari kepalsuan dan tidak tahan lalu mengakhiri hidupnya disana. Itu tidak salah bukan? Tidak bukan, hanya saja aku benci cara seperti itu, untuk diriku sendiri tapi disaat bersamaan aku merasa keindahan dalam melihat orang mati. Aku jadi Ingat jika pemandangan indah memang dapat hidup lama dalam ingatan, tapi pemandangan yang menjijikan, menyeramkan akan lebih lama hidup.

Hujan semakin tipis dan menyentuh kakiku.

Aku hanya diam sejenak lalu berjalan kembali, melintasi toko bunga, melihat pohon-pohon willow yang menari-nari dalam hujan dan bekas kematian yang ada jauh disana, dipenuhi banyak orang dan darah telah mengalir kedalam selokan. Aku berpikir, itulah pemandangan paling indah yang pernah aku saksikan dari jembatan kecil diseberang. Aku masuk tanpa peduli dengan apa yang terjadi, seolah-olah semua itu hanya mimpi.

Dan akhirnya tidur lalu kembali bangun.

Suamiku tidak pulang. Aku tidak bertanya mengapa, karena kami punya dunia sendiri. Mungkin saja dia sedang sibuk bekerja. Aku pernah mengingatkannya, dia boleh pergi dan kembali kapan pun, tapi tidak boleh selamanya. Aku tidak bisa sendiri begitu lama. Itu membuatku jauh dari cahaya.

Melalui serangkaikan kegiatan pagi dan saat dibalkon, aku melihat kebawah dan tempat kemarin, yang menjadi saksi bisu pengangkatan roh terlihat sepi, hanya ada bunga sedap malam dalam vas kaca putih, berdiri didekat tiang disana.

Melihatnya, aku teringat dengan bungaku sendiri dan menatapnya dimeja dalam. Masih segar meskipun aku tidak memberi air pada botol kacanya. Aku membiarkan itu terjadi karena potongan kehidupan, sama halnya dengan beberapa tangkai bunga sedang malam itu tidak akan bisa bertahan, meskipun kamu berusaha melakukannya.

Setidaknya akan bertahan lebih lama. Begitukan, umumnya orang membantah. Maka aku akan berkata, itu sia-sia. Kematian yang cepat jauh lebih baik dan aku melakukannya tanpa melakukan apa-apa, kemudian membiarkan itu layu, kemudian akhirnya membusuk. Kita hanya memperpanjang siksanya. Selain itu, kematian yang mengerikan akan jauh lebih lama hidup sekedar mati dengan cara yang umum. Bunga putih yang perlahan-lahan kayu dimeja, akan mengeluarkan aroma wangi dan semakin wangi aromanya, maka semakin membusuk bunga itu. Begitulah yang aku yakini sekarang.

Aku menghela nafas dan melihat keluar, kearah toko bunga ditimur.

Lonceng angin bergoyang dan mengeluarkan sedikit nada.

Aku berpikir, mungkin terlalu keteraluan mengambil lonceng angin ini darinya, tapi entah mengapa aku tidak ingin mengembalikannya. Aku akan melakukannya, bukan karena kebaikan, nanti saat aku ingin pergi kesana.

Hari ini, aku menulis dan tidur.

Tiga hari berjalan dan aku menemukan sesuatu yang unik pada lonceng angin, ternyata ada sebuah nama dan aku tidak mau menyebutkannya. Nama hanya kumpulan kata-kata dan alat untuk memanggil sosok yang dibuat oleh pasangan yang menikah. Katanya, nama adalah doa untuk masa depan anak itu, sehingga sering dibuat seindah mungkin. Tapi bagiku nama adalah nama indah dan tidak lebih alat yang mudah diucapkan untuk memanggil manusia yang dibuatnya. Kau tahu, jika namamu indah, berarti kamu harus menjadi nama indah seperti yang kedua orang tuamu inginkan. Kamu harus mendapatkan prestasi yang baik, pekerjaan yang cukup dan pasangan yang indah. Jika gagal, maka kamu alat yang gagal yang dibuat ayah dan ibumu dan bersiap-siaplah kamu harus pergi.

Di toko bunga ada anak kecil masuk, tersenyum dan mencari-cari bunga, kemudian keluar.

Aku mengamati semuanya dan tidak ada satupun yang kelewati.

Segera setelah sang gadis pergi aku mengunjungi toko itu.

“Anda kembali lagi.”

Dan aku mengangguk. Segera aroma bunga seperti biasa menamparku. Aku merasa diusir dengan cara yang sopan.

“Siapa anak kecil itu?”

“Anda menyukainya?”

“Tidak, hanya suka.”

Ada jejak tidak suka, tapi sang penjual melanjutkan, “dia cucuku, hanya sebatas cucu, tidak lebih.”

“Mengapa kau membencinya?”

“Aku? Apa maksud anda?”

“Tidak ada.”

Aku kemudian mengalihkan perhatian untuk melihat bunga-bunga disana lalu berkata, “bunga-bunga anda sangat indah.”

“Terima kasih. Aku merasa senang mendengarnya.”

“Siapa nama cucumu?”

“Dia..., Namanya Yuna,” jawabnya sambil sedikit berpikir.

Aku pun mengangguk dan tahu apa yang dipikirkannya. Aku kemudian bertanya, siapa anaknya, laki-laki atau perempuan.

“Perempuan, jelas perempuan.”

Dia menjawab tegas dan aku seperti orang yang menduga dia meminta anak laki-laki.

Aku langsung membeli bunga dan pergi dari sana, hanya sekuntum bunga mawar merah marun yang mencolok.

Keluar, aku bisa merasakan tatapan sang penjual kepadaku. Aku merasakannya dan dia tidak bisa berbohong kepadaku.

Hari ini cuacanya cerah dan aku bisa pergi tanpa menggunakan payung, namun, aku merasa lebih baik menggunakan payung, entah mengapa rasanya jauh lebih baik.

Berjalan dan akhirnya tiba dibawah pohon willow, perasaanku menjadikan buruk ketika melihat seorang pria paruh baya duduk ditengah-tengah jembatan kecil. Itu tempatku, seharusnya kau pergi dari sana. Aku tidak berbicara dan memperhatikannya. Pria itu memiliki ekspresi murung, mungkin sedang dalam dilema. Dia sedang memperhatikan air yang mengalir namun pikirannya jauh melayang-layang.

Aku pergi dan tiba disawah beberapa hari yang lalu. Di sana aku bertemu anak kecil periang yang berlarian, namun kini dalam cuaca cerah tidak ada tanda-tanda anak itu muncul, kecuali hembusan angin dan padi-padi yang bergoyang-goyang.

Di sana Hening dan aku diam sebentar kemudian kembali pulang.

Tiba dirumah, pemilik apartemen bertemu denganku dan kami berbicara beberapa saat.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!