Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Ketika Semua Hal Pahit Akhirnya Punya Rasa Manis (Bagian 1)
Aku membuka pintu ruang direksi. Ruangan itu sepi tapi menggetarkan. Di ujung meja, Pak Bram duduk tegak dengan wajah yang sulit dibaca. Pak Darwis di sampingnya, tidak setegang biasanya, tapi juga tidak tersenyum.
Aku duduk. Tangan di pangkuan. Lidah nyaris kelu.
Pak Bram membuka suara lebih dulu.
“Meisya.”
“Iya, Pak.”
“Saya mendengar banyak hal tentang kamu belakangan ini. Tentang laporan keuangan. Tentang hubungan professional. Tentang gossip-gosip yang menyebar di perusahaan.”
Aku mengangguk. Bahuku kaku, punggungku lurus berlebihan dan kedua tanganku saling mencekeram di atas pangkuan. Mataku mulai panas. Tapi aku belum diizinkan bicara.
‘Oh Tuhan. Apakah ini akhirnya hari pemecatanku? Apakah aku harus berdiam diri aja dengan perlakuan tidak adil ini? Haruskah aku membocorkan orang-orang yang bermasalah? Biar nggak cuma aku aja yang kena pecat.’
“Dan saya ingin dengar dari kamu langsung. Bukan dari rumor. Bukan dari obrolan grup. Tapi dari orang yang namanya di pertaruhkan.”
Aku menarik nafas. Lalu menatap mereka berdua. Dan mulai bicara.
“Saya tidak tahu sejak kapan ini di mulai. Tapi saya tahu satu hal, Pak. Saya tidak pernah menggunakan hubungan pribadi untuk mengambil keuntungan. Semua laporan, semua lembur, semua yang saya lakukan…murni karena tanggung jawab saya sebagai leader.”
Saya tahu ada orang-orang yang tidak suka melihat saya di percaya. Tapi saya benar-benar tidak pernah menjatuhkan orang lain hanya untuk naik, Pak. Saya hanya melakukan tanggung jawab saya sesuai hak yang sudah di bayarkan perusahaan kepada saya.”
Aku berhenti sebentar. Tak ada reaksi. Tapi mereka mendengarkan.
“Kalau karena itu saya dianggap mengganggu suasana kantor…saya siap mundur. Tapi saya tidak akan mengaku salah, Pak. Karena saya tidak melakukan hal yang dituduhkan.”
Lalu aku menunduk. Diam. Menunggu kata berikutnya.
‘Kenapa mereka malah diam? Gue makin GILA!!’
Tapi beberapa saat kemudian suara Pak Bram membuatku hampir menangis, bukan karena sedih…tapi karena lega.
“Bagus.”
Aku mendongak, terkejut.
“Justru itu yang ingin saya dengar. Bahwa kamu masih percaya pada kemampuan dan integritas kamu sendiri.”
Pak Darwis menimpali, suaranya lebih hangat dari biasanya.
“Saya yang bawa kamu ke tim ini karena saya tahu kamu mampu. Dan saya lihat sendiri kamu yang paling siap setiap kali laporan di minta mendadak, kamu yang ngebut pas orang lain masih nanya template. Saya tahu kamu bukan tipikal yang cari muka.”
Pak Bram menambahkan, pelan tapi tegas.
“Kami sudah menyelidiki. Ada pola sabotase. Dan sayangnya, itu datang dari dalam. Tapi kami akan tangani itu. Sekarang kami butuh tahu, kami masih sanggup berdiri di posisi kamu?”
Aku nyaris tercekat. Antara ingin menangis karena ucapan dua orang di depan ku atau tersenyum lega karena akhirnya kebenaran menemukan jalannya. Tapi aku hanya menjawab mantap.
“Saya masih sanggup, Pak.”
“Baik,” kata Pak Bam sambil mengangguk pelan.
“Kamu tetap di posisi kamu. Dan kamu akan langsung di bawah pengawasan saya untuk sementara waktu. Kalau kamu sanggup bertahan sejauh ini…kamu pantas mendapatkan perlindungan yang sepadan.”
Aku menggagguk pelan. Kemudian pamit ke kedua orang yang sudah menunjukan kebijaksanaanya itu. Aku tidak tahan menahan air mata yang mengalir di pipiku.
‘Gue pikir gue akan di paksa menyerah oleh system yang lebih suka mendengarkan opini dari pada realita. Tapi Tuhan memang Maha Adil. Ketika semua orang memilih berpaling. Ada dua orang yang memilih melihat lebih dalam. Dan mereka adalah orang yang bisa mengubah segalanya.’
Saat aku turun ke office Accounting, aku bertemu Ana di lorong. Dia kaget melihat mataku yang merah dan sembab.
“Mbak. Lo… lo nggak di pecat, kan?”
Dia tampak khawatir dan juga panik. Dia merangkul pundakku. Berusaha mencari kata untuk menenangkan.
Tapi aku tersenyum. Menggeleng.
“Tuhan itu Adil, Na,” ucapku menepuk pundaknya dua kali kemudian melangkah pergi ke office.
**
Beberapa hari kemudian. Seluruh divisi dikumpulkan di ruang serbaguna kantor. Sebuah pengumuman mendadak dari Pak Bram sendiri disampaikan via internal Memo dengan isi:
Kepada: All divisi
Dari: Direktur PT Visual Design
Hal: Evaluasi Integritas dan Kolaborasi Internal.
Isi:
“Seluruh karyawan diminta hadir pada pertemuan pagi ini. Akan dilakukan review kinerja dan evaluasi komunikasi tim lintas divisi. Mohon siapkan dokumentasi tugas dan laporan mingguan masing-masing.
—Bram A.—Direktur.
Orang-orang mulai resah.
Chat personal dan bisik-bisik di pantry jadi lebih sibuk dari biasanya. Bahkan Mira terlihat bolak-balik ke meja printer sambil berkeringat, dan Natasha…entahlah.
Office kami berbeda jadi aku tidak tau apa yang terjadi dengannya. Sedangkan aku? Duduk diam. Mencatat apa yang perlu dibawa. Lalu meminum teh hangatku dengan tenang. Hari ini… ukan aku yang perlu gugup.
**
Di ruang serbaguna, Pak Bram berdiri di depan semua orang. Ditemani oleh HR manager, dan satu staff audit internal.
“Saya tidak akan bertele-tele,” ujar Pak Bram.
Suaranya tenang tapi menggema. “Kita bekerja bukan hanya untuk menyelesaikan tugas, tapi juga menjaga nilai-nilai kepercayaan. Beberapa bulan ini, ada dinamika yang mengganggu produktivitas. Dan setelah saya pelajari, ternyata bukan soal beban kerja. Tapi karena komunikasi dan integritas yang di salahgunakan.”
Seketika ruangan terasa lebih dingin.
“Hari ini, kami akan me-review ulang catatan komunikasi tim. Bukan hanya laporan kerja, tapi juga interaksi dalam system komunikasi internal. Termasuk, chatroom, email, dan keluhan tidak langsung yang tercatat oleh HR.”
Mira terlihat pucat. Natasha menggigit bibir.
“Saya ingin setiap orang mempertanggungjawabkan catatan dan sikap mereka. Siapa yang bekerja? Siapa yang hanya bicara? Dan siapa yang membiarkan rekannya disudutkan tanpa dasar? Semua akan terlihat. Dan izinkan saya mengingatkan…tidak ada tempat untuk permainan kotor dalam perusahaan ini.”
Setelah itu, seluruh ruangan mulai seperti semut dalam sarang yang disiram air panas. Semua buru-buru menyusun data, mengedit jejak digital, mencari pembelaan…tapi yang sudah tercatat, tidak bisa dibohongi.
Beberapa jam kemudian, audit internal mulai memanggil nama satu per satu.
Mira masuk duluan. Keluar dengan mata sembab. Di susul oleh beberapa divisi lain. Bahkan saat giliran Natasha, dia menatapku dengan wajah bukan penuh amarah lagi, tapi takut.
Jam tiga sore, suasana kantor tidak seramai biasanya. Beberapa meja kosong. Beberapa kepala tertunduk.
Audit sudah selesai.
Dan ternyata ada beberapa lagi penemuan tidak terduga, sehingga penyelidikan masih harus di lakukan lebih jauh lagi.
Aku kembali ke mejaku, membuka spreadsheet yang belum selesai. Tapi entah kenapa, hari ini angkanya tidak membuatku pusing. Malah seperti teman lama yang kuajak ngobrol. Karena beban yang menggelayut selama ini… akhirnya sedikit terangkat.
***
Sepulang kerja aku mampir ke coffee shop Mas Johan, karena pernah janji mau nyicip varian baru kopinya, tapi malah nggak jadi karena terhalang masalah kantor dan demam.
Aku datang dengan semangat seperti baru habis di charge sanpai 100%. Senyum cerah menghiasi wajah Mas Johan saat melihatku di pintu masuk.
“Gue senang melihat lo udah ceria lagi, berarti semua udah selesai?” tanyanya sambil mengarahkanku menuju ruangan di belakang konter.
“Berkat lo yang datang menjenguk gue kala sakit, Mas,” jawabku dengan nada menggoda.
Dia tertawa pelan. Kemudian menatapku beberapa detik. Lalu menyuruhku duduk.
“Gue mau minta lo buat desain label kopi dulu.” Ujarnya duduk di sebelah ku dengan laptop yang masih loading corel draw dari 2007.
Mas Johan buka folder referensi yang isinya…potongan label kopi, gambar harimau, daun-daun tropis dan satu foto dirinya sendiri dengan tulisan “100% rasa asli.”
“Mas…” aku menunjuk ke foto narsis itu.
“Hmm?”
“Kita desain label kopi, bukan bikin iklan parfum tribal.”
Dia tertawa. “Tapi bayangin, ‘Ngopi Darurat – rasa maskulin dengan hint masa kecil yang traumatis tapi dewasa.”
“Mas, itu deskripsi aroma terapi bukan biji kopi.”
Aku menepuk jidat.
‘Ternyata orang cakep juga punya banyak kekurangan. Tuhan benar-benar adil ternyata.’
Setelah dua jam mendesain dan Mas Johan sibuk menyenduh varian kopi baru yang katanya “Mengandung rempah-rempah dari dapur neneknya”, aku menyeruput satu tegukan dan langsung batuk.
“Mas, ini kopi atau rendang cair?”
“Terlalu strong, ya?” jawabnya dengan santai.
“Strong? Ini bukan kopi. Ini hasil persekongkolan ketumbar dan biji pala untuk melumpuhka lidah.”
Mas Johan malah tertawa puas. “Lo jujur banget sih. Cocok jadi co-founder ‘Ngopi Darurat.”