Yujin hanya ingin keluarga utuh dengan suami yang tidak selingkuh dengan iparnya sendiri.
Jisung hanya ingin mempertahankan putrinya dan melepas istri yang tega berkhianat dengan kakak kandungnya sendiri.
Yumin hanya ingin melindungi mama dan adiknya dari luka yang ditorehkan oleh sang papa dan tante.
Yewon hanya ingin menjalani kehidupan kecil tanpa harus dibayangi pengkhianatan mamanya dengan sang paman.
______
Ketika keluarga besar Kim dihancurkan oleh nafsu semata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caca Lavender, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Katakan
Malam hari saat perayaan Chuseok di rumah Chungyeon. Jarum jam menunjuk angka dua. Di luar, angin malam mengetuk jendela kamar perlahan, seperti suara halus seseorang yang ingin masuk tapi takut mengganggu.
Yujin masih terjaga.
Sunghan sudah terlelap di sampingnya, nafasnya tenang, bibir mungilnya sedikit terbuka, dan lengannya melingkari perut Yujin yang membuncit. Anak itu tidak tahu apa-apa, pikir Yujin, dan seharusnya memang begitu. Tapi dunia tidak selalu bisa melindungi anak-anak dari kepedihan orang dewasa.
Yujin memejamkan mata, tapi otaknya tidak diam. Ia tidak bisa menghentikan gambar-gambar yang berkeliaran.
Senyum Jihoon padanya yang dipaksakan.
Cara Hana tertawa saat makan malam keluarga besar yang terlalu cerah.
Tatapan Jihoon dan Hana yang selalu bertemu seperti kebiasaan.
Dan Yewon.
Bocah polos itu menatapnya hari ini dengan sorot mata yang membuat Yujin gemetar.
“Kalau dua orang saling pandang terus sambil tersenyum … itu artinya mereka suka satu sama lain, ya?”
Pertanyaan sederhana yang datang dari anak berusia lima tahun. Pertanyaan yang tampak manis, tapi sesungguhnya sangat mengerikan. Karena ia tahu, apa yang membuat Yewon bertanya seperti itu padanya.
Yujin mengusap perutnya pelan. Bayi dalam kandungannya sudah berusia enam bulan. Ia bisa merasakan kehidupan yang tumbuh di sana. Ia pun duduk perlahan, menyelipkan bantal di samping tubuh Sunghan, lalu bangkit dari tempat tidur. Kakinya terasa dingin, tapi ia tidak peduli. Ia mengenakan cardigan panjang, lalu menyusuri lorong rumah dengan pelan. Semua orang seharusnya sudah tidur. Tapi sesuatu mengusiknya. Rasa tidak tenang yang tak bisa dijelaskan.
Ia berjalan ke dapur untuk minum. Tapi saat sampai di sana, langkahnya terhenti.
Dua cangkir teh ada di meja. Masih berembun. Bukan teh sore tadi. Ini baru diseduh. Seseorang baru saja duduk di sini. Tepatnya dua orang.
Yujin memejamkan mata. Kepalanya menolak mengakui apa yang sedang diteriakkan oleh perasaannya.
Ia memeriksa jam dinding.
Pukul 02.14.
Siapa yang minum teh pada jam segini?
Kenapa?
Pintu belakang terdengar bergerak perlahan sekali, seperti seseorang berusaha agar tidak mengganggu.
Yujin melangkah ke arah pintu dapur, lalu menengok ke halaman belakang.
Ia tidak melihat siapa-siapa, tapi angin masih membawa jejak aroma teh dan parfum yang tidak asing. Parfum Hana. Wangi yang khas, manis dan mahal, yang biasa melekat di pundaknya saat mereka memeluk satu sama lain di hari kumpul keluarga.
Sekarang parfum itu Hanya membuat Yujin ingin muntah.
...----------------...
Pagi datang dengan cepat, tapi matahari tidak membawa terang dalam hatinya. Yujin duduk di bangku dekat pintu masuk sambil mengenakan dress tipis warna biru muda. Wajahnya tenang, tapi matanya sayu. Ia memandangi tangan Sunghan yang sedang bermain-main dengan tali sandal kecilnya.
Jihoon muncul dari arah tangga dengan rambut berantakan seperti orang yang baru bangun. Tapi Yujin tahu jika suaminya tidak tidur nyenyak. Atau mungkin tidak tidur sama sekali.
“Jinnie,” sapa Jihoon dengan nada pelan, “kamu sudah bangun dari tadi?”
Yujin tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangguk pelan.
“Harusnya istirahat lagi. Kamu butuh tidur lebih banyak.”
Ucapan Jihoon mengambang di udara. Yujin tahu kalau suaminya mencoba bersikap normal, tapi tubuh pria itu tegang. Tatapannya gelisah, bahkan senyumnya tidak mencapai mata.
“Teh tadi malam enak, ya?” tanya Yujin dengan nada dingin.
Jihoon membeku. Ia memandang heran sambil mengambil jaket yang tergeletak di kursi, “teh yang mana?”
Yujin menatapnya tajam, “teh yang kamu minum berdua dengan Hana.”
Jaket di tangan Jihoon nyaris jatuh.
Hening. Udara pagi tiba-tiba menjadi dingin meski matahari sudah meninggi.
Yujin berdiri, mengancingkan jaket kecil Sunghan dengan hati-hati, lalu menatap suaminya, lelaki yang telah berbagi ranjang dengannya selama delapan belas tahun, ayah dari dua anak dan satu bayi dalam perutnya.
“Jangan dijawab. Aku tidak siap mendengar bualan,” kata Yujin dengan suara tenang, “tapi jangan pernah anggap aku bodoh. Aku tahu kamu bohong. Dan aku tahu kamu licik. Tapi aku akan diam demi keluarga kita, dan aku masih ingin pernikahan ini bertahan, setidaknya untuk anak-anakku.”
Jihoon membuka mulut, tapi Yujin mengangkat tangan.
“Jangan. Jangan mulai dengan ‘aku bisa jelaskan.’ Kamu tidak akan menjelaskan apapun, Kim Jihoon,” tegas Yujin
Yujin membungkuk untuk mengambil tas kecil milik Sunghan, lalu menggandeng anak itu dan berjalan ke arah mobil.
Jihoon tetap berdiri di tempat, seperti tiang yang patah di dalam.
...🥀🥀🥀🥀🥀...