Citra Asmarani Mahardi, siswi culun berkacamata tebal, selalu berusaha hidup biasa-biasa saja di sekolah. Tak ada yang tahu kalau ia sebenarnya putri tunggal seorang CEO ternama. Demi bisa belajar dengan tenang tanpa beban status sosial, Citra memilih menyembunyikan identitasnya.
Di sisi lain, Dion Wijaya—ketua OSIS yang tampan, pintar, dan jago basket—selalu jadi pusat perhatian. Terlebih lagi, ia adalah anak dari CEO keturunan Inggris–Thailand yang sukses, membuat namanya makin bersinar. Dion sudah lama menjadi incaran Rachel Aurora, siswi populer yang cantik namun licik, yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan hati Dion.
Saat Citra dan Dion dipaksa bekerja sama dalam sebuah proyek sekolah, Dion mulai melihat sisi lain Citra: kecerdasannya, kesabarannya, dan ketulusan yang perlahan menarik hatinya. Namun, semakin dekat Dion dan Citra, semakin keras usaha Rachel untuk menjatuhkan Citra.
Di tengah persaingan itu, ada Raka Aditya Pratama—anak kepala sekolah—yang sudah lama dekat dengan Citra seperti sahabat. Kedekatan mereka membuat situasi semakin rumit, terutama ketika rahasia besar tentang siapa sebenarnya Citra Asmarani mulai terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembalasan Seorang Ayah
Malam itu rumah keluarga Mahardi terasa tenang. Dari jendela kaca besar, lampu kota berkilau seperti permata. Di ruang kerja pribadinya, Tuan Mahardi tengah membaca laporan bisnis, ketika ponselnya bergetar. Nama Dirman muncul di layar.
Dengan suara tenang tapi tegas, ia mengangkat.
“Ya, Dirman, ada apa malam-malam begini?”
Di seberang, suara sopir kepercayaannya terdengar hati-hati.
“Mohon maaf, Tuan. Saya hanya merasa perlu melapor. Non Citra tadi pulang dari ospek… kondisinya kotor penuh lumpur. Bukan sekali ini saja, Tuan. Kemarin pun sama.”
Tuan Mahardi berhenti membaca. Alisnya terangkat, sorot matanya berubah dingin. “Penuh lumpur, kau bilang?”
“Iya, Tuan. Sepertinya… ada yang tidak beres. Non Citra tidak banyak bicara, tapi dari raut wajahnya saya yakin dia sedang menahan sesuatu.”
Keheningan melingkupi ruangan. Tuan Mahardi menatap keluar jendela, lalu bangkit dari kursinya. Langkahnya berat namun mantap.
“Terima kasih, Dirman. Jangan katakan pada Citra kalau kau sudah melapor. Biar Papi yang cari tahu.”
Setelah menutup telepon, ia berjalan ke rak buku, mengambil satu botol kecil dari minibar dan menuangkan ke gelas kristal. Tatapannya dalam, penuh perhitungan.
Anakku bukan tipe yang mudah mengeluh. Kalau sampai pulang dalam keadaan begini… berarti ada yang mencoba merendahkannya. Dan siapa pun itu… akan menyesal.
Pagi itu ruang makan keluarga Mahardi terasa hangat. Meja panjang marmer sudah tertata rapi dengan sarapan elegan—croissant, omelet, buah segar, dan segelas jus jeruk.
Citra duduk berhadapan dengan sang ayah, masih mengenakan seragam sekolah yang baru, rambut terurai rapi hasil tangan Bi Yanti. Tuan Mahardi menatap putrinya sambil menyendok omelet dengan tenang.
“Cit,” ucapnya pelan namun mantap, “ospek kamu kemarin… berjalan baik?”
Citra sedikit terdiam, sendoknya berhenti di udara. “Baik, Pi… ya, lumayan capek aja.”
Tuan Mahardi mempersempit tatapan. “Capek? Atau ada yang buat kamu sengaja dipermalukan?”
Citra menunduk, jari-jarinya memainkan sendok. Sejenak ia ragu, tapi akhirnya berkata lirih, “Ada kakak kelas yang… agak keterlaluan, Pi. Namanya Dion.”
“Dion?” ulang Tuan Mahardi, meneguk pelan kopinya. Ia lalu membuka catatan di tablet kerjanya, mencari sesuatu. Beberapa detik kemudian, alisnya terangkat.
“Dion Wijaya?” gumamnya.
Citra mengangguk pelan. “Iya, Pi. Kayaknya begitu. Dia ketua OSIS.”
Tuan Mahardi menatap layar tablet dengan sorot tajam. “Wijaya… itu nama keluarga pemilik Wijaya Corporation. Partner bisnis yang baru menandatangani kontrak kerja sama strategis dengan perusahaan kita minggu lalu.”
Citra terkejut, menoleh pada ayahnya. “Serius, Pi? Jadi… dia anak pengusaha itu?”
“Menarik sekali. Anak dari partner bisnis Papi… berani-beraninya menyentuh putriku.” Tuan Mahardi menyandarkan tubuh, menyatukan jemari di depan wajahnya.
Udara di ruang makan mendadak berat. Citra menelan ludah, merasa ayahnya sedang menyusun rencana.
“Cit,” suara Tuan Mahardi lebih rendah, dingin, “mulai hari ini kamu tidak perlu takut. Siapa pun yang merendahkanmu… akan berhadapan langsung dengan Mahardi.”
Siang itu sekolah sedang libur karena ospek telah selesai. Citra akhirnya bisa sedikit bernapas lega. Ia memilih menghabiskan waktu bersama Afifah dan Kiara di pusat perbelanjaan mewah di bilangan Jakarta.
“Cit, akhirnya ya libur sehari. Gue udah nggak kuat disuruh lari-lari sama senior,” keluh Afifah sambil memeluk lengannya.
“Iya bener. Hari ini kita healing aja. Gimana kalau nonton film baru itu? Katanya lagi trending banget.” Kiara tertawa kecil.
“Boleh! Udah lama aku nggak nonton bioskop.” Citra mengangguk antusias.
Mereka bertiga pun masuk ke mall, naik eskalator sambil bercanda. Penampilan Citra sederhana tapi tetap anggun—kaos putih, rok plisket biru, dan tas kecil di bahu. Senyum polosnya membuat beberapa orang menoleh, meski ia tak menyadarinya.
Sementara itu, di waktu yang sama, di kantor pusat perusahaannya, Tuan Mahardi sedang duduk di ruang kerja dengan Surya, asistennya.
“Surya, pastikan laporan tentang anak ini segera ada di meja saya sore nanti,” ucap Tuan Mahardi sambil menyodorkan tablet berisi foto Dion Wijaya.
“Baik, Tuan. Kami sudah mulai menelusuri data akademik dan catatan perilakunya di sekolah.”
“Bagus,” jawab Mahardi dingin, matanya menyipit penuh perhitungan. “Aku tidak ingin Citra diganggu. Kalau anak itu keterlaluan… keluarganya juga harus belajar arti disiplin.”
Di mall, Citra dan kedua sahabatnya baru selesai membeli tiket. Mereka tertawa saat membawa popcorn besar dan minuman bersoda.
“Cit, akhirnya kita bisa nonton bareng. Lo jangan kebanyakan bengong mikirin ospek kemarin ya. Hari ini pokoknya happy!” ujar Kiara sambil merangkulnya.
Citra tersenyum tipis. “Iya, gue usahain. Thanks ya kalian udah selalu ada buat gue.”
Mereka pun masuk ke studio, sementara di luar sana, dunia dewasa—ayahnya dan bisnis besar—sedang mulai mengutak-atik nama Dion Wijaya tanpa sepengetahuan Citra.
Film selesai, suasana hati Citra jauh lebih ringan. Ia, Afifah, dan Kiara berjalan keluar studio sambil masih membahas jalan cerita film yang baru ditonton.
“Gila, gue nggak nyangka ending-nya bakal kayak gitu!” seru Afifah, masih terheran-heran.
“Makanya tadi gue bilang, plot twist-nya mindblowing kan,” sahut Kiara sambil tertawa.
Mereka bertiga lalu masuk ke sebuah café di dalam mall. Interiornya cozy, dengan lampu temaram dan wangi kopi bercampur vanilla.
Citra duduk di kursi sofa empuk, memesan matcha latte, sementara Afifah dan Kiara masing-masing memesan iced coffee dan taro latte.
“Rasanya enak banget bisa santai gini, tanpa harus mikirin senior-senior nyebelin,” ujar Citra sambil tersenyum kecil.
“Betul! Liburan mini banget ini,” tambah Kiara.
Saat mereka tengah bercanda, mata Afifah tiba-tiba membelalak.
“Eh, Cit, itu bukannya Kak Dion sama Kak Rachel?” bisiknya sambil menunjuk ke arah pintu masuk café.
Citra spontan menoleh. Benar saja, Dion dan Rachel masuk berdua. Rachel mengenakan dress hitam elegan dengan jaket tipis, sementara Dion tampil kasual dengan kemeja biru dan celana jeans.
Dari cara Rachel merangkul lengan Dion, jelas sekali mereka sedang date.
Citra sontak terdiam, matanya menunduk cepat. Hatinya sedikit tercekat, meski ia berusaha menutupi perasaan itu.
Kiara mengerutkan dahi. “Nih orang, masih aja lengket kaya lem. Padahal waktu ospek kemarin…”
“Udah, jangan dibahas, Kita di sini buat happy, inget?” potong Citra cepat, pura-pura tersenyum.
Namun diam-diam, Dion yang baru masuk café juga melirik ke arah meja mereka. Tatapannya singkat tapi dalam, seakan tak senang melihat Citra bersama sahabat-sahabatnya.
Rachel, yang menyadari hal itu, langsung menggenggam lengan Dion lebih erat.
Suasana café yang tadinya hangat tiba-tiba berubah aneh ketika Dion dan Rachel berjalan melewati meja Citra.
Citra menunduk dalam, pura-pura sibuk mengaduk matcha latte-nya. Kiara menggigit bibir, menahan komentar pedas yang sudah ada di ujung lidah.
Sementara Afifah melirik sekilas, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan ke arah luar jendela.
Dion sebenarnya melihat mereka, tapi ia memilih melangkah lurus, memasang wajah datar seolah tidak mengenal. Hanya saja, matanya sempat menatap Citra sekilas—singkat, dingin, tapi cukup membuat dada Citra terasa sesak.
Rachel, yang menyadari arah pandangan Dion, langsung menarik kursinya dan duduk berhadapan dengannya dengan gaya angkuh. Ia tertawa kecil, sengaja meninggikan suara saat berbicara.
“Dion, sini coba cobain menu ini. Katanya spesial buat pasangan, lho,” ucap Rachel setengah keras, seakan ingin memastikan Citra mendengar.
Afifah menggeram pelan. “Ih, sombong banget ni cewek.”
Kiara berbisik, “udah, biarin. Jangan kasih dia kemenangan.”
Citra menarik napas dalam, berusaha tetap tenang. “Gak apa-apa. Kita fokus sama kita aja. Anggap mereka nggak ada.”
Namun, tangan Citra yang menggenggam gelas bergetar sedikit, tak luput dari perhatian sahabat-sahabatnya.
Di sisi lain, meski mulut Dion tersenyum tipis mendengarkan Rachel, tatapannya beberapa kali mencuri arah ke meja Citra.
Ada sesuatu yang tak bisa ia kendalikan—antara rasa bersalah, gengsi, dan dendam—membuat suasana café yang ramai itu terasa sesak dan penuh ketegangan tak terlihat.
*
*
*
*