Anindya Semesta hanyalah gadis ingusan yang baru saja menyelesaikan kuliah. Daripada buru-buru mencari kerja atau lanjut S2, dia lebih memilih untuk menikmati hari-harinya dengan bermalasan setelah beberapa bulan berkutat dengan skripsi dan bimbingan.
Sayangnya, keinginan itu tak mendapatkan dukungan dari orang tua, terutama ayahnya. Julian Theo Xander ingin putri tunggalnya segera menikah! Dia ingin segera menimang cucu, supaya tidak kalah saing dengan koleganya yang lain.
"Menikah sama siapa? Anin nggak punya pacar!"
"Ada anak kolega Papi, besok kalian ketemu!"
Tetapi Anindya tidak mau. Menyerahkan hidupnya untuk dimiliki oleh laki-laki asing adalah mimpi buruk. Jadi, dia segera putar otak mencari solusi. Dan tak ada yang lebih baik daripada meminta bantuan Malik, tetangga sebelah yang baru pindah enam bulan lalu.
Malik tampan, mapan, terlihat misterius dan menawan, Anindya suka!
Tapi masalahnya, apakah Malik mau membantu secara cuma-cuma?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semesta 9.
Sudah lebih dari sepuluh menit Malik berdiri di depan pintu kamar Anindya. Berkali-kali ia menarik napas dan membuangnya kasar. Bukannya apa, hanya mendadak kehilangan kepercayaan diri untuk mulai mengajak gadis itu bicara.
Sebagai bentuk permintaan maaf, Malik tidak datang hanya dengan tangan kosong. Dibawakannya fast food yang menjadi akar dari konflik mereka tadi siang. Malik membelinya langsung tadi, kebetulan ada outlet yang tak jauh dari perumahan mereka.
Sekali lagi, Malik mengangkat tangannya untuk mengetuk. Namun gerakannya terhenti dan tangannya kembali menggantung di udara sebelum mendarat di pintu. Ia berpikir sekali lagi. Haruskah mengganggu waktu istirahat Anindya, atau tinggalkan saja fast food ini di depan kamarnya dan mengirimkan pesan kepada gadis itu sebagai gantinya?
"Tapi kalau pulang sebelum baikan, Oma pasti nggak akan senang."
Malik semakin gusar. Akhirnya, ia meyakinkan diri mengetuk pintu. Mulanya pelan, masih terkesan ragu-ragu. Kemudian, karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari sang empunya kamar, ia mencoba lagi. Kali ini lebih bertenaga.
Sebab tenaga yang dia kerahkan cukup besar, pintu di hadapannya terbuka perlahan. Bukan karena Anindya membukakannya dari dalam, tapi sepertinya memang tidak tertutup dengan benar.
Malik berdeham, meng-clear-kan tenggorokan. Tanpa bermaksud untuk bersikap tidak sopan, ia mendorong pintu kamar Anindya hingga terbuka lebih lebar. Hanya sampai dirinya bisa mengintip suasana di dalam.
Yang pertama kali menarik perhatian Malik bukanlah keadaan kamar yang gelap gulita, melainkan sosok Anindya yang meringkuk di dalam selimut. Malik mendekat. Saklar lampu utama ia nyalakan. Seketika membuat kamar Anindya terang benderang.
Perubahan cahaya yang tiba-tiba membuat sang gadis menggeliat tak tenang dalam tidurnya. Dahinya mengerut dan kelopak matanya bergerak-gerak gelisah.
"Anin." Alik mencoba menarik gadis itu ke alam sadarnya.
Nihil. Anindya tidak menyahut, hanya menggeliat pelan lalu semakin merapatkan selimut sampai nyaris menenggelamkan seluruh wajahnya.
Malik tidak menyerah. Tentengannya diletakkan di atas nakas, lalu ia mendaratkan bokongnya di tepian kasur. Dipandanginya wajah Anindya yang tampak pucat. Terdapat titik-titik kecil keringat yang menyebar di dahi dan pelipisnya.
"Anindya, saya tahu kamu denger suara saya," kata Malik.
Dia tahu Anindya tidak betulan tidur. Embusan napasnya terlalu berantakan untuk ukuran seseorang yang lelap dalam mimpi. Akan tetapi, Anindya seakan ingin terus berakting dengan tak menanggapi Malik sama sekali.
"Kita perlu bicara," kata Malik lagi.
Semakin ia perhatikan, semakin wajah Anindya tampak beriak tak tenang. Menambah keyakinannya bahwa gadis itu memang hanya pura-pura tidur.
"Saya minta maaf," ucapnya sambil terus menatap lekat wajah Anindya.
Ajaibnya, kata sakti itu berhasil membuat kelopak mata Anindya bergerak-gerak sebelum akhirnya sepenuhnya terbuka. Tatapan mereka bertemu, tapi kali ini suasana benar-benar asing. Tidak ada keceriaan dan ketengilan Anindya dalam sorot matanya. Gadis itu betul-betul terlihat lesu.
"Saya nggak bermaksud menyakiti kamu," kata Malik, suaranya lembut. "Saya lagi capek dan nggak punya tenaga buat ladenin keusilan kamu, tapi saya sadar sepenuhnya bahwa itu nggak bisa membenarkan saya buat bentak kamu kayak tadi siang."
Senyap.
Anindya masih tak bergerak dari posisinya. Netranya pun nyaris tak berkedip sama sekali. Seakan gadis itu sedang mencerna apakah kejadian ini adalah mimpi.
Malik menjadi orang pertama yang memutus kontak mata. Ia beralih pada fast food di atas nakas. Tangannya terulur meraihnya, menyerahkannya pada Anindya.
"Nugget yang kamu mau," ucapnya. "Saya tambahin burger sama kentang goreng juga."
Anindya melirik sekilas fast food yang Malik bawa, kemudian perlahan bergerak meninggalkan posisi tidurnya. Ia menarik diri cukup jauh ke sisi ranjang yang lain, duduk membawa selimut tebalnya untuk memeluk tubuhnya sekaligus dijadikan tudung.
"Mas Malik ke sini malam-malam cuma buat anterin ini?" tanya Anindya.
"Buat minta maaf." Malik mengoreksi.
Samar-samar terdengar suara Anindya menggumam pelan. Tak jelas apa yang diucapkan.
"Nggak masalah kalau kamu masih kesel sama saya," putus Malik. "Nanti kalau suasana hati kamu udah baik, kita bicara lagi."
Malik sudah mengangkat bokongnya, hendak pergi. Namun Anindya dengan cepat menahan lengannya, sehingga mau tak mau ia kembali duduk di posisi semula.
Alih-alih bertanya, Malik justru diam menunggu Anindya bicara lebih dulu. Ia perhatikan bagaimana Anindya merunduk dengan tangan yang terlihat gelisah meremas selimut. Sekilas, Malik juga dapati gadis itu menggigit bibir bawahnya pelan.
"Mas Malik," ucap Anindya, memberanikan diri mengangkat kepala.
Malik tidak menjawab. Tapi dari tatapannya, Anindya harusnya tahu bahwa Malik siap mendengarkan.
"Harusnya Anin yang minta maaf." Anindya menggumam pelan. "Anin yang udah kelewatan usilin Mas Malik, sampai-sampai Mas Malik lepas kontrol."
Malik masih tidak merespons.
"Tapi sumpah!"
Tahu-tahu, Anindya mengangkat dua jarinya yang membentuk huruf V, membuat Malik agak tersentak.
"Sumpah, Mas, Anin nggak bermaksud begitu. Anin nggak bermaksud jadi terlalu annoying. Anin cuma ... cuma...."
Aduh, harus ngomong apa lagi, nih?
"Iya."
"Ha?" Mata Anindya mengerjap beberapa kali. "Apa?" tanyanya bingung.
"Iya, saya ngerti."
Anindya bertanya ragu-ragu, "Ngerti apa?"
Malik memajukan wajahnya sedikit, bola matanya bergerak perlahan, seakan sedang memindai wajah Anindya dengan saksama.
"Ngerti kalau kamu ini cuma bocah ingusan yang banyak drama."
"Adu-du-duh!" Anindya berseru heboh.
Pasalnya, Malik baru saja menyentil keningnya dengan kekuatan penuh. Ia dengar dari Oma bahwa Malik tak begitu suka olahraga. Sepertinya Oma bohong. Karena demi Tuhan, kepala Anindya rasanya seperti mau copot saking dahsyatnya sentilan Malik.
"Aw...." Anindya meringis sambil mengusap-usap keningnya.
Ini bukan drama romantis yang pemeran utama prianya penuh kasih dan pengertian, jadi jangan mengharapkan Malik akan tiba-tiba jinak lalu membantu Anindya mengusap keningnya agar sakitnya hilang. Tidak begitu.
Ketika Anindya masih berkutat dengan pedih di keningnya, Malik bangkit. Lelaki itu berdiri santai sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Memandang Anindya yang kini mendumal tidak jelas sambil membatin, bocah ingusan begini kok disuruh menikah? Memangnya akan bisa menjalani peran sebagai istri?
"Makan tuh nugget yang kamu ngidam banget. Habis itu baru tidur."
Kemudian, Malik balik badan.
"Mas Malik mau ke mana?" tanya Anindya cepat.
Malik terus berjalan, baru berbalik ketika mencapai pintu kamar. "Pulang," jawabnya singkat.
"Kok pulang?"
"Terus harus gimana? Kamu mau saya ngecamp di kamar kamu sampai besok pagi?"
"Emangnya ... kita udah selesai?"
"Udah."
"Tahu dari mana?"
"Pertama, saya udah minta maaf. Kedua, kamu juga udah sadar sama kelakuan kamu yang keenakan. Dan ketiga..." Malik memberi jeda, melirik fast food di depan Anindya. "Kamu udah dapat apa yang kamu mau. Jadi saya anggap masalahnya selesai. Deal? Saya mau pulang, masih banyak kerjaan."
Mulut Anindya baru mangap setengah, tapi Malik sudah menghilang dari pandangan. Entah bagaimana, lelaki itu mendadak cosplay jadi ninja, yang bergerak secepat kilat.
Anindya sedikit menyayangkan kepergian Malik, tapi juga merasa lega karena lelaki itu tidak marah padanya berlama-lama.
"Padahal tadi siang auranya kayak mau nelen orang hidup-hidup," gumamnya, sambil memasukkan sepotong utuh nugget kesukaannya.
Bersambung....