Riyani Seraphina, gadis yang baru saja menginjak 24 tahun. Tinggal di kampung menjadikan usia sebagai patokan seorang gadis untuk menikah.
Sama halnya dengan Riyani, gadis itu berulang kali mendapat pertanyaan hingga menjadi sebuah beban di dalam pikirannya.
Di tengah penantiannya, semesta menghadirkan sosok laki-laki yang merubah pandangannya tentang cinta setelah mendapat perlakuan yang tidak adil dari cinta di masa lalunya.
"Mana ada laki-laki yang menyukai gadis gendut dan jelek kayak kamu!" pungkas seseorang di hadapan banyak orang.
Akankah kisah romansanya berjalan dengan baik?
Akankah penantiannya selama ini berbuah hasil?
Simak kisahnya di cerita ini yaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permasalahan Dengan Teteh Ipar
Bapak dan mamah masuk ke ruang perawatanku. Sontak anak sulungnya langsung beranjak dari ranjang pasien—menghadap kedua orangtuanya yang kini terlihat begitu marah padanya.
"Bilang sama bapak, apa yang barusan kamu bilang itu gak bener Davis?" tanya bapak dengan nada tegasnya.
Abang terlihat begitu gugup sekarang, apalagi memang ini terjadi karena istrinya.
"Pak, abang gak pulang semalam. Bahkan dia yang bawa neng tadi jam 3 pagi," jawabku membuat bapak dan juga mamah menoleh.
Mamah menoleh padaku, "tapi kenapa kamu tidur di luar neng?" tanyanya.
Aku menoleh pada abang yang masih menunduk tidak berani menjelaskan.
"Mah, pak, neng yang salah karena kemarin kemaleman pulangnya. Neng abis cari kost sama A Hanif, terus kesorean pulangnya bahkan udah gelap," jelasku.
"Tapi kan gak mungkin neng, teteh kamu dari magrib udah tidur!" timpal bapak.
Lagi-lagi aku menoleh pada abang. Jelas-jelas mereka selalu seperti itu jika pulang dari tempat kerjanya. Masuk kamar dan keluar hanya untuk mandi juga makan. Tidak ada hal lain lagi.
Bapak menoleh pada anak sulungnya, "kamu kan udah berangkat kerja. Bukannya hari kemarin kamu libur barengan sama istri kamu?"
"Terus tadi juga bapak denger neng ditemenin Hanif nyari kost, siapa Hanif?" tanyanya padaku.
"Abang tadi sempet pergi sama teteh keluar pak, makanya neng ditemenin A Hanif nyari kostnya. Terus A Hanif itu—"
"Assalamualaikum neng!!"
Aku menoleh pada pintu ruangan yang baru saja dibuka seseorang, "aa? kok di sini?" tanyaku terkejut melihat Hanif sudah ada di rumah sakit—padahal ini jadwal liburnya.
Hanif masuk ke ruanganku, laki-laki itu bersalaman pada bapak, mamah dan juga abang. Ia juga membawa beberapa makanan yang sempat dibelinya di jalan tadi.
"Kok bisa tau kalau neng di sini?" tanyaku.
"Jawab dulu salamnya,"
Aku tersenyum padanya, "waalaikumsalam aa. Kok bisa di sini sih?"
Hanif tersenyum, "tadi pagi di kasih tau sama Adri. Katanya pas dia mau masuk kerja, dia liat kamu dibawa ke ruang perawatan. Makanya Aa langsung buru-buru ke sini. Kenapa sih?" tanyanya.
"Ekhemmmm....."
Mendengar suara bapak, aku dan Hanif langsung menoleh pada pria paruh baya itu.
"Pak, Mah, tadinya neng mau kenalin Aa hari ini di rumah. Cuman karena keadaannya kayak begini, di sini aja ya!" ucapku membuat bapak menggertak keningku pelan.
"Bisa-bisanya punya calon suami baru dikenalin sekarang, mana di rumah sakit lagi," ucapnya.
Aku menoleh pada bapak lalu pada Hanif yang menahan senyumannya menatapku.
"Bapak!!" protesku membuat bapak dan juga mamah terkekeh pelan melihatnya.
Hanif membungkuk dengan hormatnya, "saya hanif, Pak."
"Kita pernah ketemu waktu neng dirawat juga kan?" tanya mamah.
Hanif mengangguk, "iya bu."
Bapak mendecak, "panggilnya mamah sama bapak aja. Gak usah sungkan."
Hanif hanya mengangguk lalu menoleh padaku dengan senyumannya.
Abang keluar saat kita asik mengobrol dengan Hanif. Aku sempat menoleh pada pintu ruangan yang ditutup pelan olehnya. Dia juga pasti lelah dan mengantuk karena baru kembali dari tempat kerjanya lalu mengurusku untuk masuk ke rumah sakit.
Di sisi Abang
Laki-laki itu baru saja kembali ke rumahnya. Sang istri sedang menikmati kopi dengan gorengan di kursi teras yang semalam adik iparnya duduki.
Davis dengan wajah kesalnya berdiri di hadapan sang istri, "bisa gak kamu gak bikin masalah sama keluarga aku?"
Lia—sang istri mendelik dengan dongakannya, "apasih kamu a?" tanyanya pura-pura tidak tahu, "datang-datang marah begini. Harusnya pulang kerja tuh tanya istri udah sarapan apa belum."
"Harusnya istri yang tanya, Lia. Suami kemana dulu baru pulang jam segini, terus udah sarapan apa belum, mau minum apa. Bukan malah tanya kamu yang jelas-jelas udah aku bisa liat aktivitas kamu sekarang," ucap Davis.
Lia berdiri—berhadapan dengan Davis yang kini terus menatapnya tajam, "aku gak peduli kamu udah sarapan apa belum, yang aku pedulikan hanya uang gaji kamu yang harusnya udah transfer ke aku tapi gak ada. Kemana uang itu a?"
Davis mengedarkan pandangannya, "uang... uang... uang.... dan uang. Itu yang hanya ada di pikiran kamu, gak masalah kah kalau kita terus hidup kayak begini? Rumah tangga kita semuanya masing-masing kecuali tentang uang. Iya lia?" tanyanya dengan wajah yang sudah muak.
"A, aku ini istri kamu. Sudah sewajarnya dong aku menanyakan gaji kamu," timpal Teh lia.
Davis menyeringai, "wajar. Tapi kamu gak melakukan kewajiban seorang istri, itu yang gak wajar. Aku sudah berikan nafkah dan juga perhatian sesuai dengan yang kamu mau. Tapi apa? Istri macam apa kamu lia?"
"Aku belain kamu di hadapan keluarga aku, bahkan aku juga gak bisa berbuat lebih saat adik aku sakit dan butuh biaya. Tapi kamu malah semakin semena-mena, apalagi memperlakukan adik aku," sambung Davis.
"Karena dia hanya seorang adik,"
"Justru karena dia adik aku, aku harus jaga ikatan kita agar tidak pernah terputus hanya karena perlakuan seseorang ipar," timpal Davis lalu pergi masuk ke rumahnya dengan kesal.
Laki-laki itu bahkan membanting pintu kamarnya hingga cukup terdengar keras.
Beberapa tetangga mulai memperbincangkan mereka, apalagi teh lia yang tidak kunjung hamil, lalu kerap lembur dalam bekerja sampai suaminya tidak terurus.
Kembali ke sisi Riyani
Siangnya, bapak dan juga mamah pergi mencari makan di kantin. Sedangkan aku ditemani Hanif—makan siang di ruangan.
"Aa emangnya gak bosen diem terus di sini?" tanyaku.
"Kamu gak mau ditemenin sama Aa?" tanyanya.
Aku terkekeh mendengarnya, "ya enggak gitu juga A. Cuman kan biasanya orang kalau lagi libur kerja itu kalau gak istirahat di rumah ya main."
"Ya udah anggap aja ini main. Kan awalnya mau kenalan sama bapak juga mamahnya di rumah kamu. Tapi tiba-tiba di sini kamunya," ucap Hanif.
"Maaf ya A!"
Hanif tersenyum, "gak apa-apa. A juga justru panik pas denger Adri bilang tadi liat kamu dibawa ke ruang perawatan katanya."
Aku terkekeh pelan, "padahal cuman demam juga."
"Cuman.... cuman. Orang pada panik tau, lagian ngapain tidur di luar rumah sih?" tanya Hanif.
Aku sempat menunduk mendengarnya.
"Neng, kamu gak mau cerita sama siapapun?" tanya Hanif memperhatikanku.
Setelah beberapa waktu terdiam, aku mendongak padanya, "sebenernya neng gak sengaja tidur di luar."
"Gak sengaja gimana ceritanya?" tanya Hanif lagi.
"Waktu Aa pulang, neng sempet mau buka pintunya tapi dikunci dari dalem. Sedangkan neng juga gak punya kunci cadangan atau kunci rumah yang dibawa sama neng. Pas neng coba ketuk gak ada jawaban, neng juga sempet telepon abang sama teteh berulang kali tapi gak ada yang jawab satupun. Sampe adzan isya, neng mulai kedinginan dan akhirnya tidur terus sadar-sadar ada di sini sama abang," jawabku.
Hanif menghela napasnya, lalu menggelengkan kepala, "teteh ipar kamu yang buat ya?"