NovelToon NovelToon
Beginning And End Season 2

Beginning And End Season 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Misteri / Cintapertama / Balas Dendam / Romansa Fantasi / Anime
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: raffa zahran dio

Lanjutan dari Beginning And End.

Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.

Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.

Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.

Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23 : Kemarahan Emi.

Sorot lampu panggung membasahi Stadion Kuroku, Tokyo, menciptakan kilauan dramatis di atas piano antik berwarna hitam legam. Ribuan pasang mata terpaku pada Emi, sosok mungil yang duduk di bangku piano, rambut panjangnya yang biasanya terikat rapi kini terurai liar, membingkai wajah pucatnya yang kelelahan. Tepuk tangan masih bergemuruh, sebuah gelombang suara yang seakan memecah kesunyian dalam dirinya. Suara operator membahana, "Sirosaki Emi! Permainan pianomu luar biasa! Suaramu... menyentuh hati!"

Namun, Emi tak bergeming. Jari-jarinya, meskipun masih menempel di tuts, kaku dan tak bergerak. Tatapannya kosong, terpaku pada permukaan kayu yang mengkilap, seakan mencari jawaban yang tak akan pernah ia temukan. Kilasan memori menerjang pikirannya: Reina, sahabatnya dari SMA Kyoko, wajah ceria Reina saat Emi mengajari dia memainkan melodi sederhana di piano tua itu. Tawa Reina, suara Reina yang riang, semuanya begitu nyata, begitu dekat, namun sekaligus begitu menyakitkan. Ingatan akan hari-hari mereka berlatih bersama, berbagi mimpi-mimpi besar dan rahasia kecil, menghantui Emi seperti bayangan yang tak pernah hilang. Reina, dengan semangatnya yang membara, selalu mendorong Emi untuk mengejar mimpinya, untuk bersinar di atas panggung. Kini, hanya kesunyian yang tersisa.

Sorakan penonton kembali menggema, kali ini dengan nada yang berbeda, lebih mendesak, lebih personal. "Emi!! Rambutmu kenapa nggak diikat?!" teriakan itu menusuk telinganya, menariknya kembali ke realitas yang pahit. Emi mengangkat wajahnya, matanya menatap penonton dengan ekspresi hampa, seperti patung yang dipaksa untuk hidup. Air mata menggenang di pelupuk matanya, berjuang melawan keinginan untuk tumpah. "Aku… tidak tahu…" bisiknya, suaranya serak, nyaris tak terdengar di atas gemuruh stadion. Sebuah isak lirih lolos dari bibirnya, sebuah pengakuan akan ketidakberdayaannya.

Seorang pria paruh baya berdiri, suaranya lantang memotong sorakan penonton. "Emi! Mengapa wajahmu kini telah berubah… dulu wajahmu sangat ceria…" Pertanyaan itu, sederhana namun menusuk, seperti tombak yang menghujam jantung Emi. Amarah yang selama ini terpendam meledak, menghancurkan bendungan emosi yang telah lama ia tahan. Dengan kasar, ia membanting tangannya ke tuts piano, menghasilkan dentuman keras yang membuat penonton terhenyak. Tubuhnya menegang, jari-jarinya mengepal erat.

"Sudah cukup menilai kepribadian ku?!" suaranya bergetar, dipenuhi amarah yang tak terkendali, campur aduk dengan kesedihan yang mendalam. "Apakah kalian lupa dengan kematian Reina?! Jadi jangan banyak tanya dan nikmati saja!" Ia berdiri dengan gerakan tiba-tiba, tubuhnya gemetar hebat. Dengan penuh amarah, ia menendang kaki piano, sebuah gerakan yang penuh frustasi dan keputusasaan. Keheningan mencekam stadion, hanya suara napas penonton dan isakan Emi yang terdengar. Bayangan Reina kembali muncul di benaknya; wajah ceria Reina, tangan Reina yang mungil memegang pensil, Reina yang selalu ada untuknya, Reina yang kini telah tiada.

"Bermain alat musik… tanpa Reina… tanpa kehadiran sahabat pertamaku… sebagus apapun aku main, dia tidak akan melihatnya…" Emi menatap penonton dengan tatapan tajam, matanya berkaca-kaca, air mata mengalir deras di pipinya. Bahunya bergetar hebat, tubuhnya merosot ke bangku piano, seakan tak mampu lagi menahan beban kesedihan. "Dan jangan menilai wajahku yang tampak suram… sekarang aku akan berhenti memainkan musik dan mengundurkan diri dari YMEE band…" Kata-kata itu keluar seperti sebuah ratapan, sebuah pengakuan akan kekalahan atas kesedihannya.

Tangisan dan isak tangis pecah dari kerumunan penonton. Seorang gadis muda berteriak, suaranya terbata-bata, "Emi… jangan tinggalkan YMEE band!!"

Emi tertawa getir, sebuah tawa yang menyayat hati, sebuah tawa yang penuh kepedihan. Ia kembali membanting tangannya ke tuts piano, menciptakan disonansi yang menyakitkan, mencerminkan kekacauan dalam jiwanya. "Apakah kalian tahu?! Yumi sekarang sudah gila!! Dia tidak seperti orang hidup setelah kematian adiknya!! Jangan memaksa kami!! Mengerti!!!" Dengan gerakan penuh frustasi, ia menendang piano hingga terjatuh dengan keras, suara benturan itu seperti menghancurkan hati para penonton. Lalu, dengan langkah gontai, ia berbalik dan menghilang di balik panggung, meninggalkan keheningan yang berat dan penuh kesedihan. Kenangan tentang Reina, sahabat yang telah pergi, menghantui langkahnya, menyeretnya ke dalam kesunyian yang dalam.

Di luar stadion, Alice dan Jimmy, dua agen rahasia yang menyaksikan seluruh drama itu, saling berpandangan. Alice, dengan jari-jari lentiknya mengetik cepat di tablet, menganalisis setiap perubahan ekspresi wajah Emi, setiap gerakan tubuhnya, mencoba menguraikan emosi yang kompleks yang tersembunyi di balik penampilannya yang hancur. Ia berhasil mendeteksi lokasi Emi berdasarkan data mental yang terbaca. Ekspresinya serius, menunjukkan keprihatinan yang mendalam.

"Jimmy… apakah kita yakin… akan membantu Emi di saat ini?" Suara Alice terdengar ragu, mencerminkan keraguannya akan misi yang akan mereka hadapi.

Jimmy menggosok rambut botaknya, tatapannya tajam dan penuh perhitungan. "Tidak ada waktu lagi untuk menunda. Kalau kita menunda ini… kapan kita akan membunuh Danton?" Nada suaranya tegas, tanpa keraguan, menunjukkan tekadnya yang kuat. Namun, di balik ketegasannya, terlihat sedikit keraguan, sebuah pertarungan antara tugas dan empati.

Alice mengangguk, memahami maksud Jimmy. "Baiklah… Jimmy, dari 1 kilometer di luar pintu belakang stadion Kuroku, di dekat air mancur, kita akan menemui nya… dan di saat ini, Emi bersama pacarnya, yaitu Earl…" Ia berdiri, siap menjalankan misi, meskipun ia menyadari bahwa misi ini jauh lebih kompleks daripada sekadar membunuh Danton.

Jimmy berdiri, tubuhnya tegap, siap menghadapi apapun. "Baiklah…" Ia menatap ke arah stadion yang sunyi, menyadari bahwa misi mereka jauh lebih rumit daripada sekadar membunuh Danton. Mereka harus menyelamatkan Emi, menyelamatkan jiwa yang telah hancur oleh kesedihan dan kehilangan sahabatnya, Reina, sebuah misi yang akan menguji batas kemampuan dan hati nurani mereka.

Udara malam Tokyo menusuk dingin, membasahi kulit Emi dan Earl yang saling berpelukan di taman kecil, tak jauh dari stadion yang masih bergema dengan sisa-sisa tepuk tangan. Emi, tubuhnya gemetar hebat, menangis tersedu-sedu di pelukan Earl. Rambutnya yang panjang dan hijau muda terurai, membingkai wajahnya yang pucat pasi. Air matanya membasahi bahu Earl, menciptakan bercak basah di atas jaket denimnya. "Earl... aku nggak kuat... tanpa Reina... aku merasa seperti kertas ujian yang diremuk, dibuang begitu saja menjadi sampah..." Suaranya serak, dipenuhi kepedihan yang begitu dalam. Setiap kata yang keluar dari bibirnya adalah buih kesedihan yang meluap.

Earl, dengan mata sembab dan merah, menarik Emi lebih erat ke dalam pelukannya. Kehilangan Reina telah menghancurkannya. Bayangan Reina, sahabat yang selalu ceria dan penuh semangat, menari-nari di benaknya. Ia teringat akan kebaikan Reina, yang telah membantunya mengungkapkan perasaannya kepada Emi. Kini, kebaikan itu terasa begitu menyayat, sebuah pengingat akan kehilangan yang tak tergantikan. "Emi... aku tidak tahu harus berbuat apa... Reina... dia..." Suaranya tercekat, dipenuhi kesedihan yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Jari-jarinya mengusap lembut air mata Emi, gerakan yang penuh kelembutan dan keputusasaan.

Sebuah mobil hitam berhenti di ujung jalan, lampu depannya menerangi taman kecil itu sejenak sebelum meredup. Dua sosok muncul dari kegelapan, Alice dan Jimmy, dua agen rahasia yang terlatih dengan baik, berjalan mendekat dengan langkah tenang dan pasti. Alice, dengan ekspresi wajah yang serius dan dingin, mengucapkan salam. "Selamat malam, Sirosaki Emi, Noubi Earl..." Suaranya datar, tanpa sedikitpun emosi, namun aura kewibawaannya terasa kuat.

Earl, terkejut oleh kehadiran mereka yang tiba-tiba, menarik diri dari pelukan Emi. Ia mengusap air matanya dengan punggung tangan, mencoba terlihat tenang, namun tangannya masih gemetar. "Iyaa... itu kami berdua. Ada urusan apa ya? Dan wajah kalian... sangat asing..." Nada suaranya sedikit waspada, menunjukkan keraguan dan ketidakpercayaan. Ia mengamati Alice dan Jimmy dengan saksama, mencari petunjuk yang bisa menjelaskan kehadiran mereka di tempat itu.

Jimmy mengeluarkan kartu identitasnya, menunjukkannya kepada mereka berdua dengan gerakan yang terlatih dan presisi. "Namaku Jimmy Hopkins, dan rekan di sebelahku bernama Alice Neviza. Kami berdua adalah agen rahasia Rusia di bawah kepemimpinan Craig, sekaligus bawahan Profesor Reiz dan Tia..." Ia berbicara dengan nada formal, menunjukkan profesionalisme, namun tatapan matanya yang tajam dan penuh empati mampu menembus topeng ketenangannya.

Emi, yang masih terisak, tersentak mendengar nama Reiz dan Tia. Nama itu membangkitkan kenangan akan masa lalu, kenangan akan persahabatan dan pengkhianatan. Ia melepaskan diri dari pelukan Earl, tubuhnya menegang, seakan-akan sebuah patung yang dipahat dari batu. "Jadi... kalian adalah bawahan... bawahan dari abang sahabatku yang sudah mati?" Suaranya datar, namun di baliknya tersimpan amarah dan kesedihan yang terpendam. Ia menatap Alice dan Jimmy dengan tatapan tajam, mencari jawaban atas pertanyaan yang telah lama menghantuinya.

Alice mengangguk pelan, menunjukkan empati yang tersembunyi di balik ekspresi wajahnya yang datar. "Iya... Emi..." Ia memahami betapa berat beban yang harus dipikul Emi, betapa besar kesedihan yang harus ia tanggung.

Emi berdiri tegak, tubuhnya menegang seperti tali busur yang siap melepaskan anak panah. "Lalu... apakah Reiz tahu bahwa adiknya sudah mati?" Suaranya dingin, menunjukkan amarah yang terkendali. Ia menunggu jawaban, jawaban yang akan menentukan langkahnya selanjutnya.

"Iya... Profesor Reiz tahu bahwa adiknya telah tiada..." jawab Alice, suaranya lembut namun tegas, menunjukkan bahwa ia tidak akan berbohong.

Tiba-tiba, Emi meremas kedua pundak Alice dengan sangat kuat, jari-jarinya seperti cakar baja yang mencengkeram. Wajahnya memerah, napasnya memburu. "Dan... apakah dia tahu sebelum adiknya meninggal, adiknya memiliki penyakit jantung? Dan kenapa... kenapa, KENAPA REIZ TIDAK DATANG KE SINI WAKTU REINA SAKIT SAKITAN MENAHAN JANTUNGNYA DAN JANTUNG REINA TELAH DISABOTASE OLEH ALEXANDER!!" Suaranya meninggi, dipenuhi amarah dan kesedihan yang tak tertahankan. Air matanya mengalir deras, mencampur aduk dengan amarah yang membara. Tubuhnya bergetar hebat, seakan-akan akan meledak karena emosi yang tak terkendali.

Earl, dengan hati-hati, memeluk Emi dari belakang, mencoba menenangkannya. "Emi... dengarkan mereka dulu... mereka mungkin bisa menolong kita..." Suaranya lembut, penuh dengan kasih sayang dan pengertian. Ia mengusap punggung Emi dengan lembut, mencoba meredakan amarahnya.

Jimmy berusaha menengahi situasi yang tegang, namun ia tetap menjaga jarak, menunjukkan profesionalismenya sebagai agen rahasia. "Iya, kau benar... dan tolong lepaskan pundak rekan ku..." Ia berusaha bersikap tenang, namun raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran.

Alice, dengan sabar dan tenang, mencoba menjelaskan. "Emi... itu bukan urusan kami... itu di luar jangkauan informasi kami terkait Reiz... tapi dengarkan aku dulu..." Suaranya tenang, namun tegas, menunjukkan profesionalismenya sebagai seorang agen rahasia. Ia berusaha menenangkan Emi, menjelaskan bahwa mereka memiliki misi yang berbeda, namun tetap menunjukkan empati dan pengertian.

Emi, sedikit demi sedikit, melepaskan cengkeramannya dari pundak Alice. Napasnya masih terengah-engah, tubuhnya masih gemetar. "Maaf... aku kelepasan..." Suaranya masih bergetar, namun amarahnya mulai mereda. Ia mengusap air matanya, mencoba mengendalikan emosinya. Malam itu, di bawah langit Tokyo yang gelap, pertemuan yang tak terduga itu baru saja dimulai, menjanjikan sebuah perjalanan yang penuh dengan misteri, bahaya, dan mungkin, sedikit harapan.

1
Riri
ini bukan maha karya, ini sebuah wahyu yang di tulis dengan tinta jiwa dewa author 🤓🙀
secret: wihhh 😭🙏🙏
total 1 replies
Rezaa..
semoga season dua lebih bagus dari season satu... no momy Andras 😭
secret: gapapa... nanti Andras muncul lagi kok... tapi nunggu lama ya wkwkw
total 1 replies
Rezaa..
baru bangun dari kematian lansung rasis si Reina cok 🤣🤣
secret: rasis dulu sebelum membantai /CoolGuy/
total 1 replies
esere
Serius... cerita ini walaupun panjang, tapi seru... karakter karakter nya unik sama narasi nya hidup gitu... pokok nya setia dari s1 🔥
secret: yoi dong 🤝
total 1 replies
esere
hampir kenak parani gara gara Reina mati 😭😭
secret: Dawg... mereka lansung putus asa baca waktu Reina mati 🤣
total 1 replies
Author Sylvia
semangat,moga rame yang baca/Smile/
secret: makasih ya author... kamu juga!!
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!