Lady Seraphine Valmont adalah gadis paling mempesona di Kekaisaran, tapi di kehidupan pertamanya, kecantikannya justru menjadi kutukan. Ia dijodohkan dengan Pangeran Pertama, hanya untuk dikhianati oleh orang terdekatnya, dituduh berkhianat pada Kekaisaran, keluarganya dihancurkan sampai ke akar, dan ia dieksekusi di hadapan seluruh rakyat.
Namun, ketika membuka mata, ia terbangun ke 5 tahun sebelum kematiannya, tepat sehari sebelum pesta debutnya sebagai bangsawan akan digelar. Saat dirinya diberikan kesempatan hidup kembali oleh Tuhan, mampukah Seraphine mengubah masa depannya yang kelam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celestyola, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kematian Mendadak
...**✿❀♛❀✿**...
Sehari setelah Seraphine pergi ke pasar dan melihat sosok Clarisse, sebuah kabar duka segera merebak di seluruh Kekaisaran, menghantam benak tiap orang hingga terasa menyesakkan.
Ketika menara lonceng dibunyikan terus-menerus, semua orang tahu.
Bahwa ... Kaisar mereka telah tiada.
Kini, seluruh bangsawan telah berada di Istana. Tak perduli ia tua ataupun muda, semuanya berkumpul untuk mengantar kepulangan dari sosok yang selama ini telah mengabdikan diri sepenuhnya untuk negeri.
Meninggalkan kesedihan mendalam bagi setiap insan yang menyayanginya.
Semua orang tertunduk, mendengar dentang lonceng duka yang masih menggema tanpa henti. Suasana di aula agung istana begitu tebal dengan kepedihan.
Lantunan doa terdengar menggema, bercampur dengan isakan tertahan para pelayan dan rakyat yang diizinkan masuk untuk memberikan penghormatan untuk terakhir kalinya.
Di antara barisan bangsawan yang berderet rapi, Frederick berdiri dengan kaku. Kedua tangannya mengepal begitu erat hingga buku jarinya memutih.
Ketika kabar ini sampai padanya, tubuhnya seolah tersambar petir di siang hari. Lagi, orang yang begitu ia sayangi pergi meninggalkannya seorang diri.
Pandangannya terpaku pada peti kayu hitam yang diletakkan di tengah aula, dikelilingi cahaya ratusan lilin. Nafasnya terasa berat, dadanya sesak, seolah separuh jiwanya ikut runtuh bersama kepergian ayahandanya.
“Yang Mulia…” Virrel berbisik, mencoba menenangkannya. Namun Frederick hanya menoleh sekilas, sorot matanya dingin dan penuh luka, ia menolak dihibur.
Bagi Frederick, sang Kaisar bukan hanya sosok ayah, melainkan juga panutan—sosok yang selama ini ia hormati dan sayangi dengan segenap jiwa.
Ia masih bisa merasakan genggaman hangat tangan kokoh itu, nasihat yang tegas namun penuh kebijaksanaan, juga tatapan tajam yang selalu membimbingnya melangkah.
Kini ... semua itu hilang.
Kenapa? Kenapa sang Ayah tiba-tiba pergi seperti ini?
Mata Pria itu memburam, seiring dengan dadanya yang kian sesak, untuk pertama kalinya sejak sang ibu tiada, Frederick kembali menjatuhkan air mata, mengantar kepergian sang tercinta.
Tangannya mengepal erat, mencoba menahan gejolak emosi di dadanya. Benaknya bergumam, tak mungkin sang Ayah pergi mendadak seperti ini tanpa penyebab yang pasti.
Sedangkan di sisi lain, Seraphine berdiri di antara kerumunan bangsawan yang berduka, gaun hitamnya berdesir pelan diterpa angin yang masuk dari jendela kaca patri aula besar.
Namun yang membuat tubuhnya benar-benar kaku bukan hanya kepergian Kaisar—melainkan kenyataan bahwa segalanya kini telah bergeser.
Dalam ingatannya, dalam kepingan masa depan yang pernah ia ketahui, Kaisar tidak seharusnya pergi secepat ini. Kematian itu baru datang bertahun-tahun kemudian, ketika dirinya telah lama menjadi tunangan Putra Mahkota, setelah ia menanggung beban empat tahun lamanya di sisi pria itu.
Tetapi sekarang… sekarang segalanya berubah. Kaisar berpulang lebih cepat.
Seraphine terdiam, pandangannya kosong menatap peti hitam megah di tengah aula. Jari-jarinya bergetar, menggenggam erat kipas lipat yang sejak tadi ia pegang hanya untuk menutupi kegelisahannya.
"Bagaimana bisa? Mengapa waktunya berubah? Apa aku telah melakukan kesalahan hingga segalanya terjadi lebih cepat? Tapi apa yang salah?" Gumam Seraphine sembari menunduk.
Kepalanya berdenyut, pikirannya bercampur aduk, dan suara di sekelilingnya seakan lenyap tertelan kabut. Ia bahkan tak sadar ketika salah seorang bangsawan menegurnya pelan, menyuruhnya melangkah maju memberi penghormatan terakhir.
Hatinya semakin diliputi rasa takut. Jika masa depan telah berubah, maka segala hal yang ia ketahui. Segala keuntungan, segala strategi yang selama ini ia simpan, kini tak lagi pasti. Ia tidak lagi memiliki peta yang jelas untuk berjalan.
Seraphine menggigit bibirnya, menunduk semakin dalam.
“Kalau Kaisar wafat lebih cepat, berarti Putra Mahkota akan segera naik takhta. Dan itu… itu akan mengubah segalanya."
Gadis itu hampir kehilangan keseimbangannya, tubuhnya berguncang kecil. Rasa dingin menjalar dari jemarinya hingga ke dada. Ia bukan hanya sedang berduka, ia sedang dilanda ketakutan pada masa depan yang kini berkemungkinan telah berubah sepenuhnya.
Seraphine tahu, sejak detik ini ia harus berjalan di jalan yang lebih gelap, lebih tak terduga, tanpa lagi bisa mengandalkan kenangan masa depan yang dulu ia yakini.
Seraphine menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Namun semakin ia mencoba, semakin pikiran gelap menelusup ke dalam kepalanya.
"Apa penyebab kematian sang Kaisar? Apa memang benar beliau meninggal karena sakit?" Gumamnya bertanya-tanya.
Kaisar yang ia kenal—meski keras dan dingin—selalu tampak sehat. Tubuhnya masih kuat, wibawanya tetap berdiri tegak. Tak pernah sekalipun ada kabar bahwa kesehatannya menurun drastis.
Bahkan beberapa pekan lalu, masih terdengar kabar bahwa Kaisar masih memimpin sidang agung dengan suara lantang, menegur para bangsawan yang lalai. Bagaimana mungkin hanya dalam sekejap ia wafat?
Pandangan Seraphine melirik sejenak ke arah Putra Mahkota yang berdiri di sisi peti. Ekspresinya datar, bahkan terlalu datar untuk seorang anak yang baru kehilangan ayahnya.
Tidak ada sembab di mata, tidak ada raut kesedihan yang tulus. Begitu pula sang Permaisuri. Hanya sedikit kepiluan yang ditunjukkan di depan umum—seakan sekadar formalitas belaka.
Hatinya merinding.
Sebuah pemikiran liar seketika menelusup cepat ke dalam benaknya.
"Apakah mereka… yang mempercepatnya?"
Pertanyaan itu menghantam batinnya, membuat bulu kuduknya berdiri. Ia tahu betul, perebutan takhta adalah permainan berdarah yang penuh intrik. Dan kini, Kaisar yang begitu berkuasa lenyap tanpa tanda-tanda melemah sebelumnya.
Seraphine menggenggam erat kipasnya, hampir meremukkannya.
Pikirannya melayang pada masa depan yang dulu ia ketahui. Kaisar bertahan cukup lama sehingga banyak peristiwa politik berjalan sebagaimana mestinya.
Tapi kini, jalur itu dipangkas. Seolah ada tangan tak terlihat yang menggeser bidak catur lebih cepat ke tengah papan.
"Jika benar ini permainan politik… maka Kami benar-benar sudah terdesak."
Sebuah kengerian merambati tubuhnya. Jika Putra Mahkota dan Permaisuri benar terlibat, maka itu berarti musuh-musuhnya lebih licik dan lebih berbahaya dari yang ia bayangkan.
Dan Seraphine sadar, ia harus segera memilih langkah berikutnya, ia harus bertahan sembari menyelidiki penyebab kematian Kaisar, atau jika tidak, ia akan terhempas bahkan sebelum dirinya sempat bergerak.
...**✿❀♛❀✿**...
...TBC...
bikin dadas dikit thur creakter ceweknya biar semangat bacanya
ya sampah
bisa buat sedikit badas biar semangat bacanya😂😅