Rachel sering mendapatkan siksaan dan fitnah keji dari keluarga Salvador. Aiden yang merupakan suami Rachel turut ambil dalam kesengsaraan yang menimpanya.
Suatu hari ketika keduanya bertengkar hebat di bawah guyuran hujan badai, sebuah papan reklame tumbang menimpa mobil mereka. Begitu keduanya tersadar, jiwa mereka tertukar.
Jiwa Aiden yang terperangkap dalam tubuh Rachel membuatnya tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada sang istri selama tiga tahun ini. Begitu juga dengan Rachel, jadi mengetahui rahasia yang selama ini disembunyikan oleh suaminya.
Ikuti keseruan kisah mereka yang bikin kalian kesal, tertawa, tegang, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Rachel merasa rumah dalam keadaan sepi. Keheningan itu begitu asing baginya. Biasanya, suara langkah Nenek Hilda terdengar di lorong dengan tongkat kayunya yang khas, atau suara tawa Hillary yang melengking memenuhi ruang keluarga. Kini, semua itu lenyap, hanya menyisakan detak jam dinding yang monoton.
"Tumben sepi," ucap Aiden sambil mengerutkan kening, langkahnya terdengar berat ketika melangkah lebih dalam ke rumah besar itu.
Seorang pelayan yang sedang menata vas bunga di meja segera menghampiri mereka. Wajahnya terlihat sedikit gugup, seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan.
"Tuan, Nyonya besar dan Nona Hillary sedang melakukan perjalanan jauh untuk beberapa hari," ucapnya pelan, seakan khawatir kata-katanya menyinggung.
Aiden terperangah. "Kenapa Grandma tidak bilang kepadaku?" tanyanya dengan nada heran bercampur kecewa.
Pelayan itu menunduk, jemarinya tampak saling meremas gelisah. "Sepertinya mereka pergi mendadak dan terburu-buru, Tuan."
Aiden terdiam, hanya mengangguk tanpa menanggapi lebih jauh. Namun, berbeda dengan Rachel. Wanita itu merasa ada yang janggal. Ia mengenal betul kebiasaan neneknya. Nenek Hilda bukan tipe orang yang pergi tanpa memberi kabar, apalagi dalam perjalanan jauh.
"Aku merasa ada sesuatu kepada mereka," bisik Rachel sambil menaiki anak tangga, nada suaranya berat penuh prasangka.
Aiden menoleh. "Maksud kamu?"
"Pelayan tadi bilang kalau Grandma dan Hillary melakukan perjalanan jauh. Itu berarti mereka pergi lebih dari satu hari," jelas Rachel, suaranya bergetar menahan resah. "Selama ini Grandma tidak pernah pergi tanpa bilang-bilang kepadaku. Dia selalu memberitahu aku mau pergi ke mana, bersama siapa, dan berapa lama. Itu kebiasaan yang tidak pernah berubah."
Kata-kata Rachel membuat Aiden berpikir. Ia juga tahu betul, Nenek Hilda jarang meninggalkan rumah tanpa alasan jelas. Apalagi, hubungan nenek dan cucunya begitu dekat.
"Jangan-jangan Grandma pergi meninggalkan rumah karena hasutan Hillary!" duganya, matanya menyipit tajam. "Dia masih marah karena aku beri hukuman yang banyak kepadanya."
Rachel mendesah panjang, berusaha menimbang. "Bisa jadi."
Begitu pasangan itu masuk ke kamar, bunyi notifikasi ponsel Aiden mendadak memecah keheningan. Getaran dan nada deringnya terdengar berulang, menandakan ada pesan penting yang masuk. Aiden mengeluarkan ponsel dari saku jas. Wajahnya langsung serius ketika membaca deretan pesan.
[Tuan, aku sudah mendapatkan informasi terbaru tentang kecelakaan waktu itu.]
[Tolong lindungi saksi ini! Selama ini dia bersembunyi dari dunia luar karena merasa terancam.]
[Laporan selengkapnya akan aku kirim lewat email.]
Rachel yang duduk di tepi ranjang mencondongkan tubuhnya, ikut membaca layar ponsel. Seketika hawa kamar berubah tegang. Mereka pun segera membuka laptop dan memeriksa email yang baru masuk. Sebuah file muncul, menunggu untuk dibuka.
Tanpa menunda, Aiden mengkliknya. Foto-foto lama langsung memenuhi layar—foto puing-puing kecelakaan keluarga Salvador, bercampur dengan gambar seorang pria lusuh. Rambutnya gondrong, gimbal, penuh debu, dan wajahnya hampir tertutup brewok tebal.
"Apa kamu kenal siapa pria ini?" tanya Aiden sambil mengangkat alis, nada suaranya penuh keraguan.
Rachel menggeleng, matanya menyipit meneliti. "Entahlah. Wajahnya tertutup brewok, rambutnya gondrong tidak terurus. Sulit mengenalinya."
"Dalam laporan dikatakan pria itu bernama Matius Black," ucap Aiden sambil membaca catatan di layar.
"Matius Black?" gumam Rachel. Ia mencoba memanggil-manggil ingatannya yang jauh, seperti ada nama itu di masa lalu.
Aiden tak berhenti menatap foto itu, pikirannya penuh tanda tanya. Rachel tiba-tiba berinisiatif mengedit foto tersebut di laptop. Dengan cekatan, ia menghapus bayangan brewok dan merapikan rambutnya dalam simulasi digital. Setelah wajah itu tampak lebih jelas, Rachel mendadak terperanjat.
"A… sekarang aku ingat siapa dia!" pekiknya, mata melebar.
"Siapa?" Aiden langsung penasaran.
"Dia adalah supir keluarga Ford," jawab Rachel cepat. "Kamu ingat Damian Ford?"
Aiden mengangguk pelan, wajahnya mengeras. "Iya. Pria yang memiliki wajah seram."
"Benar," Rachel menghela napas panjang. "Aku sering melihat Matius ini karena dia suka antar jemput anak Damian di sekolah."
"Lalu, apa kamu tidak curiga? Kenapa si Matius ini tiba-tiba berhenti bekerja dari keluarga Ford?" tanya Aiden dengan nada menelusuri.
Rachel menatap layar. "Bukannya di laporan itu tertulis, dia mengalami kecelakaan sekitar dua puluh tahun lalu? Kakinya patah, dan sejak itu dia menghilang."
Aiden mengangguk, menyatukan potongan-potongan informasi. "Ya. Di sini juga disebutkan kalau dia adalah saksi mata yang selamat dari maut."
Rachel meremas jemari tangannya sendiri, seakan menahan ketegangan yang semakin meningkat. "Sebaiknya kita segera menemui Matius."
"Sekarang saja," balas Aiden mantap. "Kebetulan Grandma dan Hillary tidak ada di rumah. Jadi, tidak ada yang curiga."
"Baiklah. Kita bersiap-siap!"
Tak butuh waktu lama, pasangan itu sudah dalam perjalanan menuju sebuah desa kecil di pinggiran ibu kota. Perjalanan berlangsung panjang, diwarnai kesunyian yang hanya dipecah deru mesin mobil. Saat malam turun, mereka akhirnya sampai.
Begitu mobil berhenti, Aiden menatap sekeliling. Hanya ada hutan lebat, gelap, dan sunyi mencekam. Angin malam bertiup dingin, membawa aroma lembap dedaunan. Lampu mobil seolah menjadi satu-satunya cahaya di dunia yang kelam itu.
"Suruhan kamu tidak salah, kan, memberi alamatnya?" bisik Aiden, suaranya bergetar tipis. "Tempat ini menyeramkan sekali."
ttp semangattt d
sabar menunggu update nya