Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.
Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.
Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bermain Maut
"Kalian ngerasa nggak? Akhir-akhir ini kita sering kena sial gegara abis jailin si Ratna," ucap Bobi.
"Itu anak emang patut dicurigai," timpal Kevin. Saat jam istirahat, ia, Bobi, dan Kila duduk di salah satu meja kantin dekat taman. Area sekitar cukup sepi, orang-orang yang hilir mudik ke stand makanan tidak terlalu banyak, membuat mereka bebas berbincang-bincang.
"Kemarin Vani, sekarang… jangan sampai Agam kena sial juga lebih dari ini. Kita kayaknya kudu punya penangkal secepatnya, Kev," ucap Bobi lagi.
"Ya tapi apa?" Kevin mengangkat alis.
"Bukannya kemarin lu bilang punya kenalan orang pintar?"
"Itu buat ngegertak dia doang. Tapi ternyata percuma aja karena Agam malah kena. Emang sial tuh anak," maki Kevin.
Tanpa ketiga orang itu sadari, Ratna mengintip dari balik jajaran pohon dekat kantin. Detak jantungnya mendadak tak karuan. Panik dan cemas, ia bertanya-tanya apakah kejadian yang menimpa Vani dan Agam ada kaitannya dengan dirinya, lewat tulisan di diary hitamnya.
Ratna pun memilih mundur, melangkah kembali ke kelas. Niatnya membeli sesuatu di kantin urung dilakukan.
Sementara itu, percakapan Kevin, Bobi, dan Kila masih berlanjut.
"Tapi… kalau misal ini gara-gara si Ratna, kenapa baru sekarang? Kita udah sering jailin dia dari dulu, tapi gak ada yang aneh-aneh," Kila ikut berargumen.
"Jadi lu mau bela si Ratna," tuding Bobi. Kevin yang tak suka melihat gadis yang ia sukai dibentak-bentak, segera melerai.
"Biasa aja, Gam. Kan emang dulu kita gak ngalamin apa-apa," bela Kevin. Bobi seketika mendengus kesal. Ia memang tahu kalau Kevin dan Kila pedekate, tapi belum tahu kalau keduanya sudah memutuskan berpacaran.
"Kalau menurut gue… tebakan gue doang ini, ya. Kita ngalamin hal-hal aneh itu sejak kemah. Terutama sejak main jelangkung," Kila memelankan suaranya. "Kalian gak inget? Di grup kita, Agam bilang dia liat jelangkung di tangga. Mungkin aja itu akibat permainan kita, sekarang bawa efek buruk."
"Jadi, menurut lu yang ganggu kita setan dari jelangkung itu? Bukan dari Ratna?" tanya Bobi.
"Mungkin," jawab Kila singkat. Kevin pun ikut merenung. Ia juga pernah diganggu sosok menyeramkan dan diperlihatkan seonggok jelangkung di rumahnya. Bisa jadi perkataan Kila memang benar.
Sementara itu, Ratna yang sudah kembali ke kelas duduk gelisah di bangkunya. Di kelas yang sepi itu, wajahnya tampak gusar. Perlahan, ia membuka tas dan mengeluarkan diary hitamnya. Sekali lagi, Ratna menatap halaman-halaman yang sudah ia isi, memperhatikan bercak noda mirip darah yang kembali muncul di sana.
Ide tak terduga pun menyelinap ke pikirannya. Ratna membuka halaman baru, menuliskan tanggal dan waktu. Sebait kata pertama di baris kedua, ia menuliskan nama Kila.
Seperti menulis premis novel, Ratna menyusun adegan di mana Kila akan diganggu makhluk menyeramkan di toilet sekolah. Makhluk itu bertangan kurus dengan jemari panjang, kulitnya hitam pekat seperti kayu yang dibalur aspal. Ratna menulis rencana itu secara terperinci, seolah menyusun alur cerita lengkap.
Sementara itu, Kila tiba-tiba kebelet pipis. Ia pamit dari meja kantin dan berlari ke toilet, napasnya sesekali terengah. Biasanya, Kila akan pergi ke mana pun bersama Vani, termasuk mengantarnya ke toilet.
Ratna yang baru turun dari kelas, menatap pergerakan Kila. Gadis itu berlari menuju koridor yang mengarah ke toilet, dan tanpa ragu, Ratna pun membuntuti, diary hitamnya tetap dibawa.
Kila masuk ke salah satu bilik, melaksanakan hajatnya. Ratna memilih bilik lain dan mengintip dengan hati-hati, mencoba menebak apa yang mungkin terjadi. Beberapa saat menunggu, Kila keluar dan berjalan ke wastafel untuk mencuci tangan. Dari sudut penglihatannya, Ratna masih mengamati dengan perasaan waswas.
"Kayaknya dugaan aku salah. Kila gak kenapa-kenapa," gumam Ratna dalam hati. Namun, baru saja rasa tenangnya muncul, terdengar benturan keras dari salah satu bilik kosong. Kila dan Ratna sama-sama tersentak.
"Siapa?" tanya Kila, tetapi suara benturannya malah kian menggema.
"Woy! Siapa sih? Jangan usil, deh!" gerutu Kila, sementara Ratna menahan napas, hatinya berdegup kencang.
Tiba-tiba, lampu toilet berkedip-kedip, mati dan hidup secara acak. Kila yang ketakutan melangkah mundur, namun tak disangka, sebuah tangan mencengkram kakinya hingga gadis itu terjatuh tersungkur di lantai.
Ratna tercekat, matanya membesar melihat Kila yang menjerit histeris. Sebuah tangan misterius menjulur dari bawah pintu bilik toilet, memanjang seperti karet. Penampakannya yang mengerikan dan menjijikkan membuat Kila teriak lebih keras.
"Lepasin! Lepasin!" Kila merangkak, berhasil melepaskan diri dari cengkeraman makhluk itu. Namun, lemas tetap menguasai kedua kakinya ketika sesosok makhluk lain mulai merangkak keluar dari bilik yang berisik tadi, menggeram dengan nada menakutkan.
Ratna tertegun, bak patung, menatap makhluk yang ia deskripsikan di dalam diary hitamnya kini benar-benar menjelma untuk meneror Kila. Jeritan terakhir gadis itu membuat Ratna menutup mata, jantungnya berdebar tak karuan. Namun, teror itu berakhir ketika seseorang dari luar mendengar jeritan Kila.
Siswi yang datang itu segera membawa Kila keluar sambil panik menanyakan apa yang terjadi. Kila terus meracau, mengaku ada setan di toilet dan hampir membuatnya sesak napas. Jeritan ketakutannya masih terdengar samar oleh Ratna, membuatnya sendiri syok.
Pandangan Ratna kemudian tertuju pada halaman diary yang baru saja ia tulis. Beberapa bercak merah kecokelatan muncul seakan menyeruak dari dalam halaman buku. Refleks, Ratna melempar diary itu karena kaget.
"Ja-jadi... benar?" gumamnya terbata-bata, napas tersengal.
---
Setelah bubar dari kelas, Ratna buru-buru pulang. Biasanya ia akan mampir ke perpustakaan kota terlebih dahulu, tapi saat ini, keadaannya terasa genting. Otaknya sulit berpikir jernih; rasa panik mendera tanpa ampun.
Sesampainya di kost, Ratna melempar tasnya, mengambil diary hitam, dan membuka lembar demi lembar, memastikan apakah semua kejadian yang menimpa Kila benar-benar ada hubungannya dengan tulisannya. Sulit baginya menyangkal; semuanya terasa terlalu kebetulan.
Merasa frustrasi, Ratna melempar diary itu ke tong sampah. Ia mondar-mandir, menggigit kuku dengan gelisah. Di tengah kegelisahan itu, suara ponsel berdering. Dengan tangan gemetar, ia meraih benda pipih dari tasnya.
"Naya?" SUaranya bergetar, namun seperti mendapat angin segar, Ratna segera mengangkat telepon. "Hallo, Nay. Kamu di mana?"
"Bukit," jawab Naya singkat, lalu teleponnya terputus.
Tanpa menunggu lama, Ratna segera mengganti pakaiannya. Ia meraih tas selempang, lalu keluar dari kost. Seperti biasa, ia mencari ojek pangkalan. Setelah hampir dua puluh menit, Ratna tiba di bukit—tempat pertama kali ia kembali bertemu dengan Naya.
Sahabatnya itu tengah berdiri, menikmati sepoi angin. Rambut panjangnya terurai, tertiup angin lembut. Naya menoleh dan tersenyum, sementara Ratna masih terengah-engah, berusaha menenangkan napasnya setelah berlari dari jalan raya ke bukit.
"Kenapa harus lari, sih?" tanya Naya.
"Ada yang gawat, Nay."
Dahi Naya mengernyit. Ia mengajak Ratna duduk terlebih dahulu sebelum mendengar ceritanya. Kedua gadis itu bersandar di pohon besar, menikmati pemandangan yang selalu berhasil membuat Ratna merasa sedikit tenang.
"Yaudah, cerita. Ada apa?"
Ratna pun menjelaskan panjang lebar semua yang dialaminya. Kejadian yang terasa begitu aneh—buku yang ia temukan di gua, yang kini ia curigai sebagai buku kutukan.
"Tenang, paling juga kebetulan," ucap Naya santai.
"Aku juga awalnya mikir gitu, tapi pas aku coba tulis nama Kila, dia kena gangguan. Sumpah, Nay, aku lihat sendiri dengan mata kepala aku."
Naya mengangguk-angguk, berusaha menenangkan Ratna. "Lagian, kenapa kalau mereka celaka? Anggap aja karma."
"Tapi aku takut, Nay. Aku takut jadi manusia jahat. Apa bedanya kalau aku sama mereka?" Ratna menunduk, raut wajahnya gelisah.
Naya terkekeh pelan di sampingnya. "Tandanya kamu masih normal, nggak mau dijajah sama mereka. Kalau aku jadi kamu, malah senang liat mereka kena sial. Kamu nggak Usah capek-capek balas, biar ada yang balasin."
Sontak Ratna terdiam. Yang tadinya merasa kasihan, mendadak ia mengiyakan kata-kata Naya. Selama ini Ratna terlalu pasrah, sampai lupa bahwa rasa sakit hati yang terlalu lama dipendam bisa mengganggu fisik maupun pikirannya.
Sementara itu, di rumah sakit, Agam sibuk memainkan ponsel, membalas chat teman-temannya di grup. Ia mulai merasa lebih baik setelah mendapat penanganan dari dokter. Semalam, saat orangtuanya tiba, mereka terkejut melihat putra mereka tergeletak di bawah tangga.
"Kamu kenapa bisa kayak gini?" tanya Gita, mamanya.
Agam segera menyimpan ponselnya, menjawab, "Semalam ada setan di rumah."
"Setan? Ngaco. Mana ada setan di rumah kita, Agam?"
"Sumpah, Ma. Malah ada...." Kalimat Agam terhenti ketika hendak menceritakan tentang boneka jelangkung yang sempat dibakar tapi tiba-tiba kembali. Ia takut langsung dimarahi.
"Ada apa?"
"Ada kuntilanak di TV. Please, Mama sama Papa harus percaya."
Gita hanya berdecak, menganggap putranya sedang berhalusinasi. Keduanya menoleh saat pintu dibuka; ternyata Satria—ayah Agam—masuk membawa kantong berisi camilan.
Segera Agam meminta ayahnya duduk dan mulai menceritakan apa yang dilihatnya semalam. Anak kedua itu berusaha meyakinkan Satria bahwa di rumah mereka benar-benar ada sosok hantu.
"Papa percaya, kan?" tanya Agam dengan penuh harap.
"Iya, Papa percaya. Nanti kita panggil Ustaz buat ruqiah," jawab Satria sambil mengacak rambut putra jagoannya.
Seketika hati Agam merasa lega. Ia berharap hantu yang menempel pada boneka jelangkung itu bisa hilang setelah didoakan oleh pemuka agama.