NovelToon NovelToon
CINTA ANTARA DUA AGAMA

CINTA ANTARA DUA AGAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: MUTMAINNAH Innah

Kamu anak tuhan dan aku hamba Allah. Bagaimana mungkin aku menjadi makmum dari seseorang yang tidak sujud pada tuhanku? Tetapi, jika memang kita tidak berjodoh, kenapa dengan rasa ini...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MUTMAINNAH Innah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

30

Aku mencoba mencari tahu tentang pemesan novelku yang berdomosili di London beberapa waktu lalu itu. Setelah di selidiki, ternyata dia tidak bernama Jasson. Marketerku bahkan kuminta untuk menyelidiki siapa orangnya. Namun dari penyelidikan kecil itu ternyata wanita yang memesannya.

Firasatku tetap mengatakan bahwa dia memanglah Jasson yang bisa saja meminta bantuan pada orang lain untuk memesankan untuknya. Tetapi jika dugaanku ini benar, untuk apa dia menyembunyikan semuanya dariku? Ingin rasanya aku berkomunikasi lagi dengannya walaupu untuk yang terakhir kalinya.

Malam sudah larut, kulihat Aisyah masih kuat membaca novelku. Sedangkan aku mulai menyiapkan kerangka cerita baru lainnya di depan komputer, di sudut ruangan ini.Kamu beneran nggak pernah lagi bertemu dengan Jasson ini?" tanyanya lagi.

"Iya," sahutku pelan.

"Di sini kamu katakan tetap ingin menikahi atasanmu. Maksudnya Bang Rahman?" Aisyah serius menatapku.

Aku lalu menyimpan ketikanku dan mematikan komputer. Sepertinya obrolan malam ini sangat serius dan aku nggak mau keseriusan ini terganggu oleh pekerjaanku. Setelah mematikan komputer aku beranjak ke samping Aisyah.

"Iya, jika memang kami berjodoh. Aku berusaha untuk melupakan Jasson sekuat yang kubisa. Tetapi kemaren, ada seseorang yang memesan novel ini dari London. Tempat yang setahuku Jasson juga ada di sana. Aisyah maafkan aku," paparku penuh rasa bersalah.

Aku tahu bagaimana perasaannya kini setelah tahu jika sedikit banyaknya, Jasson masih punya tempat di sudut hati ini. Jika aku ada di posisinya, tentu aku merasa abangku dipermainkan.

"Tidak perlu minta maaf, Nayla. Di satu

tiba. "Kok aku sedih sih?" tanya Aisyah tiba-

"Kenapa, Aisyah?" tanyaku sambil menghentikan sejenak kegiatanku mengetik.sisi, aku bahagia jika akhirnya kita bisa terikat

dalam hubungan keluarga. Kamu tidak lagi seperti teman bagiku, tetapi lebih dari itu. Kamu seperti saudara perempuan bagiku. Namun di sisi lain, karena kamu sudah seperti keluarga inilah, aku tetap bahagia atas kebahagiaanmu nanti. Dengan Bang Rahman atau pun tidak, kita akan tetap saudara 'kan?" paparnya.

Hatiku terenyuh. Benar-benar hatinya seluas samudra. Padahal jika dia marah padaku pun aku bisa memaklumi. Malah ternyata dia mengatakan sesuatu yang benar-benar di luar dugaanku.

"Harusnya kamu marah, Aisyah. Aku tentu sudah mengecewakanmu, dan bahkan mungkin Pak Rahman." Aku mengakui kesalahanku.

"Tidak Aisyah. Kita sama-sama manusia biasa. Kita adalah tempatnya khilaf dan Allah yang maha membolak-balikkan hati. Mungkin sekarang kamu masih dilema antara menunggu dia yang sudah lama menghilang atau melanjutkan ke tahap yang lebih serius dengan Bang Rahman. Tapi mana tau besok, Allah sudah membukakan hati untukmu menerima Bang Rahman. Kita tak pernah tahu," papar Aisyah begitu bijak.

"Amin, Allahuma Amin," ucapku sambil menatap kagum ke arahnya.

***

Siang ini, kulihat novelku sudah tersusun rapi di atas meja Pak Rahman bersama buku catatan lainnya. Ternyata Aisyah sudah memberikan buku itu padanya. Aku juga nggak tahu kapan buku itu sampai ke tangannya.

Bagaimana ya dengan Jasson di London sana? Kapankah buku pesanannya akan sampai? Aku belum berkomunikasi lagi dengan marketerku terkait pengiriman buku ke London itu. Kuharap dia akan segera pulang menemuiku.

Jika memang dia tulus mencintaiku dia pasti akan memperjuangkan cintanya. Jika tidak, kemungkinan besar aku memang akan menerima saja perjodohan dengan Pak Rahman.

Jujur belakangan ini, rasa padanya sudah mulai tumbuh. Seiring dengan lebih dekatnva hubunganku dengannya sekarang. Meskipun kami bicara hanyalah masalah pekerjaan saja, tetapi dia tak lagi sedingin dulu padaku. Jika kuingat-ingat, perubahannya itu terjadi sejak aku memakai cadar. Mungkin memang bercadar adalah salah satu kriteria istri idamannya.

Bunyi bel pulang membuat seluruh pikiranku buyar. Kukemasi semua barang-barang kecilku dan kumasukkan ke dalam tas. Aku langsung menuju asrama. Baru saja hendak menaiki tangga, ponselku berbunyi.

Ternyata telepon dari umi.

"Assalamualaikum, Mi." Aku memperlambat langkah.

"Hari ini kamu pulang, ya," pinta umi.

"Umi kenapa?" tanyaku cemas.

"Umi nggak kenapa-kenapa, Nak. Ada hal penting yang harus umi bicarakan. Umi sudah izin dengan Pak Yahya," papar umi.

"Bagaimana dengan Aisyah? Apakah dia juga sudah tahu ini?" tanyaku lagi.

"Sudah, Nak. Kamu langsung pulang saja," sahut umi. Perasaanku nggak enak takut ada apa-apa dengan umi atau abi. Cepat-cepat aku berbalik arah menuju parkiran.

Tanpa pamit dengan siapapun di sekolah itu, aku langsung pulang menemui umi.

Nggak bisa berlama-lama aku mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi sambil terus berdoa minta keselamatan dan mendoakan agar tidak ada apa-apa dengan umi atau pun abi.

Sampai di rumah aku tidak sempat lagi memasukkan mobil ke garasi. Aku parkir di depan teras rumah dan langsung masuk.

Ternyata benar, tidak ada apa-apa yang terjadi. Umi dan abi malah sedang santai di ruang depan.

"Ada apa, Mi?" tanyaku begitu sampai di depan pintu.

"Duduk dulu," ucap umi.

Aku kemudian duduk di hadapan mereka berdua dengan penuh tanda tanya.

"Begini, pihak Nak Rahman meminta untuk secepatnya taaruf denganmu. Ini lebih baik, Nak. Karna kedekatan kalian nggak bisa terlalu lama. Takutnya nanti malah digoda syetan." Abi mulai pembicaraan. Sekarang aku mulai tahu arahnya ke mana.

"Iya, Nak. Umi dan abi benar-benar tidak memaksa kamu untuk mau menikah dengannya. Bagaimana pun yang menjalani semuanya adalah kamu dengannya. Kami sebagai orang tua hanya ingin yang terbaik dengan mengenalkan kalian." Sekarang giliran umi yang bicara.

"Apakah tidak terlalu cepat, Bi? Tanyaku.

"24 tahun sudah waktunya, Nak. 24 tahun itu sudah dewasa," jawab abi.

Aku lalu menatap umi. Umi mengangguk seperti membenarkan apa yang di katakan abi. Sebenarnya pendapat abi itu memang nggak salah. Di pesantren itu banyak teman-teman yang seumuran denganku dan mereka sudah menikah bahkan ada yang sudah punya anak. Mungkin maslahnya bukan di usia, tetapi di hatiku yang masih belum terbuka lagi setelah tertutup rapat oleh kejadian setahun lalu yang masih membekas hingga kini.

"Umi, abi, Nayla minta maaf. Nay sudah berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Tetapi masalah hati, nay memang belum bisa membukanya lagi. Entah kenapa rasanya begitu sulit. Nay takut jika membuka hati lagi, lalu akan ada halangan lagi nantinya dan Nay kecewa lagi. Nay belum siap, Bi, Mi," paparku lalu menatap mereka bergantian.

"Tapi kala itu hubungan kalian tidak syari, Nay. Kalian tidak taaruf. Kalian pacaran!" Nada bicara abi mulai naik.

Hatiku terasa perih menyaksikannya. Terakhir abi bicara seperti ini padaku ketika terakhir bertemu dengan Jasson. Apakah abi masih egois dengan memaksakan kehendaknya untuk menjodohkanku dengan Pak Rahman?

"Nay, umi mohon. Kamu taaruf saja dulu. Dia orang yang sangat baik, bertanggung jawab, dia idaman banyak muslimah lainnya. Jika setelah taaruf itu kamu memutuskan untuk tidak melanjutkannya nggak apa-apa. Jadinya Nak Rahman pun tak terhalang untuk Jadinya Nak Rahman pun tak terhalang untuk taaruf dengan gadis lain." Dengan lembut umi membujukku.

Srrr, darahku berdesir ketika umi

mengatakan Pak Rahman akan mencari gadis lain. Mungkin nggak ada salahnya kuterima taaruf ini. Jangan sampai nanti, Jasson nggak kembali dan Pak Rahman yang memang idaman kaum muslimah ini lepas ke tangan gadis lain. Mungkin akan lebih susah lagi bagiku untuk membuka hati.

"Baiklah, Mi. Nay akan coba," sahutku tertunduk.

"Alhamdulillah," ucap umi sambil bertatapan dengan abi.

Kulihat juga raut wajah bahagia kini ada di wajah abi.

"Kalau begitu, abi akan mengabari Yahya agar segera merencanakan taaruf ini." Abi terlihat begitu bersemangat.

Bismillah, kuserahkan semuanya pada Allah. Berdasarkan kesepakatan bersama, hari ini aku dan Pak Rahman akan berkenalan lebih jauh. Pertemuan ini dilakukan di ruangan yayasan bersama Aisyah.

Usai mengajar, aku masuk ke kantor yayasan setelah menunggu sekolah sepi karena kesepakatan lainnya adalah pertemuan ini jangan sampai diketahui guru-guru lain dulu karena takut mendatangkan fitnah dikemudian hari.

"Assalamualaikum," ucapku ketika memasuki ruangan yayasan yang kali ini terasa sedikit panas. Keringat mulai terasa menjalar dibagian kepala.

"Waalaikumsalam, ayo Nayla. Aku dan Bang Rahman sudah lama menunggu," ucap Aisyah sambil menggeser tubuhnya ke tepi kursi sofa di ruangan itu, sehingga aku bisa duduk di sampingnya.

"Maaf, Pak, lama menunggu. Tadi saya menunggu kantor sepi dulu, nggak enak kalau ada yang melihat," ucapku setelah duduk di samping aisyah. Sementara Pak Rahman berada di kursi lain di sisi kanan Aisyah menghadap ke arah kami berdua.

"Tidak apa-apa, Bu, karena ini diluar jam kerja, panggilannya boleh lebih santai aja. Biar lebih akrab," ucap Pak Rahman dengan senyuman ramahnya. Hal yang jarang sekali terlihat.

Kursi yang pendek membuatnya duduk sedikit membungkuk karena kedua tangannya yang bertaut kini bertumpu pada lutut. Sementara aku duduk lurus sambil sedikit menunduk.

"Santai, Nay. Santai," oceh Aisyah mencairkan suasana agar tidak terlalu kaku.

"Bagaimana novelnya, Nayla? Lancar?" tanya Pak Rahman. Untuk pertama kalinya dia memanggilku dengan panggilan nama.

"Alhamdulillah lancar, Pak," sahutku.

"Laki-laki yang ada di novel itu gimana sekarang kabarnya?" tanyanya mengagetkan.

"Aku dan Aisyah saling pandang.

Mengisyaratkan padanya jika dia sudah terlalu jauh memberitahukan Pak Rahman tentang sosok yang kuceritakan di dalam novel itu.

"Dalam taaruf, nggak ada yang boleh di tutup-tutupi, Nay. Nggak apa-apa 'kan jika Bang Rahman tahu?" tanya Aisyah seenaknya.

'Telaat Aisyah! Telaaat!' Seruku dalam hati. Dia udah bilang ke Pak Rahman duluan baru nanya ke aku.

"Emm-, aku nggak tahu lagi, Pak. Sejak kepergiannya itu aku nggak pernah tahu apa-apa lagi darinya." Aku menjawab dengan jujur.

"Kamu nggak mencarinya?" selidiknya.

"Nggak, Pak. Karena memang tidak ada restu dari orang tuaku," sahutku sedikit deg-degan karena aku nggak nyangka jika Pak Rahman akan menanyakan Jasson, bukan aku.

"Jika dapat restu dari orang tua, dan dia sudah mualaf bagaimana?" Bicaranya begitu serius.

"Kalau kedatangannya sebelum ada orang yang mengkhitbah, aku akan menerimanya kembali. Namun, jika dia datang setelah ada seseorang yang mengkhitbahku, tentu aku akan melanjutkan menikah dengan calon imamku," sahutku.

Suanasa hening seketika. Dia tidak menanyakan apapun lagi. Aku jadi berpikir, apakah aku melakukan kesalahan dalam menjawab pertanyaannya.

"Kalau begitu abang harus mengkhitbah Nayla secepatnya," celoteh Aisyah sambil tertawa menggoda abangnya.

Pak Rahman tertawa, manis sekali. Aku juga tertawa dibalik cadarku sambil menundukkan pandangan. Aisyah benar-benar bisa mencairkan suasana.

"Sekarang giliran kamu, silahkan jika ada yang mau ditanyakan," Ucapanya membuatku sedikit lega.

"Baik, sebelum denganku apakah Bapak sudah pernah taaruf dengan wanita lain?" Aku malah ikutan seperti dia. Bukannya menanyakan tentangnya malah aku lebih ingin tahu dengan masa lalunya. Nggak pernah," sahutnya. Ternyata aku yang pertama.

Sepertinya aku benar-benar harus memikirkan hubungan ini lebih matang. Jangan sampai aku membuatnya kecewa dan takutnya nanti berdampak pada hubungan dia selanjutnya dengan orang yang baru. Seperti Jasson yang sudah berbuat itu padaku. Sehingga kini aku ragu untuk memulai hubungan dengan yang lain.

"Jika dekat dengan seseorang?" Aku memancingnya untuk menceritakan sosok cinta monyetnya yang pernah diceritakan Aisyah kepadaku.

"Pernah, tetapi hanya hubungan anak-anak yang tidak serius. Sekedar suka-sukan saja semasa SMP. Saat itu aku belum begitu dalam mempelajari agama. Namun hubungan itu hanya berjalan beberapa minggu saja karena akhirnya aku takut juga jika ketahuan umi dan abi. Setelahnya, kita sudah melanjutkan kehidupan seperti biasa, nggak meninggalkan banyak kenangan dan nggak ada masalah juga sih," paparnya. Dilihat dari cara bicaranya, sepertinya kedekatan itu memang nggak begitu berkesan sehingga tidak meninggalkan kenangan juga baginya. Berbeda ketika aku yang langsung gugup ketika ditanya soal Jasson.

"Mungkin bisa diceritakan dulu biografi masing-masing," ucap Aisyah melihat ke arahku.

"Aku duluan?" tanyaku.

"Boleh." Pak Rahman yang menjawab.

"Baik, aku lahir dan dibesarkan di kota ini. Mungkin karena aku anak satu-satunya, jadinya umi dan abi terlalu posesif, mengatur hubungan dengan orang-orang di sekitar. Sehingga aku menjadi kuper. Sebab, aku nggak bisa mengikuti sebagian besar kegiatan teman-teman yang dianggap banyak mudaratnya oleh umi dan abi. Kuliah di luar kota dan jauh dari orang tua membuat beberapa hal yang dulunya kutahan kadang kulepaskan di sana. Tetapi insha Allah tidak diluar batas. Apa yang kulalui masih di dalam garis kewajaran menurutku. Satu-satunya khilaf yang pernah kulakukan ya dekat dengan Jasson itu. Itu pun kita menjalin kedekatan tanpa ada hubungan khusus. Namun memang, setelah mencoba untuk saling menjauh akhirnya kita sepakat untuk berjuang agar kedekatan ini dapat menjadi hubungan yang lebih serius. Aku ngnya, kedatangannya untuk melangkah ke arah itu ditentang keras oleh abi. Sekarang, setelah abi menyuruhku mengajar di pesantren ini, aku banyak belajar di sini. Bersama orang-orang hebat di lingkungan ini, sehingga terbuka hati aku untuk membuka lembaran hidup baru yang lebih bermanfaat dari pada terus-terusan memikirkan masa lalu." Aku mengakhiri ceritaku.

"Kalau aku, lahir dan besar juga di kota ini. Berbeda dari rata-rata anak seusiaku yang suka main ke sana-sini, kalau aku nggak. Aku orang yang lebih nyaman di rumah. Mulai dekat dengan agama sejak abi memaksaku mondok sejak lulus SMP. Di sanalah aku mulai mendalami agama. Karena aku awalnya bukan anak penurut, berbeda dengan Aisyah yang memang sejak kecil nurut dan jauh lebih islami dariku. Lulus mondok aku mendapatkan beasiswa untuk kuliah di kampus terbesar di arab saudi, sekaligus melanjutkan S2 di sana. Sempat bekerja di sana selama dua tahun sebagai asisten dosen, abi memintaku untuk pulang. Katanya lebih baik membangun negeri sendiri. Lalu dibangunlah sekolah ini. Baru saja sekolah ini selesai, abi ingin aku segera menikah. Jujur rasanya masih berat, jadi suami itu memang berat. Harus siap lahir bathin dan aku masih belum seutuhnya siap untuk itu. Tetapi abi terus dan terus meyakinkan. Namun mantapnya aku untuk taaruf bukan karena dorongan yang kuat dari abi saja. Melainkan karena aku sudah yakin. Yakinnya itu sejak Ibu memutuskan untuk bercadar. Entah kenapa dari dulu aku menginginkan wanita bercadar untuk menghabiskan sisa waktuku.

Karena, istilahnya aku nggak bersusah payah lagi memintanya nanti untuk itu karena calonku sudah melakukannya sendiri dari hati. Sejak ibu bercadar, wajah ibu sering membayang. Aku nggak ingin ini nantinya menjadi dosa bagiku sendiri. Barang kali menjadi dosa bagiku sendiri. Barang kali sudah tiba waktunya aku untuk menikah, dan setelah berpikir berkali-kali, setiap kali itu juga hatiku kini sudah mantap untuk itu. Tetapi bagaimana dengan ibu? Apakah sudah siap menikah? Dan apakah itu denganku?"

Deg, deg, deg, kali ini jantungku terlalu kuat memompa. Keringat dingin terasa mengguyur seluruh tubuh.

1
Mugiya
mampir
Nha: oke kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!