Gara-gara fitnah hamil, Emily Zara Azalea—siswi SMA paling bar-bar—harus nikah diam-diam dengan guru baru di sekolah, Haidar Zidan Alfarizqi. Ganteng, kalem, tapi nyebelin kalau lagi sok cool.
Di sekolah manggil “Pak”, di rumah manggil “Mas”.
Pernikahan mereka penuh drama, rahasia, dan... perasaan yang tumbuh diam-diam.
Tapi apa cinta bisa bertahan kalau masa lalu dari keduanya datang lagi dan semua rahasia terancam terbongkar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon
IG: Ijahkhadijah92
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu?
Saat Pulang Sekolah
Emily baru saja keluar dari gerbang sekolah ketika seorang perempuan menghampirinya dengan wajah ketus dan nada penuh tuduhan.
"Kamu siapa?" tanya Emily santai, namun tatapannya tajam. Para murid yang melihat melirik ke arahnya, tapi mereka hanya sekedar melihat saja.
"Jelas gue pacarnya Rafael, lah!" sahut perempuan itu dengan suara meninggi. "Tolong ya, jangan ganggu hubungan gue sama dia."
Emily menaikkan alis, lalu tanpa gentar langsung menyalakan mesin motornya. "Baru juga pacar," gumamnya datar.
"Lo mau ke mana?!" tanya si perempuan, berusaha mencegah Emily pergi dengan berdiri di depan motornya.
"Pulang lah, emangnya lo pikir gue mau nginep di sekolah?" sindir Emily. "Tenang aja, gue gak bakal ngerebut bekas pacar gue. Lo jangan takut, gue gak sudi juga rebutan cowok yang lari dari masalah."
"Gak usah bohong lo!" bentak perempuan itu. "Dia bilang lo yang ganggu dia terus. Padahal dia lagi fokus skripsian!"
Emily tertawa pendek—sinis. "LOL. Fokus skripsi atau cari aman dari cewek yang kena gosip? Udahlah... sok tahu lo. Sukses ya pacaran pura-puranya."
Tanpa menunggu respons lagi, Emily langsung tancap gas meninggalkan halaman sekolah.
Perempuan itu menatap punggung Emily yang menjauh, wajahnya mulai goyah. Ada gejolak di dalam dadanya yang sulit ia redam.
"Apa benar mereka balikan lagi? Tapi… kenapa gue jadi kesal, sih?" gumamnya lirih. Ia menunduk, menggigit bibir bawahnya. "Padahal kita cuma pura-pura pacaran. Tapi... kenapa gue kayak baper?"
***
Di tempat lain, Rafael menatap layar ponselnya yang menampilkan notifikasi pesan dari pacar pura-puranya itu. Ia duduk di motornya sambil menatap ke arah jalan raya yang banyak dilalui anak sekolah.
"Tadi gue ketemu Emily. Kenapa lo gak bilang kalau lo masih sayang dia?"
Rafael menghela napas berat. Ia menghapus pesan itu tanpa membalas. Tangannya mengepal di atas pahanya. Hatinya tidak tenang sejak keputusannya memutuskan Emily demi nama baik keluarganya.
"Maaf, Lily... gue pengecut." bisiknya sendiri. "Tapi lo terlalu kuat buat dikhianati. Sedangkan gue terlalu takut buat berdiri di samping lo."
***
Emily baru saja belok ke jalan kecil dekat taman kota saat suara klakson nyaring mengejutkannya dari belakang. Ia menoleh, dan mendapati Rafael mengejar dengan motornya.
"Lily! Tunggu, Ly!" Panggilnya.
Emily mendesah keras. Ia menepi, tapi bukan karena ingin mendengarkan, hanya karena tak ingin ditabrak.
"Ngapain sih? Masih kurang puas utus orang buat ngegas gue di depan sekolah tadi?" tanya Emily, tatapannya tajam ke arah Rafael.
Rafael turun dari motornya tergesa. Wajahnya serius, napasnya masih memburu. "Gue… gue cuma ingin bicara. Satu kali aja, Ly." wajahnya memelas.
Emily menyilangkan tangan di depan dada. "Cepet, waktuku mahal."
Rafael mendekat, memandangi wajah Emily yang kini tampak jauh lebih tegar daripada terakhir kali mereka bicara.
"Gue masih sayang sama lo, Ly..." suaranya menurun. "Gue nyesel mutusin lo. Gue pikir... ini yang terbaik, tapi ternyata makin salah."
Emily mengerjapkan mata, lalu tertawa—keras.
"Lo pikir ini drama seperti yang di novel-novel? Lo mutusin gue kayak buang permen karet, sekarang minta balik lagi kayak minta tisu habis nangis?" nada Emily meninggi. "Gak, Raf. GUE gak sudi dibalikin sama cowok pengecut. Mau lo ngomong seribu kali juga, jawabannya tetep: ENGGAK!"
Rafael mencoba memegang tangan Emily. "Please, Lily, gue bener-bener nyesel. Gue bakal lawan semuanya asal lo balik..."
"Sentuh gue lagi, tangan lo gue patahin," gertak Emily sambil menepis kasar tangannya.
Dari Kejauhan, Haidar mengenali seseorang yang sedang berdiri dengan laki-laki di depannya.
Haidar baru saja pulang dan tidak sengaja melihat adegan itu dari kejauhan. Matanya langsung menangkap tangan Rafael yang sempat menyentuh Emily.
Wajahnya langsung mengeras. Rahangnya mengatup. Tangannya mengepal di atas setir. Tapi dia tidak turun. Tidak menghampiri.
"Dia siapa? Mantan? Cowok yang nyakitin dia?"
Haidar menggelengkan kepalanya cepat-cepat, tapi jantungnya berdebar cepat. Ada rasa kesal... dan, ya—cemburu.
"Kenapa gue kesel banget, sih..." gumamnya.
Haidar kembali melajukan mobilnya saat Emily naik ke atas motornya dan meninggalkan laki-laki itu. Mereka berjalan tidak jauh. Dan sampai ke rumah bersamaan.
Kemudian Emily masuk ke rumah sambil bersenandung kecil. Tapi begitu menutup pintu, suara berat dan dingin langsung menyambutnya dari ruang tengah.
"Tadi itu siapa?"
Emily terhenti. Menoleh pelan. Haidar berdiri dengan kedua tangan di saku celana, menatapnya tanpa berkedip.
"Siapa yang mana?"
"Cowok tadi. Yang nyentuh tangan kamu."
Emily memutar bola matanya. "Ck. Mantan. Mau ngajak balikan. Aku tolak kok. Tapi kayaknya Bapak ngintip, ya?"
Nada menggoda Emily tak mempan. Haidar tetap menatap tajam.
"Kamu bisa tolak dia TANPA harus kasih dia kesempatan buat deketin kamu."
Emily menaikkan alis. "Lho, kenapa jadi kayak suami yang marah gara-gara istrinya disamperin mantan?"
"Karena AKU memang suami kamu."
Emily melongo.
"Dan aku gak suka istri aku disentuh sembarangan," lanjut Haidar tegas. Suaranya dalam dan dingin, tapi sorot matanya penuh api.
Emily menelan ludah. Tapi tetap tak mau kalah.
"Yah, habis dia nyamperin duluan. Masa saya kabur sambil jungkir balik? Lagian Bapak, ngeliatin doang dari mobil, bukannya bantu dorong cowok itu biar gak ngerecokin saya!"
Haidar mendekat, matanya menatap Emily lekat-lekat. Tapi ia tidak menjawab. Hanya mendesah dan berjalan masuk ke kamar, meninggalkan Emily yang masih berdiri terpaku.
"Yaaa… kok beneran marah, sih…" gumam Emily pelan.
Haidar membuka pintu kamar mereka dengan sedikit hentakan. Ia melemparkan kunci mobil ke atas meja, lalu melepaskan jam tangan sambil menghela napas berat. Emily yang mengikuti dari belakang, hanya berdiri di ambang pintu, menatap punggung lelaki itu yang jelas-jelas sedang terbakar emosi.
"Bapak… seriusan marah, ya?" tanyanya akhirnya.
Haidar menoleh cepat, wajahnya penuh kesal. "Kamu pikir aku bercanda, Emily?"
Emily berkedip. Jujur saja, baru kali ini Haidar terlihat se-frontal itu. Biasanya Haidar seperti batu es. Dingin. Kalem. Gak banyak reaksi. Tapi sekarang?
"Ya ampun, tumben sekali Mas Batu bisa meledak kayak popcorn gosong gini." Emily menyilangkan tangan sambil nyengir, mencoba mencairkan suasana. "Apa jangan-jangan… Bapak cemburu, nie?"
"Emily!" bentak Haidar, membuat Emily sedikit tersentak. Tapi ekspresinya tetap cuek.
"Bapak marah gara-gara cowok itu tadi, ya? Dia tuh mantan. M-A-N-T-A-N. Titik." Emily menyebut tiap huruf dengan santai.
Haidar menghela napas lagi, lalu menatap Emily dengan ekspresi yang lebih berat dari biasanya.
"Kamu gak paham, ya? Kamu tuh sekarang istri orang. Istriku. Mau itu cuma sebentar atau diam-diam, tetap aja kamu tanggung jawabku."
Emily diam sesaat. Entah kenapa, hatinya agak hangat mendengar kata 'istriku'. Tapi karena gengsi, dia tidak menunjukkan reaksi.
"Iya, terus kenapa? Emang saya sengaja dijemput mantan? Gak, kan? Lagian Bapak juga diem aja di mobil. Gak turun. Cuma ngintip kayak… kayak—"
"Aku gak pengin bikin keributan di jalan. Tapi bukan berarti aku gak kesel." potong Haidar.
Emily terkekeh pelan. "Yaaaah, fix cemburu, nih. Bapak Batu bisa cemburu juga, ternyata. Dunia kebalik."
Haidar mengusap wajahnya dengan kasar, lalu berjalan ke arah jendela, membelakangi Emily. Suaranya lebih rendah saat ia berkata:
"Aku gak suka liat kamu disentuh orang lain. Bahkan kalau itu cuma teman kamu, apalagi mantanmu."
Emily menelan ludah pelan. Ada jeda sunyi cukup lama sebelum akhirnya ia mendekat dan berkata setengah bercanda:
"Jadi Bapak beneran suka sama saya?"
Haidar masih membelakangi. Tapi dari nada suaranya yang pelan, dan bagaimana ia membalas tanpa tatap mata, Emily tahu… ada sesuatu yang berubah.
"Mungkin aku terlalu lama jadiin kamu cuma tanggung jawab. Sampai gak sadar kalau ternyata aku mulai… terusik."
Emily membelalakkan mata. Tapi buru-buru menutupinya dengan tawa.
"Ih, bapak jangan gombal. Saya bisa baper, lho."
"Silakan baper. Biar kamu juga ngerasain gimana rasanya aku sekarang."
Glek!
Bersambung