NovelToon NovelToon
Still Love You

Still Love You

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Duniahiburan / Anak Genius / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Ayinos SIANIPAR

Kalian pernah nggak sih suka sama sahabat kalian? Yah kali ini aku sadar kalau aku suka sama sahabat dari kecil ku. Dari umur 3 tahun hingga sekarang aku umur 23 tahun baru sadar kalau aku suka bahkan cinta sama dia. Namun bagaimana mungkin aku menyatakan perasaan ini? Kami itu sahabatan. Bagaimana aku menaruh hati dengannya/ bahkan dia juga sudah punya pacar. Pacar yang selalu dia bangga-banggakan. Aku bingung bagaimana harus mengungkapkannya!
Hai namaku Dion! Umur ku saat ini 23 tahun, aku baru saja lulus kuliah. Aku suka banget dengan kedisiplinan namun aku mendapatkan sahabat yang selalu lalai terhadap waktu dan bahkan tugasnya. Bagaimana cerita kami? Lest go

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MELUPAKAN KESUKAAN DEMI KESAYANGAN

Seperti yang kukatakan kemarin, hari ini ada ujian. Yah, aku harus mengakui, jantungku berdetak lebih cepat setiap kali menghadapi ujian, bukan karena takut gagal, melainkan karena ambisi untuk meraih kesempurnaan. Menurutku, materi ini sangat mudah, karena ini masih mata pelajaran Bahasa Indonesia, sebuah bidang yang selalu terasa akrab dan mudah kurangkul. Teori yang dipelajari hanya teks anekdot dan juga debat—dua topik yang, jujur saja, sudah sangat familiar. Bagiku, hal ini sangatlah sederhana, namun prinsipku adalah nilai harus sempurna, alias 100. Maka, akan kupastikan aku tidak akan ada celah kesalahan sedikit pun. Namun, jalannya tak semudah itu. Selalu ada kerikil di jalan, dan kali ini, anak ini lagi, anak ini lagi yang selalu mengusik ketenangan dan fokus kehidupanku.

“Dion, beri aku contekan sedikit saja,” ujar Voni memelas dengan nada yang sangat pelan, nyaris tak terdengar, namun entah mengapa telingaku selalu sensitif terhadap suaranya. Aku meliriknya malas, melihat ekspresi memohon yang sudah sangat kukenali. Dengan satu helaan napas, aku sengaja melebarkan kertas ulanganku agar gadis pemalas ini dapat melihat jawabanku. Tidak ada kata-kata yang terucap dari bibirku, hanya anggukan samar yang seolah memberi izin. Terlihat jelas senyuman mengembang di wajahnya yang mungil, senyuman lega seorang pemenang yang baru saja mendapatkan jackpot. Setelah kami selesai berdua mengerjakan ujian—atau lebih tepatnya, setelah aku selesai mengerjakan dan dia menyalin—akhirnya kami menyusun strategi untuk tidak mengumpulkan kertas ujian bersamaan. Ini adalah bagian yang paling krusial, strategi penghindaran kecurigaan yang telah kami praktikkan berkali-kali.

“Dion, kamu saja duluan yang mengumpulkan, sepuluh menit kemudian baru aku yang mengumpulkan,” ujar Voni berbisik, matanya menatapku penuh harap. Aku hanya mengangguk tipis, seolah menyetujui rencana licik kami. Aku bangkit dari bangku, mengambil langkah tenang menuju meja pengawas di depan, menyerahkan kertas ujianku, lalu kembali duduk di samping Voni. Bangku kami memang satu, tak terpisahkan, seperti kami berdua. Setiap detik terasa panjang. Aku bisa merasakan tatapan cemas Voni, namun aku hanya berpura-pura santai, seolah tak ada beban.

Namun, setelah sepuluh menit berlalu, bahkan lebih, Voni belum juga bergerak untuk mengumpulkan kertas ulangannya. Rasa penasaran mulai menggerogoti. “Mengapa kamu belum mengumpulkan, Von?” ujarku dengan berbisik, menoleh ke arahnya. Voni hanya tersenyum simpul, senyuman penuh misteri yang selalu membuatku gemas, lalu berbisik kembali, “Nanti saja kalau semuanya mengumpulkan, baru deh aku mengumpulkan.” Tanpa rasa curiga yang berarti, aku mengangguk pelan, seakan-akan aku percaya sepenuhnya pada alasannya. Aku tahu sifatnya yang unik, selalu mencari jalan termudah dan paling menguras sedikit energi.

Akhirnya semua siswa mengumpulkan kertas ujian, ruangan kelas menjadi riuh dengan gerakan dan bisik-bisik, menandakan akhir dari "pertempuran" intelektual kami. Bel istirahat pun berbunyi nyaring, memecah kesunyian dan memberi izin kepada kami untuk bebas. Seperti biasanya, pada jam istirahat, aku dan Voni akan pergi ke perpustakaan, namun dengan tujuan yang sangat berbeda. Aku akan mengambil beberapa buku yang ingin aku pelajari, mungkin tentang Ekonomi Sumber Daya Alam atau teori-teori pembangunan. Berbeda dengan gadis pemalas ini, dia pasti akan mengambil buku komik atau novel bergenre percintaan yang tebal, asyik dengan dunianya sendiri tanpa perlu berpikir keras. Dasar gadis pemalas.

“Von, ayo ke perpustakaan,” ajakku pada Voni seperti biasanya, suara kebiasaan yang terucap secara otomatis. Voni menatapku, memancarkan senyuman aneh yang membuatku mengerutkan kening. Senyuman itu bukan senyuman khasnya.

“Kamu tidak lihat orang di belakangmu, Dion?” ujar Voni, suaranya sedikit mengandung ejekan. Aku bingung apa maksudnya, dan baru tersadar, ya, Varo. Varo juga teman satu kelas kami, dan bahkan duduk tepat di belakangku. Pria itu kini berdiri di samping Voni, menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Hmm, padahal mereka sudah hampir dua minggu pacaran, tetapi rasanya belum terbiasa bagiku yang biasanya selalu bersama Voni. Perasaan tidak nyaman itu menyeruak. Kadang aku berpikir, apakah aku hanya merasa kehilangan seorang sahabat, atau bahkan lebih dari itu? Baiklah, akhirnya aku memilih untuk pergi meninggalkan sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta itu.

“Baiklah, have fun,” ujarku dengan nada malas, bahkan mungkin sedikit ketus. Tanpa menunggu balasan, aku berbalik, berjalan cepat menuju perpustakaan. Di sana, di antara rak-rak buku yang menjulang, aku menemukan ketenangan. Aku meraih buku Ekonomi Sumber Daya Alam. Sejak dulu aku sangat ingin kuliah di Universitas Padjadjaran, jurusan Agribisnis, karena aku ingin meneruskan usaha orang tuaku. Hubungannya dengan buku ini adalah bahwa ini salah satu pelajaran yang akan dibahas di perkuliahan nanti. Aku tahu karena aku sering bertanya kepada saudara yang masih kuliah di sana, mempersiapkan diri jauh-jauh hari.

Entah sudah berapa halaman aku membaca buku ini, tenggelam dalam dunia angka dan teori. Sampai pada akhirnya, pandanganku beralih ke arah lain, ke arah suara wanita yang mungkin sedang mengajakku berbicara. Suaranya terdengar ragu dan pelan, namun tetap mengganggu fokusku.

“Kamu mengajakku mengobrol?” tanyaku dengan suara pelan namun terlihat jutek, tatapan mataku seolah ingin menembus lawan bicara. Terlihat jelas gadis aneh ini sedang gugup, “Hee-hee, i-i-y-a…” ujarnya dengan suara terbata-bata dan nada yang sangat hati-hati.

“Kamu boleh mengajakku mengobrol kalau aku sudah di luar perpustakaan,” ujarku lagi pelan dengan nada jutek dan tatapan elangku. Entahlah mengapa orang-orang mengatakan aku ini manusia yang sangat jutek, dan aku juga bingung mengapa aku malas meladeni perempuan kecuali Voni, si wanita pemalas itu. Mungkin karena mereka terlalu mudah terbawa perasaan, dan aku terlalu malas mengurus drama.

Gadis aneh itu pun meminta maaf dan pergi dengan wajah lesu. Kasihan, sih, tapi hanya saja aku malas melayaninya. Aku takut mereka terbawa perasaan, karena wanita cenderungnya begitu. Bukan aku merasa sok tampan, ya, namun mejaku selalu terisi cokelat dan surat cinta tidak jelas. Jadi, untuk menghindari perempuan merasa aku mencintai mereka balik, yaitu harus jutek kepada mereka. Ini adalah benteng pertahananku.

Melihat jam sudah menunjukkan waktu yang sebentar lagi masuk pelajaran Matematika, akhirnya aku memilih untuk meminjam buku Ekonomi Sumber Daya Alam ini untuk dibawa ke rumah. Bel masuk pun berbunyi nyaring, dan akhirnya aku bergegas menuju kelas. Namun, di tengah perjalanan, Bu Rosana, sebagai guru Bahasa Indonesia, menitipkan kertas ulangan yang sudah dikoreksinya. Dengan cepat aku mengambilnya, dan tanpa lupa aku mengambil kertasku. Tentu saja, nilaiku 100. Ini nilai yang selalu aku koleksi, jadi ini hal biasa, sebuah pencapaian yang sudah menjadi bagian dari rutinitas. Sekali lagi aku katakan, aku bukan sombong, hanya realistis.

Aku juga mencari nilai Voni. Dia sangat sering mencontek kepadaku, tetapi anehnya, nilainya tidak pernah sempurna, padahal tinggal menyalin! Memang benar-benar anak pemalas yang akut. Namun, aku sangat penasaran nilainya hari ini. Dan akhirnya nilai Voni kutemukan. APA? 50? Mataku membelalak tak percaya. Apa ini? Ku telusuri tulisan di kertas itu, dan itu bukan tulisan gadis pemalas itu. Sebuah keanehan. Aku mencari kertas Varo. Varo bisa dapat nilai 100? Dan, ya, ini tulisan Voni. Rasa kesal memuncak. Bahkan dia untuk dirinya sendiri tidak pernah dapat nilai 100, lalu mengapa untuk pria sialan itu dia gunakan semangat yang luar biasa, bahkan mengalahkan kemalasannya yang biasanya tingkat 98% itu? Dengan kesal, aku masuk ke kelas dan membagikan kertas kepada siswa dan siswi yang ada di kelas itu. Emosiku memuncak, nyaris meledak.

“Von, untuk ujian besok aku akan pindah tempat duduk. Kamu cari saja siswa atau siswi yang pintar untuk memberimu contekan demi nilai pacarmu itu, dan kamu jangan datang ke rumahku untuk belajar bersama. PERCUMA BELAJAR DENGAN ORANG MALAS DAN HANYA TAHUNYA PACARAN SAJA!” ujarku kesal, tanpa memandang wajah gadis pemalas ini. Aku tahu ucapanku akan menyakiti hatinya, namun kali ini mengapa hatiku sangat memanas melihat dia lebih mengutamakan laki-laki lain dibanding aku? Dan dibanding dirinya sendiri? Yah, mungkin ini kedua kalinya aku memarahinya. Ingat, pertama aku memarahinya karena dia menjodohkanku dengan sahabat gilanya, dan sekarang aku marah karena pacar gilanya. Sepertinya dia hanya punya aku yang menjadi orang waras di hidupnya. Namun, tenang saja, aku sebagai orang waras akan menjaganya dari orang-orang gila yang dia temui. Kurang perhatian apa coba aku sebagai sahabatmu, Von? Dasar wanita keras kepala.

Namun, sebesar apa pun aku marah, sepertinya gadis pemalas ini tidak memikirkan hal itu. Bagaimana mungkin dia memikirkannya? Dia kan pemalas akut. Bahkan dia dimaki orang lain saja dia tidak akan sakit hati, alasannya, “Sangat menguras energi.” Pemalas yang sangat luar biasa itu, ya, Voni. Kutatap mata laki-laki yang berstatus pacar Voni dengan tajam, sebuah tatapan yang kuharap bisa menembus kulitnya. Mengapa aku melihat wajahnya seakan-akan pria yang bernama Varo itu sedang mengejekku? Ah, rasanya ingin sekali aku menampar pria licik itu. Namun, aku mengurungkan niatku. Kulanjutkan aktivitasku. Buat apa membuang-buang waktu untuk manusia seperti itu? Kecuali dia menyakiti Voni di depanku, maka akan kuhabisi laki-laki sialan ini.

Setelah istirahat, akhirnya aku duduk di tempat dudukku semula. Voni menatapku dengan dalam saat aku duduk di situ dan tersenyum. Senyuman itu, senyuman yang selalu menghangatkan bagiku. Sudah tiga belas tahun dengannya, dan selalu yang membuat hatiku nyaman dengannya adalah senyumannya. Senyuman tulus yang tak pernah berubah, bahkan setelah semua pertengkaran kecil dan kebiasaan buruknya.

“Terima kasih, ya, Dion, sudah selalu baik kepadaku, terima kasih sudah jadi abang terbaik untuk aku,” ujarnya dengan senyumannya yang sangat manis itu. Seperti biasanya, setiap ada momen romantis seperti ini, aku akan selalu mengusap kepalanya. Mungkin ini hobiku dari tiga belas tahun lalu, sebuah gestur keakraban yang telah terpatri.

“Bagaimanapun, aku tidak akan tega membiarkanmu kenapa-kenapa. Aku akan berusaha sebaik mungkin untukmu,” ucapku dengan sangat lembut dan mengusap kepalanya. Dengan detail kutatap wajah lucu dan manis milik gadis pemalas ini. Aku hafal dua bola mata cokelatnya itu, hidung mancungnya, dan lesung pipi yang ada di sebelah kanan pipinya, bibir kecil merah jambu dan dagu yang memiliki belahan, serta rambut panjang dan kulitnya yang putih bersih itu. Tetapi, sebentar, ada yang berbeda dengannya, yaitu dari sisi telinganya. Ke mana dua anting-anting bintangnya? Anting yang selalu dipakainya, yang selalu mengingatkanku padanya.

“Hkmmm, maaf sebelumnya, Von, aku mau bertanya, ke mana anting-anting bintangmu? Mengapa jadi gambar bulan? Bukannya kamu suka bintang?” tanyaku spontan, merasakan keanehan yang menusuk. Voni tersenyum kecil dan malu-malu, sebuah ekspresi yang tak biasa darinya.

“Benar dugaanku, kamu pasti akan sadar apa yang berbeda dariku,” ujar Voni dengan senang, matanya berbinar. Bagaimana aku tidak sadar? Bahkan senyumannya aku ingat selalu, apalagi tentang hal yang selalu aku lihat dan kuberi padanya. Anting bintang itu dariku, hadiah yang kuberi karena menurutku dia sangat manis menggunakannya, dan dia juga sangat menyukai bintang. Dia menyukai bintang karena bentuknya lucu dan juga menurutnya bintang itu memiliki keunikan istimewa, yaitu kemampuannya memancarkan cahaya sendiri, ukurannya yang sangat besar, dan jaraknya yang sangat jauh dari Bumi. Sedangkan bulan, menurutnya tidak begitu istimewa, dan bulan memiliki bentuk yang indah saat jauh namun setelah didekati tidak. Hal ini seperti sifat manusia yang sering mengecewakan pada umumnya. Hal itulah yang membuatnya malas dengan bulan.

“Iya, awalnya aku tidak suka bulan, Dion, tapi ini pemberian Varo, jadi aku mulai menyukai bulan karena Varo, hehehe. Sudah dulu, ya, Dion, soalnya Varo sudah lapar, nih,” ujar Voni seraya menggenggam tangan Varo dan bergegas pergi meninggalkan aku di dalam kelas itu. Aku pun juga memilih untuk pergi ke perpustakaan, menjalani kehidupan seperti biasanya, berusaha mengusir rasa perih yang tiba-tiba muncul.

Namun, aku tidak menyangka kalau Voni sudah sejauh ini mencintai Varo, bahkan dia rela meninggalkan kesukaannya demi menghargai pemberian Varo. Selain itu, hal yang paling menyedihkan adalah menyadari bahwa sahabat akan pergi meninggalkan kita ketika dia sudah menemukan orang yang dia sayang. Sedikit kecewa akan hal ini, namun apa daya. Aku juga bingung pada diriku, apakah aku kecewa karena sahabat meninggalkanku atau ini lain dari konteks sahabat? Entahlah, aku bingung, namun apa pun itu, Voni harus tahu kalau aku jauh lebih sayang daripada si Varo-Varo itu. Walaupun aku hanya sebagai sahabatnya, tapi aku tidak akan membiarkan dia bersedih, walaupun aku yakin dia tidak akan sedih. Percayalah, wanita seperti Voni itu tidak akan memikirkan masalah yang terjadi. Dia itu wanita pemalas yang harus selalu diajarin dan dibantu. Namun, untuk hal itu, aku akan siap siaga selalu untuknya. Bagaimana mungkin aku bisa jahat sama perempuan yang selalu bersamaku dari umur tiga tahun? Sebanyak apa kenangan kami berdua? Kami dari mulai TK bersama sampai sekarang kami SMA bersama. Bahkan ponsel pertamaku sampai ponselku sekarang selalu ada wajah Voni. Untuk fotonya saja, di ponselku yang saat ini ada sebanyak seribu empat ratus foto, itu hanya ponselku saat ini. Bagaimana kenangan kami yang sebenarnya? Banyak sekali. Satu tahun ada 365 hari, dan kami sudah lebih dari sepuluh tahun bersama.

1
Na Gi Rah
Terkadang dibuatkan gila dan bodoh kalau sudah menyukai seseorang tuuh
SONIYA SIANIPAR: hahaas bener banget
total 1 replies
Na Gi Rah
Iya aku pernah sih suka sama temen sendiri, tp terkadang pemikiran dia agak berbeda dengan pemikiran kita.
SONIYA SIANIPAR
luar biasa
SONIYA SIANIPAR
keren
Blue Angel
hadiiir
SONIYA SIANIPAR: wahh makasii kaka, semoga menikmati
total 1 replies
Osmond Silalahi
aq titip jejak disini ya
Osmond Silalahi
berarti emang dambaan para penggemar
Osmond Silalahi
lah aq suka makan cokelat. jd gimana?
Osmond Silalahi: iya sih
SONIYA SIANIPAR: selagi tidak berlebihan tidak masalah
total 2 replies
Osmond Silalahi
ky ini, ky nya bs dibagi 2 paragraf
Osmond Silalahi
ceritanya bagus. boleh ga kasih saran supaya dikasih paragraf. jd tambah cantik karyanya
Osmond Silalahi: sama2
SONIYA SIANIPAR: wahhh, okee-okee makasii sarannya
total 2 replies
Heldawati Sianipar
suka
Heldawati Sianipar
sukaa sama ceritanya
iqbal nasution
oke
roarrr
wow😯😯😯
roar
wow
SONIYA SIANIPAR
keren
SONIYA SIANIPAR
hahaha
Black Jack
Ngagetin!
SONIYA SIANIPAR: hahahaha makasih btw dah mau baca
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!