Tidak ada rumah tangga yang berjalan mulus, semua memiliki cerita dan ujiannya masing-masing. Semuanya sedang berjuang, bertahan atau jutsru harus melepaskan.
Seperti perjalanan rumah tangga Melati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Sambil menunggu hari kelahiran bayi laki-lakinya, mulai hari ini Viola sudah praktik di klinik teman semasa kuliahnya yang cukup besar dengan perlengkapan yang memadai.
"Kenapa Dokter Karim tidak praktik di sini?."
"Sesekali aku praktik di sini karena aku masih ada pekerjaan di rumah sakit lain."
"Oke."
"Aku harap Dokter Viola betah praktik di sini dan tentu saja semoga tidak mengganggu kehamilannya."
"Tenang saja, Dokter Kareem, aku masih sehat bugar. Kehamilanku sangat bersahabat."
"Oke, selamat bertugas, Dokter Viola."
"Terima kasih, Dokter Karim."
Viola tersenyum lebar, dia sangat suka dengan ruangan praktiknya. Karim memang dikenalnya sangat kaya, loyal dan baik.
Pasien pertamanya sudah masuk dan langsung konsultasi. Mengeluhkan sakit yang dialaminya sudah lebih dari dua bulan. Viola sudah sangat hafal dengan gejala-gejala yang diceritakan pasien hingga dengan mudah dia memberikan obat yang dibutuhkan sesuai dengan sakit si pasien.
Cukup ramai keadaan klinik sampai sore, ada sekitar dua belas pasien yang ditanganinya. Viola sangat bahagia karena ini memang pekerjaannya, cita-cita yang mampu diwujudkannya setelah melewati liku. Namun semuanya terbayar mahal dengan gelar yang dimilikinya sekarang. Menjadi kebanggaannya.
Setidaknya hari ini dia sangat happy karena tidak melihat Lili dan Sakura yang sangat membuatnya pusing tujuh keliling. Dengan pekerjaan ini pikirannya lebih sehat.
Ponsel Viola berbunyi pada saat dia akan meninggalkan ruangan. Kemudian dia duduk lagi di kursi kebesarannya karena akan ditunjukkannya kepada Yunita.
"Halo, Vi."
"Ada apa?."
"Pasti kamu tidak akan menyukainya."
"Tenang apa?."
"Melati."
Viola menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan-lahan. Lumayan sedikit lebih tenang dan siap mendengarkan Yunita.
"Katakan saja."
"Semenjak perusahaan dipimpin Melati, sudah banyak keuntungan yang didapatkan. Perusahaan-perusahaan besar banyak yang bekerja sama dengan Melati. Dan perusahaan suamiku yang kena imbasnya, harus benar-benar bangkrut karena kalah bersaing. Anak-anakku harus keluar sekolah dari sekolah elit itu dan aku harus mulai bekerja untuk mencari uang untuk membantu suamiku."
Viola memegangi dadanya yang sesak kemudian dia pun memutus sambungan teleponnya. Padahal dia ingin sekali menunjukkan klinik tempatnya praktiknya. Tapi sekarang dia kesulitan bernapas karena keberhasilan Melati.
Dia harus memikirkan rencana susulan untuk menghancurkan Melati. Sepertinya kemarin bukan keputusan tepat yang diambilnya. Seharusnya dia memenjarakan Melati sampai membusuk di penjara.
Pikirannya masih sangat kacau, dia langsung ke kamar saat tiba di rumah. Melewati Mas Kalingga yang duduk di sofa sambil memangku laptopnya.
Lima menit kemudian Viola keluar lagi dan langsung berdiri di hadapan Mas Kalingga.
"Pasti kamu senang melihat keberhasilan Melati."
"Kamu tidak lihat aku sedang bekerja," tetap fokus pada pekerjaannya.
"Itu hanya alasan kamu saja, Mas. Tapi sebenarnya kamu mengikuti perkembangan perusahaan di tangan Melati. Iya 'kan?." Sambil merampas laptop dari pangkuan Mas Kalingga. Lalu mulai membuka setiap folder dan penelusuran terakhir di pencarian Mas Kalingga.
Viola sangat kesal karena tidak menemukan apa yang dicarinya tapi entah kenapa dia begitu yakin kalau suaminya mengikuti semua perkembangan perusahaan yang sekarang dipegang Melati.
"Kamu sembunyikan di mana, Mas?." Teriaknya sambil melemparkan laptop. Emosinya menjadi sangat tidak terkontrol.
Mas Kalingga bangkit namun bukan untuk meladeni emosi Viola yang meledak tapi dia memungut laptop karena semua pekerjaannya ada di sana. Untung saja masih aman karena jatuhnya di atas karpet bulu.
"Mas!" teriak Viola.
Lalu Mas Kalingga menatapnya.
"Pada akhirnya kamu juga tidak bahagia hidup bersamaku, Vi. Aku tidak bisa memenuhi ekspektasimu. Jadi untuk apa kita mempertahankan pernikahan yang memang tidak membawa kebahagiaan untuk kita?." Setelah mengatakan itu Mas Kalingga pergi ke ruangan yang dijadikannya tempat untuk bekerja atau menyendiri.
Sambil memegangi dada yang terasa sesak dia duduk di sofa. Benar apa yang dikatakan Mas Kalingga. Dia pun tidak bahagia dalam pernikahan ini. Tapi itu semua karena Melati dan anak-anaknya.
Hatinya masih sangat mencintai Mas Kalingga, dia menginginkan hidup yang bahagia dan tenang dengan Mas Kalingga. Dia hanya mencintai sosok Mas Kalingga, tidak ada yang lain.
"Semua yang sudah aku lakukan jangan sampai sia-sia. Kalau Melati dan anak-anaknya tidak ada, pasti Mas Kalingga akan kembali mencintaiku dengan utuh." Batinnya.
Kebencian sudah menutup mata hati Viola, jadi dia menghalalkan segala cara untuk membuat hidupnya bahagia. Mas Kalingga, tujuan utama hidupnya.
*
Mas Kalingga menatap undangan dari salah satu kliennya untuk menghadiri seminar yang memang sangat dibutuhkannya untuk membangun bisnisnya yang sekarang.
Jika dia menghadiri seminar itu, kemungkinan besarnya dia akan bertemu dengan Melati. Hal yang masih sangat dihindarinya.
Kemudian Mas Kalingga menjawab panggilan telepon dari istrinya.
"Ada apa, Vi?."
"Aku ikut kalau Mas Kalingga menghadiri seminar."
"Iya, kamu dan anak-anak aku bawa."
"Oke."
Mas Kalingga menyibukkan diri lagi dengan pekerjaannya. Rencana ke depannya dia harus membuat besar bisnis almarhum Bapak.
Mas Kalingga, Viola dan anak-anak sudah menempati kamar hotel yang disediakan kliennya untuk menjamu semua peserta seminar.
Lili dan Sakura menempati kamar yang berbeda dengan Mas Kalingga dan Viola. Jadi mereka berdua leluasa untuk melakukan apapun di sana.
"Kakak dengar tadi kata Tante Viola?."
"Iya, Kakak mendengarnya."
"Tapi apa yang akan kita lakukan kalau bertemu Mama."
"Kakak akan memeluknya," mata Lili berkaca-kaca.
"Tapi bagaimana kalau Papa mengetahuinya?."
"Kakak tidak peduli."
Sakura mengangguk.
Ponsel Sakura berdering, dia langsung tersenyum lebar.
"Mbak Kakung."
"Mama hadir juga di acara seminar."
"Aku mau menemuinya, Mbah Kakung."
"Temui saja, Mama kalian ada di kamar 1979."
"Terima kasih, Mbah Kakung."
Sakura dan Lili segera keluar dengan hati-hati, jangan sampai Viola atau Papanya mengetahuinya.
Sakura dan Lili sudah berada di depan kamar Mama mereka. Tangan gemetar Lili menekan bel cukup lama karena tidak ada respon juga dari dalam kamar.
"Mungkin Mama sedang pergi, Kak."
"Mungkin juga, nanti kita coba ke sini lagi."
Baru juga Sakura dan Lili balik badan untuk pergi dari sana, tiba-tiba saja pintu kamar terbuka. Otomatis Lili dan Sakura balik badan lagi dan mereka menemukan sesosok yang sangat dirindukan.
"Kak Lili, Dek Sakura."
"Mama!." Mereka berlari ke arah Melati dan langsung menubrukkan badan mereka ke Melati. Mereka berpelukan sangat erat. Momen yang yang sudah sangat mereka nantikan.
"Mama sangat merindukan kalian."
"Aku juga sangat merindukan, Mama." Sakura dan Lili menangis bahagia. Mereka juga sangat merindukan Melati.
Lalu kemudian Melati membawa kedua anaknya masuk dan mereka bicara di dalam. Melati kalah cepat sehingga Lili dan Sakura yang sudah menciumi wajahnya terlebih dahulu.
"Terima kasih sudah memakai hijab terus," barulah sekarang kesempatan Melati mencium wajah Lili lalu Sakura.
"Iya, karena aku sayang Mama dan Papa."
Sakura dan Lili memeluk Melati lagi.
Ponsel Lili bergetar, mereka pun melepas pelukan.
"Papa," Lili menatap layar ponselnya.
Bersambung