Sebagai pembaca novel akut, Aksa tahu semua tentang alur cerita, kecuali alur ceritanya sendiri. Hidupnya yang biasa hancur saat sebuah buku ungu usang yang ia beli mengungkap rahasia paling berbahaya di dunia (para dewa yang dipuja semua orang adalah palsu).
Pengetahuan itu datang dengan harga darah. Sebuah pembantaian mengerikan menjadi peringatan pertama, dan kini Aksa diburu tanpa henti oleh organisasi rahasia yang menginginkan buku,atau nyawanya. Ia terpaksa masuk ke dalam konspirasi yang jauh lebih besar dari cerita mana pun yang pernah ia baca.
Terjebak dalam plot yang tidak ia pilih, Aksa harus menggunakan wawasannya sebagai pembaca untuk bertahan hidup. Ketika dunia yang ia kenal ternyata fiksi, siapa yang bisa ia percaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Equinox_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wajah Yang Tak Asing
Aksa menjanjikan kepada Auriel untuk memberikan buku itu sesuai kesepakatan saat berada di akademi.
Di lain sisi, Aksa mencoba mengulur waktu selama mungkin dengan berbagai alasan untuk tidak memberikan buku itu. Harapannya, saat dia mengulur waktu, ibunya sudah bangun.
“Aksa, di mana bukunya?” tagih Auriel yang berpapasan di pintu masuk akademi.
“Ah, bukunya tertinggal di rumah,” jawabnya sambil memalingkan pandangan.
Beberapa hari ia telah memberikan berbagai alasan untuk mengulur waktu.
Pemikirannya terlalu naif. Auriel sudah tak tahan dengan kelakuan Aksa yang mempermainkannya. ”Aksa! Kau benar-benar keterlaluan, ya! Sepulang dari akademi ini, aku serius akan kembali ke rumah sakit dan tak peduli apa pun!” geramnya.
Rencana Aksa gagal. Mau tidak mau, ia harus menepati janjinya.
“Baiklah, nanti sepulang dari akademi, temui aku di ruangan klub.”
Lawan bicaranya yang sedang marah itu hanya mengembuskan napasnya, seolah kali ini ia benar-benar serius.
.
.
Di ruangan Kepala Akademi, seseorang sedang mencoba berbicara dan meminta izin kepada sang Kepala Akademi. “Tuan Bright yang terhormat, sudah lama kita tidak bertemu,” sapa Ms. Jenna dengan salam penghormatan. “Kedatangan saya kemari bertujuan untuk melakukan investigasi lebih lanjut terkait pembantaian di Kuil Klinx.”
“Ya, sudah lama, Ms. Jenna. Apa maksudmu dengan investigasi? Apakah guru pengajar yang di sini dicurigai sebagai pelaku?”
“Ah, maaf atas kelancangan saya. Maksud saya adalah satu-satunya saksi penting yang melihat kejadian itu. Ia adalah seorang murid di akademi ini.” Ia menyodorkan lampiran dokumen identitas kepada Kepala Akademi.
Mr. Bright, sang Kepala Akademi, sudah tidak asing dengan Ms. Jenna karena mereka sering bertemu ketika ada permasalahan khusus yang telah menimpa kekaisaran. Dalam beberapa waktu, mereka bisa bekerja sama jika memang memiliki penugasan yang sama oleh sang Kaisar.
Mr. Bright menerima dokumen itu dan membacanya. 'Aksa?' Seperti biasa, sebelum ia mengatakan sesuatu, ia menyeruput secangkir kopi dan perlahan berdiri. “Apa maksudmu orang yang kau berikan dokumennya adalah saksi penting dan satu-satunya saksi?” tanyanya.
“Benar, Tuan. Saat di tempat kejadian, ada sebuah artefak perekam kejadian saat malam pembantaian. Dan di dalam rekaman itu, salah satu murid Anda berada di sana di detik-detik terakhir tetua Kuil Klinx meninggal.”
Mr. Bright menghela napas dengan dalam. Ia memandangi taman-taman yang berada di depan jendela ruangannya. “Baiklah, jika memang kondisinya sangat penting, kau diizinkan untuk mencari saksi itu.”
Kenangan Mr. Bright semasa baru lulus akademi terpintas singkat di kepalanya.
Kenangan itu adalah saat ia sering merasa inferior dan gagal dalam pembuatan artefak, hingga teman dekatnya selalu mengajaknya keluar untuk menikmati pemandangan suatu tempat yang jarang dikunjungi oleh banyak orang. Di tempat itu, mereka berdua bermain dan bercerita seperti sedang piknik, melupakan semua permasalahan yang ada di dunia mereka sendiri. Ia teringat dengan kenangan indah yang ia rasakan ketika menghirup udara segar, menikmati awan biru yang berbentuk abstrak, dan dilengkapi dengan tiupan angin yang ringan.
'Arion... sebenarnya kau di mana saat ini? Anakmu, Aksa, sepertinya berada dalam masalah,' pikirnya setelah mengingat kenangan singkat dengan ayah Aksa.
“Baiklah, tunggu apa lagi jika memang sudah kuizinkan, Ms. Jenna?”
“Baik, terima kasih, Mr. Bright.” Wanita itu berpamitan kepada seorang yang memang ia hormati dari lubuk hati yang terdalam.
Mr. Bright sudah sering memberinya kemudahan dalam memecahkan beberapa kasus yang ia selidiki. Dan kali ini, penyelidikannya tanpa bersama Mr. Bright karena permasalahan ini masih belum membahayakan kekaisaran menurut sang Kaisar.
Mr. Bright mengangguk dengan senyum tipis penghormatan kepada Ms. Jenna.
.
.
Di ruangan klub usang yang tak perlu dijelaskan lagi berantakannya seperti apa, di sana telah berkumpul lengkap semua anggotanya, yaitu Aksa, Brian, dan Auriel.
“Jadi? Mana bukunya?” tanya wanita berambut pirang itu. Tidak ada wajah keramahan pada mukanya.
Seorang lelaki berambut hitam yang sedang memegang buku usang berwarna ungu itu dengan perlahan menyodorkan tangannya ke wanita itu. “Asal kau tahu, cara membuka buku ini adalah jangan pernah ada siapa pun di satu ruangan yang sama denganmu. Itu yang pertama.”
“Lalu yang kedua?”
“Jangan berteriak, cemas, atau apa pun. Berusahalah untuk beradaptasi ketika buku ini bertingkah aneh karena itu bisa menarik perhatian orang dari luar ruangan.”
Wanita bermata biru itu menyimak dengan baik. Ia menyodorkan lengannya untuk mengambil buku itu. “Lalu, apa ada lagi?”
“Ini yang paling penting. Jangan pernah sekali pun menceritakan isi buku ini kepada siapa pun. Ini peringatan keras,” jawabnya dengan enggan memberikan buku itu yang masih berada di antara kedua tangan mereka.
Tangan Auriel mencoba menarik buku itu dengan tenaganya, akan tetapi Aksa masih memeganginya dengan enggan.
“Kau ini mau sampai kapan bertindak seperti ini?” tanya Auriel.
Aksa pasrah dan melepaskan buku itu.
“Tunggu, Aksa. Apa maksudmu dengan tidak menceritakan tentang isi buku itu kepada orang lain? Bukankah kau menceritakannya kepadaku?” sela Brian yang berada di antara mereka.
“Yah, sejujurnya otak kosongmu itu tak sebagus rupamu, jadi aku tak perlu khawatir denganmu.”
Lelaki pirang itu memasang wajah masam dan memandangi Aksa dengan tatapan tajam. Ia paling sensitif jika otaknya dibandingkan dengan parasnya.
'Sial, selalu saja membandingkannya. Aku tahu aku tampan, tak seperti dirimu yang menyedihkan, Aksa,' pikirnya.
Nyiiiiit.....
Suara pintu Klub Misteri terbuka dan memecah fokus mereka bertiga.
Mereka semua memandangi seorang wanita yang berpenampilan seragam putih dengan rambut diikat ke belakang, menghampiri mereka bertiga.
“Apa kau yang bernama Aksa?” tanya wanita itu sambil menunjuk ke arah Aksa.
“Siapa kau?”
“Aku adalah Jenna dari Badan Penyelidikan Kekaisaran yang menangani berbagai macam kasus di kekaisaran,” tegasnya memperkenalkan diri.
Lelaki pirang di dalam klub melihat wanita itu memperkenalkan diri, sontak dia menyembunyikan mukanya. Ia teringat dengan seorang wanita yang ia goda ketika berkunjung ke Galeri Artefak Kekaisaran.
'Sial! Sial! Mampus aku! Aku tak tahu dia orang penting dari kekaisaran, dan kenapa dia ke sini secara pribadi, tepat ke ruangan klub ini?'
Pikiran Brian tak karuan, menyesali apa yang ia lakukan beberapa hari yang lalu.
Ms. Jenna melihat satu per satu anggota dari Klub Misteri, mulai memindai dari Aksa yang berada di tengah, ke sebelah kanannya seorang wanita berambut pirang dan mata biru, hingga pandangan akhirnya melesat kepada seorang lelaki berambut pirang dan tampan yang mencoba membuang muka.
“Aha... wajahmu tak asing, ya, Nak. Apakah kita pernah bertemu di suatu tempat?” sindir Ms. Jenna sambil mengepalkan tangannya. Ia seolah memberi peringatan agar tak macam-macam dan akan melakukan hal yang sama jika laki-laki itu bertingkah.
“Entahlah, ya,” jawab Brian.
Aksa dan Auriel hanya memandangi percakapan mereka berdua hingga Ms. Jenna tidak basa-basi lagi memberikan tujuan dan maksudnya ia datang kemari.
“Aksa, kau harus ikut denganku ke Galeri Artefak Kekaisaran saat ini juga. Ini permintaan yang tak bisa ditolak, dan jika kau menolak, maka kau akan dituduh mendukung penghambatan suatu kasus,” tegasnya.
Mata Brian tersentak dengan pernyataan wanita itu. “Whoa... santai, ada apa ini? Temanku bukanlah seorang kriminal. Jangan tegas begitu,” selanya sambil mengangkat kedua tangannya.
“Tidak, dia memang bukan kriminal, akan tetapi dia adalah saksi terakhir dari pembantaian Kuil Klinx.”
Badan Auriel tak bisa terkontrol, mengarah pada Aksa setelah apa yang dilontarkan dari Ms. Jenna. 'Pembantaian Kuil Klinx? Saksi terakhir?' Tiba-tiba, keluhannya tentang buku misterius itu terasa sepele jika dibandingkan dengan apa yang ia tahu sekarang.
Semua mata tertuju pada Aksa, penasaran apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu, kecuali Brian yang sudah mengetahui dari cerita Aksa.
'Sial, sudah kuduga bakal merepotkan. Seharusnya aku tak datang kembali setelah peristiwa tragis itu,' pikirnya, yang salah paham bahwa ia dikenali ketika datang sebelum diserang oleh kedua sosok misterius.