Gavin Adhitama (28 tahun) adalah menantu yang paling tidak berguna dan paling sering dihina di Kota Jakarta. Selama tiga tahun pernikahannya dengan Karina Surya (27 tahun), Gavin hidup di bawah bayang-bayang hinaan keluarga mertuanya, dipanggil 'pecundang', 'sampah masyarakat', dan 'parasit' yang hanya bisa membersihkan rumah dan mencuci mobil.
Gavin menanggung semua celaan itu dengan sabar. Ia hanya memakai ponsel butut, pakaian lusuh, dan tidak pernah menghasilkan uang sepeser pun. Namun, tak ada satu pun yang tahu bahwa Gavin yang terlihat kusam adalah Pewaris Tunggal dari Phoenix Group, sebuah konglomerat global bernilai triliunan rupiah.
Penyamarannya adalah wasiat kakeknya: ia harus hidup miskin dan menderita selama tiga tahun untuk menguji ketulusan dan kesabaran Karina, istrinya—satu-satunya orang yang (meski kecewa) masih menunjukkan sedikit kepedulian.
Tepat saat waktu penyamarannya habis, Keluarga Surya, yang terjerat utang besar dan berada di ambang kebangkrutan, menggan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rikistory33, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kandang singa
Kandang Singa di Kensington
London, Inggris - 18.00 GMT
Hujan gerimis London menyambut kedatangan Gavin dan Karina Adhitama. Kota ini terasa berbeda dari energi Jakarta yang berdenyut cepat atau Kyoto yang hening. London terasa berat, kuno, dan angkuh.
Mereka tidak menginap di hotel. Atas saran Laksmi, mereka menyewa sebuah townhouse bergaya Victoria di kawasan Mayfair untuk menegaskan status mereka, bahwa mereka datang sebagai bangsawan setara, bukan turis bisnis.
Namun, sambutan yang mereka terima sangat dingin.
Sejak mendarat, tidak ada satu pun perwakilan bisnis Inggris yang menyambut mereka.
Permintaan pertemuan dengan bankir-bankir lokal ditolak dengan alasan "jadwal penuh". Ini adalah embargo sosial.
Lord Sterling telah mengirim pesan kepada seluruh elit London yaitu Orang-orang Adhitama ini tidak diinginkan.
"Mereka mencoba mengisolasi kita," kata Gavin, melihat ke luar jendela townhouse ke jalanan yang basah.
"Di Asia, kita adalah Raja. Di sini, bagi mereka, kita hanyalah orang asing dengan uang yang 'terlalu baru'."
Karina sedang membaca undangan tebal bersulam emas yang baru saja diantar.
"Bukan isolasi total," koreksi Karina. "Lord Sterling mengundang kita. Malam ini. 'Makan Malam Amal untuk Pelestarian Sejarah' di kediamannya di Kensington Palace Gardens."
Karina menatap Gavin. "Ini bukan makan malam amal. Ini adalah sidang terbuka. Dia mengundang kita ke rumahnya untuk memamerkan kita di depan teman-temannya, lalu mempermalukan kita."
"Kalau begitu, kita tidak boleh mengecewakannya," kata Gavin, matanya dingin.
"Siapkan gaun terbaikmu, Sayang. Kita akan masuk ke kandang singa."
Kensington Palace Gardens dikenal sebagai "Billionaires' Row". Jalanan pribadi yang dijaga ketat, dipenuhi mansion yang harganya lebih mahal dari pulau kecil. Kediaman Lord Sterling adalah salah satu yang termegah, sebuah bangunan batu kapur abad ke-19 yang tampak seperti benteng diplomatik.
Saat Rolls-Royce Gavin memasuki gerbang, mereka melihat deretan mobil klasik dan pengawal yang berdiri kaku. Tamu-tamu lain berdatangan, para Duke, Earl, pewaris kerajaan Eropa, dan CEO perusahaan yang sudah berdiri sejak Revolusi Industri.
Ketika Gavin dan Karina turun dari mobil,
suasana hening seketika.
Karina mengenakan gaun malam beludru hitam pekat dengan potongan modern yang tajam, dipadukan dengan Kalung Zamrud Adhitama, perhiasan warisan Laksmi yang nilainya bisa membeli separuh jalan itu.
Gavin mengenakan tuksedo bespoke dari Savile Row, namun ia mengenakan pin lapel kecil berbentuk Naga Emas, simbol yang asing dan mencolok di lautan lambang Singa dan Elang Eropa.
Mereka berjalan masuk dengan kepala tegak. Tatapan para tamu bagaikan pisau. Bisik-bisik terdengar dalam bahasa Prancis dan Inggris.
"Itu mereka? Pasangan dari Jakarta?"
"Kudengar mereka baru saja menghancurkan OmniCorp. Sangat barbar."
"Uang baru selalu berisik."
Seorang pelayan tua mendekat dengan nampan perak, tetapi Gavin mengabaikannya saat melihat tuan rumah mereka.
Di ujung ballroom, berdiri Lord Alistair Sterling. Dia lebih tinggi dari yang terlihat di foto, dengan aura dominasi yang tenang. Di sampingnya berdiri seorang wanita muda berambut pirang pucat dengan tatapan yang sama dinginnya yaitu putrinya, Lady Victoria Sterling.
Sterling tersenyum, meletakkan gelas sherry-nya, dan berjalan menghampiri mereka.
Kerumunan membelah jalan untuknya.
"Tuan Adhitama," sapa Sterling, suaranya halus seperti sutra tetapi tajam.
"Dan Nyonya Adhitama. Saya senang Anda menerima undangan 'mendadak' saya.
Saya harap jam saku yang saya kirimkan sampai dengan selamat?"
"Sampai, Lord Sterling," jawab Gavin, suaranya datar. "Meskipun saya lebih suka jika barang milik keluarga saya dikembalikan secara langsung, bukan sebagai sandera diplomatik."
Beberapa tamu di sekitar mereka tersentak mendengar keberanian Gavin.
Sterling tertawa kecil, tawa yang meremehkan.
"Orang Asia selalu langsung pada intinya. Di sini, kami lebih suka berbasa-basi dulu tentang cuaca. Tapi baiklah. Mari kita bicara di tempat yang lebih pribadi. Perpustakaan saya memiliki koleksi yang sangat relevan dengan Anda."
Gavin dan Karina mengikuti Sterling menjauh dari pesta, masuk ke dalam perpustakaan raksasa yang dindingnya dipenuhi buku-buku kulit tua. Lady Victoria ikut masuk, menutup pintu di belakang mereka, memisahkan mereka dari keramaian pesta.
"Tempat yang indah," komentar Karina, matanya menyapu ruangan. "Banyak sejarah di sini."
"Sejarah adalah mata uang kami, Nyonya," kata Lady Victoria dingin.
"Tidak seperti di tempat Anda, di mana sejarah bisa ditulis ulang dengan 'Buku Putih' dan siaran pers."
Sterling berjalan ke sebuah meja antik di tengah ruangan. Di sana, tergeletak sebuah dokumen tua yang rapuh, dilindungi kaca.
"Buku Putih Anda sangat mengesankan, Tuan Adhitama," kata Sterling, membelakangi mereka.
"Mengakui suap dan korupsi masa lalu? Cerdas. Publik memaafkan korupsi keuangan. Tapi..."
Sterling berbalik, matanya berkilat berbahaya.
"Apakah publik akan memaafkan darah?"
Sterling menunjuk dokumen di meja. Gavin mendekat dan melihatnya. Itu adalah manifes kargo kapal uap tahun 1944. Daftar barang yang diangkut dari wilayah konflik di Asia Tenggara menuju Swiss, melalui perantara Inggris.
Barang yang terdaftar: "Emas Batangan (Non-Label) - 2 Ton."
Pengirim: "Perusahaan Dagang Adhitama & Co."
"Emas ini," bisik Sterling, "berasal dari tambang yang dikelola oleh pasukan pendudukan Jepang.
Tambang yang menggunakan tenaga kerja paksa. Kakek buyut Anda tidak hanya berdagang rempah-rempah, Gavin. Dia mencuci emas hasil rampasan perang untuk pihak yang kalah, lalu menyimpannya di brankas Eropa agar tidak disita Sekutu."
Gavin merasakan darahnya membeku. Ini adalah rahasia yang tidak diketahui Dharma. Atau mungkin, Dharma tahu tapi terlalu takut untuk mengakuinya. Ini bukan korupsi. Ini adalah kolaborasi perang.
"Itu tuduhan serius tanpa bukti konteks, Lord Sterling," kata Gavin kaku.
"Saya punya bukti konteksnya. Saya punya surat-suratnya. Saya punya buku besar aslinya," kata Sterling santai.
"File digital yang dicuri sepupu Anda, Julian, hanyalah peta. Saya memiliki kuncinya di brankas bawah tanah rumah ini."
"Apa yang Anda inginkan?" tanya Karina, melangkah maju di samping Gavin.
"Anda tidak mengundang kami hanya untuk pelajaran sejarah."
"Cerdas," puji Sterling. "Saya menginginkan Kota Pilar."
Gavin mengerutkan kening. "Apa?"
"Dunia lama sedang sekarat, Gavin," jelas Sterling. "Eropa kehabisan energi dan pertumbuhan. Asia adalah masa depan. Saya ingin Sterling Group menjadi mitra eksklusif 50% dalam proyek Kota Pilar dan semua proyek infrastruktur Adhitama di masa depan. Saya ingin kursi di meja Aliansi 12 Naga."
"Anda meminta saya menyerahkan separuh kerajaan saya," kata Gavin, menahan amarah.
"Atau?"
"Atau saya akan merilis dokumen ini ke Pengadilan Kejahatan Internasional dan BBC," ancam Sterling.
"Dunia akan melihat Marga Adhitama bukan sebagai visioner, tapi sebagai penjahat perang yang membangun kekayaan di atas tulang belulang pekerja paksa. Aset Anda di Eropa dan Amerika akan membeku selamanya."
"Kalian punya waktu 24 jam untuk memutuskan. Menjadi mitra junior Sterling Group, atau akan menjadi sejarah."
Keheningan menyelimuti ruangan. Ancaman itu mematikan. Namun, Karina tidak terlihat takut.
Dia malah tersenyum tipis, lalu berjalan perlahan mengelilingi meja, menyentuh jilid buku-buku tua di rak Sterling.
"Anda tahu, Lord Sterling," kata Karina santai.
"Saya selalu kagum dengan aristokrasi Inggris. Cara Anda menyimpan arsip begitu rapi."
Karina berhenti di depan sebuah lukisan besar leluhur Sterling.
"Saat kami menerima undangan Anda tadi pagi, saya meminta tim saya di YIA untuk melakukan riset kecil tentang sejarah Sterling Group. Tentu saja, sejarah Anda jauh lebih bersih daripada kami. Tidak ada emas perang. Tidak ada suap."
Karina berbalik, matanya menatap tajam ke arah Lady Victoria, lalu ke Lord Sterling.
"Tapi ada sesuatu yang menarik tentang Yayasan Amal Sterling di Afrika pada tahun 1990-an,"
kata Karina.
"Proyek air bersih yang gagal itu? Di mana desa-desa digusur paksa oleh milisi bayaran untuk membuka jalan bagi tambang berlian Sterling?"
Wajah Lady Victoria memucat sedikit. Sterling tetap tenang, tapi gelas di tangannya berhenti bergerak.
"Itu rumor lama yang sudah dibantah," kata Sterling meremehkan.
"Dibantah karena saksi kuncinya menghilang," sela Karina. "Tapi anehnya, Naga Ketiga Belas kami menemukan transaksi keuangan yang menarik. Pembayaran bulanan dari rekening pribadi Lady Victoria kepada sebuah 'perusahaan keamanan' di Sierra Leone yang terus berlanjut hingga hari ini. Itu adalah Pembayaran tutup mulut?"
Karina melangkah mendekat, kini berdiri berhadapan langsung dengan Sterling.
Tingginya kalah, tapi auranya setara.
"Anda mengancam kami dengan dosa kakek buyut kami tahun 1944? Silakan. Itu sejarah kuno. Tapi dosa Anda di Afrika? Itu terjadi di masa hidup Anda. Itu kejahatan modern."
"Kami tidak akan menyerahkan 1% pun dari Kota Pilar," tegas Gavin, berdiri di samping istrinya.
"Dan jika Anda merilis satu lembar kertas tentang emas itu, YIA akan merilis bukti pembayaran Lady Victoria ke milisi Afrika. Mari kita lihat, Lord Sterling, siapa yang akan jatuh lebih keras: Raja Asia yang mengakui masa lalunya, atau Bangsawan Inggris yang munafik?"
Sterling menatap mereka berdua. Untuk pertama kalinya, topeng ketenangannya retak. Dia melihat bahwa Adhitama bukan lagi "orang kaya baru" yang naif. Mereka adalah predator yang setara.
"Kalian bermain api di tanah asing," desis Sterling.
"Kami adalah Naga," balas Gavin. "Kami membawa api ke mana pun kami pergi."
Gavin menarik tangan Karina. "Ayo, sayang. Udaranya di sini terlalu bau masa lalu. Kita cari makan malam di tempat lain."
Mereka berbalik dan meninggalkan perpustakaan, meninggalkan Lord Sterling dan putrinya yang terdiam dalam kemarahan yang membara.
Saat mereka keluar dari mansion dan kembali ke mobil, Gavin menghela napas panjang.
Tangannya gemetar sedikit.
"Kau hanya menggertak soal bukti Afrika itu, kan?" tanya Gavin.
Karina tersenyum misterius. "Naga Ketiga Belas menemukan pola yang mencurigakan, tapi belum ada bukti konkret. Aku hanya menebak berdasarkan reaksi Lady Victoria. Ternyata tebakanku benar."
"Kau gila," Gavin tertawa, tawa lega. "Tapi sekarang kita benar-benar dalam perang. Sterling tidak akan mundur. Dia akan menyerang."
"Biarkan dia menyerang," kata Karina, menatap hujan London. "Sekarang kita tahu dia juga punya kerangka di lemari. Ini bukan lagi pemerasan. Ini adalah Mexican Standoff (jalan buntu)."