[Sequel My Cold Husband]
Cerita ini tentang sahabat Anin di My Cold Husband season 1. Bisa dibaca terpisah. Tapi kalo mau baca My Cold Husband season 1 juga nggak masalah.
______________________________________________
Di saat usianya sudah menginjak angka dua puluh tiga tahun, dan akan memasuki angka 24 tahun, El harus menuruti keinginan kedua orang tuanya untuk dijodohkan dengan anak dari rekan bisnis orang tuanya.
El yang saat ini juga bekerja di salah satu perusahaan milik Papanya, sama sekali tidak menolak. Karena dia sendiri memang tidak pandai dalam mencari pasangan, hingga membuat El pasrah dengan apapun keputusan dari orang tuanya.
Namun bagaimana jika orang yang dijodohkan dengan El itu adalah orang yang masih terjebak akan masa lalunya?
Orang yang masih sulit untuk melupakan masa lalunya. Dan orang yang masih hidup dalam bayang-bayang masa lalunya.
Apakah El bisa meberima itu semua? Apakah El bisa bertahan dengan orang yang bisa dikatakan tidak pernah menganggap El ada? Apa nasib El akan sama seperti Anin sahabatnya?
Jangan lupa ikuti terus kisah El ya.
Jangan lupa juga follow ig Author @ Afrialusiana
Copyright © Afrialusiana.
Don't copy my story. Ingat dosa!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afria Lusiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Pergi
El duduk di meja rias yang ada di kamar. Dia tersenyum menatap dirinya dari pantulan kaca sembari memolesi wajahnya dengan sedikit make up.
Setelah selesai dan sudah terlihat rapi, El segera keluar dari kamar. Dia mencari Bi Tini untuk minta tolong diantarkan oleh Bi Tini ke tempat yang di maksud oleh Barra.
"Eh Non Gabriel udah siap?" Tanya Bi Tini yang kebetulan memang ingin menghampiri El.
"Hehe iya nih Bi. Bisa kita pergi sekarang Bi?" Tanya El.
"Ayok Non" Jawab Bi Tini tersenyum.
El dan Bi Tini keluar dari Villa. Mereka berjalan menuju kebun teh yang sangat luas dan indah yang memang letaknya tidak terlalu jauh dari Villa. Namun, tempat yang dimaksud Barra memang sedikit jauh karena mendaki ke atas kebun teh yang paling atas.
Sambil berjalan, El berbincang-bincang dengan Bi Tini juga sesekali tertawa.
"Disini udaranya sejuk banget ya Bi" Ujar El tersenyum sembari menikmati indahnya alam.
"Iya non. Namanya juga masih pedesaan" Sahut Bi Tini.
"Tapi El suka Bi"
"Oiya Bi. Bara sebelumnya udah sering kesini juga ya Bi?" Tanya El.
"Dulu iya Non. Den Barra sering kesini sam..."
BI Tini terdiam, dia baru teringat bahwa yang saat ini menjadi istri Barra adalah El, bukan Clara. Bi Tini keceplosan, dia tidak ingin El sakit hati jika dia tau dulu Barra sering ke sini bersama Clara. Bi Tini jadi bingung sendiri harus menjawab apa.
"Hm sama siapa Bi?" Tanya El penasaran.
"Sa-sama Den Dito, sama Den Bunga, terus keluarga den Barra Non" Jawab Bi Tini jujur namun tidak menyebutkan nama Clara.
"Hm. Bibi kenapa?" Tanya El saat menyadari tingkah Bi Tini yang terlihat gugup.
"Hehe nggak papa kok Non"
"Oke deh Bi" El mengangguk paham.
Hingga tanpa mereka sadari, kini El dan Bi Tini sudah berada di tempat yang dimaksud oleh Barra. Di kebun teh paling atas yang menampaki pemandangan hijau di sekelilingnya.
"Oiya non. Ini tempatnya." Ucap Bi Tini pada El.
"Wah bagus banget ya Bi pemandangannya dari sini daripada dari bawah" El berbicara sembari melihat pemandangan kagum.
"Iya Non. Kalo gitu Bibi permisi balik ke Villa dulu ya Non. Non El nggak papa kan nunggu Den Barra disini sendiri?" Tanya Bi Tini.
"Heehe iya Bi nggak Papa kok" Shaut El tersenyum.
Setelah Bi Tini pergi dari sana, El tak puas-puas memandangi pemandangan sekitar. Benar-benar sejuk, dingin, tapi El suka.
Gadis itu segera merogoh sling bag yang dia kenakan. El mengambil ponselnya dan mengambil gambar pemandangan yang bagus dari sana. Gadis itu juga tampak berselfie ria sendiri dengan senyum bahagia yang terpancar jelas di bibirnya.
***
Waktu terus berjalan. El sedari tadi juga sudah puas berselfie, dan menikmati pemandangan seorang diri di kebun teh. Cuaca semakin dingin, hari mulai sore, tapi Barra masih belum datang.
Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul lima lewat lima belas sore, lebih kurang sudah empat jam El menunggu. Tapi sepertinya masih belum ada tanda-tanda kedatangan Barra.
El merasa lelah, kakinya juga terasa pegal karena sedari tadi gadis itu tidak berhenti berjalan dan mengelilingi kebun teh tersebut seorang diri. El juga sempat bercengkrama dengan beberapa pengunjung yang ada di sana.
Sedari tadi El hanya melihat orang-orang yang menghabiskan waktu bersama orang terdekat mereka. Entah itu pacar, keluarga, atau teman, sementara El hanya seorang diri. Hingga El memutuskan untuk kembali ke tempat tadi ia diantarkan oleh Bi Tini. El tidak ingin Barra kesusahan mencari dirinya.
Waktu masih terus berjalan. El memperhatikan suasana sekitar yang sudah mulai terlihat sepi. Dia kemudian merogoh sling bag untuk mengambil ponsel di dalam sana. Gadis itu mencari nama Barra dan segera mengubungi Barra. Namun, Barra tidak kunjung mengangkatnya.
Tidak kuat berdiri, El memutuskan untuk segera duduk di tanah, di jalanan antara lahan kebun yang satu dengan yang lainnya. Namun, tempat El duduk saat ini sedikit tersembunyi dan tentu saja El tidak akan terlihat oleh orang-orang karena tertutup oleh kebun teh tersebut.
"Barra. Gue capek. Lo dimana sih?" Lirih El dengan mata yang sudah sayu. Sepertinya gadis itu juga kelelahan, pasalnya El hanya makan pagi tadi ketika bersama Barra.
Di waktu yang sama, di tempat yang berbeda. Barra sedang duduk di kursi yang ada di samping brankar Clara. Pria itu masih menunggu Clara yang masih belum sadarkan diri di sebuah puskesmas yang ada di sekitar sana.
Hingga beberapa saat, mata Clara mengerjap. Dia menyesuiakan pandangannya sembari memperhatikan suasana sekitar. Tangannya sudah di infus, lukanya sudah di perban dan Clara melihat ada Barra di samping brankarnya.
Melihat Clara sudah sadar, Barra memutuskan untuk bangkit. Dia berdiri dari duduknya dan hendak melangkahkan kaki keluar dari sana. Namun, Clara dengan cepat menarik tangan Barra.
"Jangan pergi" Lirih Clara dengan suara melemahnya.
Barra menoleh ke arah belakang. Dia menatap wajah pucat Clara. Ingatan saat mereka masih bersama tiba-tiba saja terlintas di fikiran Barra. Biasanya, Barra tidak akan pernah tega melihat Clara terluka seperti sekarang ini. Dia akan selalu bersama gadis itu, menemani Clara selalu.
Tapi bersamaan dengan itu, ingatan tentang Clara yang meninggalkan dirinya tanpa sebab hingga memilih laki-laki lain juga terlintas di benak Barra. Membuat wajah pria itu menggeram kesal.
"Aku tau, kamu masih sayang sama aku Bar, aku tau, kamu masih peduli sama aku. Aku tau itu Barra. Aku juga tau kalo kamu sama sekali belum lupain aku." Lirih Clara dengan suara melemah. Sedangkan Barra masih terdiam.
"Barra, kembali sama aku. Sakit Bar. Kamu nggak cinta sama Gabriel, jadi untuk apa kamu lanjutin semuanya sama dia?" Dalam kondisi seperti ini saja Clara masih bisa bisanya berbicara seperti itu.
Satu sudut bibir Barra terangkat, dia menyeringai dan memposisikan tubuhnya untuk kembali menghadap Clara.
"Nggak usah kepedean Cla. Kamu itu cuma salah paham, aku..."
"Aku nggak salah paham! kamu masih mencintai aku! kamu masih sayang sama aku! aku bisa ngerasain itu Barra!" Potong Clara meninggikan suaranya.
"Kalo kamu memang nggak peduli sama aku, kenapa kamu masih nolongin aku? kenapa kamu bawa aku kesini? kenapa kamu nggak ngebiarin aku mati? aku yakin, aku sangat yakin, kalo kamu masih mencintai aku Bar. Aku tau kamu udah lama, dan aku juga tau siapa kamu!"
"Kamu nggak mungkin semudah itu ngeluapain semua kenangan kita Barra!"
...Jangan lupa like, komen, dan vote ya. Makasih :)...