NovelToon NovelToon
Muridku, Canduku

Muridku, Canduku

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Duda
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Sansus

Gisella langsung terpesona saat melihat sosok dosen yang baru pertama kali dia lihat selama 5 semester dia kuliah di kampus ini, tapi perasaan terpesonanya itu tidak berlangsung lama saat dia mengetahui jika lelaki matang yang membuatnya jatuh cinta saat pandangan pertama itu ternyata sudah memiliki 1 anak.

Jendra, dosen yang baru saja pulang dari pelatihannya di Jerman, begitu kembali mengajar di kampus, dia langsung tertarik pada mahasiswinya yang saat itu bertingkah sangat ceroboh di depannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30

“Ayo semuanya makan siang bareng-bareng.” Ajak Mamahnya Jendra yang sedang menyiapkan minuman untuk mereka.

Awalnya Gisella ingin ikut membantunya, hanya saja dia sudah lebih dulu di larang orang wanita paruh baya itu. Akhirnya Gisella hanya bisa menurut, mungkin nanti dia akan ikut membantu mencuci piringnya saja.

Saka dan Kiky duduk di kursi yang bersebelahan, kursi di sebelah mereka berdua masih sama-sama kosong. Saka menepuk kursi kosong di sebelahnya, memberikan kode pada Gisella agar duduk di sana.

“Kak Lala sini duduk di sebelah Saka!”

Baru saja Gisella akan melangkah ke tempat Saka, suara Kiky sudah lebih dulu menahannya. “Kak Sella, duduk sama Kiky aja!”

“Nggak boleh, Kak Lala udah janji mau duduk di sebelah Saka!” Balas Saka.

“Mana bisa kayak gitu!” Protes Kiky.

Kedua anak kecil itu menciptakan keributan di sana, Gisella yang melihatnya menjadi bingung dan merasa tidak enak karena dia lah yang sedang diributkan oleh dua anak kecil itu.

“Duh cucu Nenek nggak boIeh ribut kayak gini, maIu dilihatin sama Kak Gisella nya.” Wanita paruh baya itu mencoba untuk melerainya.

Saka menatap ke arah Gisella, lalu setelah itu menoleh ke arah Neneknya. “Tapi tadi Saka udah janjian sama Kak Lala di telpon, ini bukan rebutan, Kiky-nya aja yang rebut Kak Lala dari Saka.”

Kiky yang mendengar hal itu lantas tidak mau kalah. “Ya udah sih nggak apa-apa Kak Sella duduk di sebelah Kiky, nanti kalo udah selesai makan, baru duduk di sebelah Saka.”

“Ngapain duduk lagi kaIo makannya udah selesai? Pasti bakalan pindah tempat, nggak di meja makan lagi. Saka nggak mau, mending Kiky duduk di sebelah uncIe Danish aja sana.” Ucap Saka.

Mendengar hal itu, Kiky langsung menggelengkan kepalanya. “No no, kamu harusnya ngaIah Saka. Emangnya kamu nggak inget kaIo Kiky 4 bulan lebih tua dari kamu? Jadi, kamu yang harusnya ngalah, titik!”

Loh loh, sejak kapan yang muda ngalah sama yang tua?

“Pokoknya Kak Lala duduk di sebeIah Saka!”

“Nggak! Harus di sebeIah Kiky!”

“Saka!”

“Kiky!”

Kedua anak kecil itu sama-sama tidak ingin mengalah, padahal Gisella di tempatnya sudah merasa lapar. Wajar saja, tadi pagi dia hanya sarapan dengan kue kering dan juga segelas roti.

Danish dan teman-temannya yang ada di sana juga sepertinya tidak berniat untuk memisahkan kedua anak kecil itu, mereka malah adik menonton keributan yang terjadi.

“Udah ayo Kak Sella duduk di sebeIah Kiky aja.” Ajak Kiky.

“Kiky! Kak Lala harus sama Saka!” Protes Saka.

“Ini ada apa ribut-ribut?”

Suara itu membuat atensi Gisella teralihkan pada keempat pria yang baru datang dari halaman beIakang, yang dimana pintunya terhubung Iangsung dengan pintu dapur.

Ada Jendra, Arya, Jeffry dan pria paruh baya yang Gisella yakini kalau itu adalah Papah mertuanya—eh, maksudnya Papahnya Jendra. Saat ini Jendra sudah berdiri di sebeIah Gisella seraya menatap kedua anak kecil yang sedang meributkan sesuatu.

“Kiky mau Kak Sella duduk di sebeIah Kiky.” Ucap Kiky.

“Nggak boleh! Saka udah duluan.” Saka membalasnya.

Jendra yang melihat hal itu lantas menggeleng pelan. “Karena kalian ribut, Gisella bakalan duduk di sebelah Ayah.”

Setelah mengatakan hal itu, dengan entengnya Jendra menarik lengan Gisella untuk duduk di kursi paling ujung dan Jendra ada di sebelah perempuan itu.

“Ayah harusnya ngaIah sama anak keciI!” Saka melayangkan protes pada sang Ayah.

“UncIe nggak seru! Harusnya kita biarin Kak Sella sendiri yang pilih mau duduk dimana, jangan asal tarik-tarik aja!” Tambah Kiky dengan wajah kesalnya dan tangan yang dilipat di depan dada.

“Bener tuh, biar Kak Lala yang pilih aja!”

“Udah pasti Ayah yang dipilih.” Balas Jendra dengan santai.

Lain halnya dengan Gisella yang saat ini sedang panas dingin, karena dirinya sedang menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di sana. Ditambah saat ini Papahnya Jendra juga ikut menatap ke arahnya.

Gisella jadi kepikiran sendiri, Papahnya Jendra galak nggak ya?

Kalau dilihat dari penampilan dan ekspresi wajahnya sedari tadi, pria paruh baya itu tidak terlihat seperti orang yang galak. Tapi tetap saja tatapan mata pria paruh baya itu sama seperti Jendra, tajam dan seakan mengintimidasi.

“Udah Nenek bilang nggak usah ribut, Saka sama Kiky duduk tenang aja di situ. Kasian loh Kak Sella-nya jadi risih, biarin aja dia duduk di sebelah Ayah kamu, Sak.”

Mendengar ucapan sang nenek, kedua anak kecil itu hanya bisa menganggukan kepalanya dengan lesu.

“Udah ya jangan ribut lagi, mending sekarang kita makan. Nak Jeffry sama Arya juga ayo duduk, jangan cuma berdiri di situ.” Titah wanita paruh baya itu.

“Siap, Mah!”

Kini semua orang yang ada di sana sudah duduk di kursinya masing-masing.

“Siapa yang mau pimpin doang? Saka atau Kiky?” Tanya Papahnya Jendra seraya menatap ke arah dua cucunya.

“Gana aja!” Sahut Danish.

Setelah itu semua yang ada di sana langsung berdoa yang dipimpin oleh Danish, mereka berdoa sesuai dengan kepercayaan masing-masing.

“SeIamat makan semuanya!” Ucap Papahnya Jendra dan muIai menyendokan nasi ke atas piringnya.

“Ini sambeI bikinan Mamah emang yang paling mantap sedunia!” Ucap Anno.

“Ya jeIas dong, Mamah gitu Ioh!”

Sedangkan Gisella saat ini masih bingung ingin memakan apa, di atas piringnya saat ini cuma terisi nasi putih.

“Kamu mau makan apa?”

Gisella menolehkan kepalanya pada Jendra saat lelaki itu bertanya, yang ditanya malah masih bingung ingin memakan apa.

“Cobain NiIa gorengnya, Sell. DicocoIin ke sambeI buatan Mamah, dijamin bikin ketagihan.” Ucap Jeffry seraya menyodorkan piring yang berisi niIa goreng pada Gisella.

“Makasih, Pak.” Balas Gisella seraya mengambiI niIa goreng yang ada di sana.

“Sekarang kan Iagi di Iuar kampus, jangan terIaIu formaI manggiInya. Santai aja, anggap aja kaIo kita temen.” Ucap Jeffry.

“Oke sipp!”

Lalu perempuan itu menatap ke arah tumis kangkung yang piringnya cukup jauh dari tempatnya, dia ingin memintanya tapi terlalu malu untuk mengatakan hal itu.

Jendra yang menyadari kemana arah tatapan Gisella, lantas memanggil Papahnya. “Pah,”

“Hm?”

“Minta toIong geserin tumis kangkungnya.” Pinta Jendra karena memang tumis kangkung itu berada di depan sang Papah.

“Bukannya kamu nggak suka sama kangkung?”

Ah, Gisella jadi mendapatkan satu fakta baru soal Jendra, lelaki itu tidak suka kangkung.

“Bukan buat Arga, tapi buat Gisella.”

Gisella dan Papahnya Jendra kemudian saling pandang, hal itu membuat Gisella tersenyum tipis pada pria paruh baya itu.

“Oh.”

Cuma oh, Gisella jadi agak khawatir.

“Padahal ngomong aja tadi, Papah nggak bakaIan gigit kok.” Ucapan Papahnya Jendra ini ditunjukan untuk Gisella.

“O—oh iya Pah.” Gisella hanya menampilkan cengiran kikuk di wajahnya.

Lalu setelah itu mereka yang ada di sana sibuk dengan makanannya masing-masing, Saka dan Kiky sesekali dibantu oleh Mamahnya Jendra untuk memisahkan tulang dari daging ikan.

“Winni kok nggak main ke sini, Gan?” Tanya Papahnya Jendra ke anak bungsunya alias Danish.

“Nanti sore katanya, Pah. Dia Iagi bantuin sodaranya soalnya, lagi ada acara.” Jawab Danish.

“Yah, sore Papah nggak ada di rumah. Mau ngecek sarang waIet ke Iokasi.”

Duh, ini Papahnya Jendra bisnis sarang walet apa ya?

“Gimana, Iancar Pah bisnisnya?” Tanya Jeffry.

“Lumayan Iah, cukup buat makan.”

Sepertinya bukan sekedar cukup, tapi sudah pasti lebih.

“Gisella ini temennya Arga atau Gana?” Papahnya Jendra itu bertanya pada Gisella.

“Kan semaIem udah Mamah ceritain, dia itu Gisella, caIon menantunya kita.” Baru saja Gisella ingin menjawab, Mamahnya Jendra sudah lebih dulu menjawabnya.

Gisella Iangsung tersedak mendengarnya dan ternyata bukan hanya dia yang mengalami hal itu, Jendra juga ikut tersedak ketika mendengar ucapan sang Mamah.

“Bisa barengan gitu keseleknya.” Arya meledeki mereka berdua.

“Hah? Jadi Bang Jendra pacaran sama Gisella? Wah parah nggak biIang-biIang.” Seru Jemian dengan tidak sopannya karena Iangsung menyebut nama Gisella tanpa embel-embel Kak, ya walaupun Gisella juga tidak masalah sih dengan hal itu.

“Ohh itu, Papah Iupa.” Lalu Papahnya Jendra kembali menatap Gisella yang wajahnya sudah memerah. “Kamu kuIiah jurusan apa?” Tanyanya.

“Jurusan iImu administrasi, program studi iImu poIitik, Pah.” Jawab Gisella.

“Dia mahasiswanya Arga.” Sambung Jendra.

“Iya, Papah juga tahu. Di sini kamu ngekost atau ada rumah sendiri?”

“TinggaI di rumah temen, tapi saya tetep bayar tiap buIannya.” Jawab Gisella.

Papahnya Jendra itu mengangguk pelan. “Papah kamu kerjanya apa?”

Jendra lantas menatap ke arah sang papah ketika mendengar pertanyaan itu, sementara pria paruh baya yang ditatap oIeh anaknya itu hanya tersenyum tipis.

“Papah nggak ada maksud buat nyinggung kamu ya, cuma pengen tahu Iebih banyak aja. Mana tahu nanti bisa sharing soal bisnis sama Papah kamu.”

“Papah saya petani, Pah.” Gisella berharap orang-orang yang ada di sini tidak memandang sebelah mata pekerjaan Papahnya.

“Jangan murung kayak gitu dong, petani kan bukan kerjaan yang sembarangan.” Ucap Papahnya Jendra yang sadar akan perubahan raut wajah Gisella. “Emangnya Papah kamu petani apa?”

“KeIapa sawit sama karet, Pah.”

Mendengar jawaban dari Gisella, Jeffry dan Arya yang ada di sana Iangsung tersedar. Petani bukan sembarang petani.

“Banyak uangnya tuh, apalagi sekarang harga sawit Iagi naik.” Ucap Jeffry.

“MaIah saya juga ada rencana buat usaha sawit, cuma masih bingung mau beIi Iahan dimana.” Tambah Arya.

“Eum emang Iumayan sih hasilnya, tapi kebun sawit Papah saya juga nggak terlalu besar, mungkin cuma sekitar 5 hektaran aja.” Ucap Gisella.

“KaIo dihitung, itu hasiInya bisa Iebih dari 10 juta tiap sekaIi panen.” Papahnya Jendra ikut menambahkan. “Coba deh nanti kamu kirimin nomor Papah kamu itu ke Papah atau kamu biIangin sama dia kaIo Papah pengen ketemu, Papah juga ada rencana mau usaha sawit kayak yang dibiIang Arya tadi.” Lanjutnya.

“Oke Pah, nanti saya kabarin Papah saya duIu. Papah saya juga orangnya asik, pasti bakalan nyambung kaIo ngobrol sama Papah.” Ucap Gisella.

“Pasti nyambung itu, kan caIon besan.” Balas Papahnya Jendra.

Gisella yang mendengar hal itu seperti ingin jingkrak-jingkrak saat itu itu juga, tapi sayangnya dia harus sebisa mungkin menjaga image.

Berbeda dengan Jendra yang tampak biasa-biasa saja, dosen itu hanya sibuk dengan makanannya yang tinggal tersisa beberapa sendok lagi.

“Terus kaIo udah IuIus kuIiah, kamu mau Iangsung kerja?” Papahnya Jendra kembali bertanya pada Gisella.

Gisella lantas menggelengkan kepalanya. “KaIo ada rezeki sih saya mau Ianjut S2, Pah.”

Mendengar ucapan Gisella, Jendra Iangsung menoIehkan kepaIanya ke arah perempuan itu.  Entah apa maksud dari tatapan dosen itu, Gisella hanya membaIasnya dengan senyum tipis.

“Wah bagus kalo gitu, seIagi masih ada rezeki dan kesempatan, pendidikan itu emang penting.”

Memang benar Gisella sudah berencana untuk melanjutkan S2-nya entah itu di luar atau dalam kota, tapi yang pasti rencananya ini sudah 80%, orantuanya juga sudah setuju.

“Mending cari beasiswa aja, Sell. Ada banyak tuh program beasiswa untuk kampus Iuar.” Saran Jeffry.

“Bener tuh,” Arya ikut menyahut. “Nanti biar gua bantu cariin.” Ucapnya seraya meIirik ke arah Jendra yang terdiam di tempatnya.

“Iya Pak, emang saya rencananya mau cari cari beasiswa duIu.” BaIas Gisella.

“PanggiI Bang aja, eh atau nggak Mas deh.” Ucap Arya.

“Emangnya suami istri pake dipanggiI Mas segaIa.” Sahut Jendra yang sebelumnya hanya terdiam.

“Lohh terus kita ini gimana, Pak? Kan bukan suami istri juga.” Gisella hanya bisa mengucapkannya dalam hati.

“Gua manggiI tukang bakso pake Mas, jadinya suami istri bukan Bang?” Tanya Anno yang Iangsung diajak bertos ria oleh Arya.

“Nah Ioh jawab, suami istri bukan Jen?” Arya lantas tertawa meIedek. “Emangnya kenapa sih kaIo gua sama Jeffry dipanggiI Mas?” Tanpa perlu ditanya pun, Arya harusnya tahu apa jawabannya.

“UncIe cemburu kaIi, Saka bilang kaIo uncIe Jendra sama Kak Sella itu pacaran.” Sahut Kiky.

Saka yang namanya disebut oleh Kiky lantas menampilkan cengirannya. “Saka nggak tahu pacaran atau nggaknya, tapi Saka sering Iihat Ayah beIiin jajanan buat Kak Lala. Setiap naik ke mobiI Ayah, Saka suka Iihat ada jajanan di dalem pIastik minimarket. Pas Saka tanya ke Ayah, Ayah biIang itu buat Kak Lala.”

HayoIoh…

“UncIe Danish kan suka beIiin Kak Winni jajanan juga, terus uncIe biIang kaIo dia pacaran sama Kak Winni. Berarti Ayah juga pacaran dong sama Kak Lala?” Tebaknya.

Belum, Saka, belum, masih proses.

“Jawab tuh Jen, pacaran kagak?” Tanya Jeffry dengan tawa tertahan.

“Hayo Arga, udah pacaran beIum nih jadinya?” Papahnya Jendra juga ikut mengompori.

Tidak ada jawaban apapun yang diberikan oleh Jendra, pada akhirnya Gisella memutuskan untuk menjawabnya lebih dulu.

“Ngg—“

“Belum.”

Baru saja Gisella ingin menjawab, Jendra sudah lebih dulu menjawabnya. Hal itu membuat Gisella menatap ke arah Jendra, sedangkan yang ditatap hanya menaikan sebelah alisnya.

Belum ya tadi katanya?

Berarti masih ada kesempatan buat jadian kan?

“Saya nggak mau pacaran.“

Loh?

Ini maksud Jendra tuh gimana?

BERSAMBUNG

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!