Bagi Dira pernikahan adalah sebuah mimpi indah. Dira tak menyangka pria yang tiba-tiba mau menikahinya di hari pernikahan, disaat calon suaminya menghilang tanpa jejak, ternyata menyimpan dendam masa lalu yang membara.
Denzo tak menikahinya karena cinta melainkan untuk balas dendam.
Namun, Dira tidak tahu apa dosanya hingga setiap hari yang ia lalui bersama suaminya hanya penuh luka, tanya dan rahasia yang perlahan terungkap.
Dan bagaimana jika dalam kebencian Denzo, perlahan tumbuh perasaan yang tidak ia duga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ars Asta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
"Jadi kamu gimana saat di Amerika?" Dira memegang tangan Nasya.
Dua wanita itu sedang duduk di ruang tengah, suara jam dinding besar terdengar samar dari suara wanita itu yang sedang berbincang.
"Ya biasa aja sih, aku punya beberapa teman tapi mereka nggak kayak kamu," jawab Nasya.
Mereka tersenyum kecil. "Kalau kamu gimana pas aku tinggal ke luar negri?" Wanita itu balik bertanya.
"Ya cukup kesepian awalnya tapi lama-lama aku ketemu temen baru, tapi nggak kayak kamu juga," Dira tertawa saat ia mengikuti kata Nasya.
Wanita itu ikut tertawa. "Jelas dong, yang kayak aku cuma satu."
Suara tawa mereka terdengar oleh beberapa pelayan.
Nasya mencondongkan tubuhnya ke arah Dira. "Aku mau nanya dong, gimana kamu bisa nikah sama kak Denzo?"
Dira menghela napas pelan."Ceritanya panjang."
"Aku siap dengerin," timpal Nasya.
"Aku nikah sama Mas Denzo karena dia jadi mempelai pengantin. Sebenarnya aku tidak menikah dengan Denzo, aku punya pacar..." Mata Dira berkaca-kaca.
"Dan pada hari pernikahan kita, dia menghilang beserta keluarganya. Keluarga ku panik pas itu terjadi." jelas Dira. Tatapan kecewa terlihat di matanya.
"Kami sudah coba mencari dan menghubunginya, tapi mereka benar-benar hilang tanpa jejak. Disaat keluarga ku udah nyerah dan akan mengumumkan pembatalan pernikahan. Denzo datang...dia menawarkan diri menjadi mempelai prianya. Dan karena keadaan yang mendesak, keluarga ku menerima dan aku menikah dengan Mas Denzo," lanjut Dira dengan suara pelan.
"Ini semua pasti rencana Kak Denzo," ucap Nasya dalam hatinya.
"Jadi kamu tidak kenal dengan Mas Denzo sebelumnya?" Nasya menggenggam tangan Dira seolah menguatkan.
Dira menggeleng. "Tidak, aku bahkan baru tahu namanya setelah menikah."
"Jadi seperti itu," timpal Nasya melepas genggaman tangannya pada tangan Dira, ia juga menjauhkan tubuhnya.
Kenapa menikahi Dira harus ada dalam rencananya sih, Kak Denzo cuma punya aku, dan aku ngga terima pria yang ku cintai menikah dengan orang lain.
Nasya tanpa sadar meremas tangannya. Wajahnya juga terlihat kesal.
"Kenapa?" tanya Dira saat Nasya diam.
"Gapapa," Wanita itu buru-buru merubah ekspresi, tersenyum dengan palsu.
"Oh iya, aku juga nggak nyangka kamu saudara jauh Mas Denzo."
"Hahaha iya, aku kan nggak pernah bilang sama kamu."
"Nggak nyangka banget ya, kita jadi keluarga sekarang, dunia memang sempit banget." Dira mengambil cangkir tehnya lalu meneguknya.
"Iya." Nasya menatap malas pada Dira saat wanita itu tak melihat ke arahnya.
Iya dunia terlalu sempit sampai-sampai kamu yang katanya sahabat malah menikah dengan orang yang ku cintai. Awas saja aku akan buat kamu menderita Dira. Aku akan buat kamu makin dibenci Kak Denzo.
Nasya tersenyum miring.
Waktu berlalu cepat, obrolan mereka berjalan sampai jam 10 malam, Nasya berusaha bersikap baik pada Dira. Wanita itu tidak menyadari kelicikan sahabatnya.
Sementara itu, di ruangan yang gelap dan dingin Denzo berada, lampu ruang kerjanya sengaja ia matikan.
Asap rokok mengepul di udara, satu batang rokok berada di tangannya, ia menghisap dengan pandangan dinginnya.
Brak!
Pria itu berdiri dengan kesal melempar guci yang ada di rak didekatnya. Suaranya terdengar nyaring. Benda itu menghantam lantai dengan keras hingga pecahannya berceceran di lantai.
"Sial! Bukti yang aku dapat tidak cukup untuk menghukum wanita itu," teriak Denzo dengan urat leher yang menonjol dan mata yang memerah.
Nafasnya tersengal-sengal dengan tangan yang mengepal kuat, wajahnya memerah karena emosi.
Denzo sangat tidak puas dengan rekaman CCTV yang Nasya perlihatkan padanya. Awalnya ia mengira wanita itu punya bukti yang lebih kuat tapi ternyata ia salah, bukti itu tak cukup dan dia butuh yang lebih.
Dengan amarah yang masih meluap, ia menyambar ponselnya di atas meja. Nomor sekretarisnya ia panggil.
Suara terhubung terdengar, pria itu membawa ponsel ke telinganya.
"Rei." Suara Denzo serak penuh emosi.
"Iya, Tuan." Terdengar suara Rei takut mendengar suara Tuannya.
"Bagaimana yang kuperintahkan?"
"Maaf tuan, saya belum menemukan apapun." Rei berbicara dengan gugup dari seberang telpon.
"Bodoh! Hampir satu minggu tapi kau belum menemukan apapun," hardik Denzo, ia meremas ponselnya.
"Ma-af, Tuan." Sekretaris Rei sangat takut dengan kemarahan Tuannya.
Denzo menarik napas panjang. "Carikan aku info dimana Ares berada, sepertinya dia lebih berguna daripada kau." Suara dingin Denzo menyindir sekretarisnya.
"Baik, Tuan."
Pria yang sedang membara amarahnya itu langsung mematikan sambungan telepon.
Suara tawa getir bercampur marah terdengar mengisi ruangan gelap dan dingin itu.
"Sepertinya aku memang butuh bantuannya," ucapnya dengan suara napas berat di sela tawa getirnya.
Denzo ingin masalah ini cepat selesai, karena ia takut perasaan yang tanpa sadar ia miliki membuat kalah rasa benci dan dendamnya.
