Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
"Hannah, ayo, kejar aku!" seru seorang anak perempuan dengan rambut dikepang dua, wajahnya berseri-seri. Dia berlari menembus sinar matahari yang menyusup di antara ranting pohon. Tawanya pecah, menggema di pekarangan belakang rumah.
"Sani, tunggu!" teriak seorang anak kecil lainnya. Rambutnya diikat dengan pita merah muda, napasnya memburu saat berlari mengejar. Pipi bulatnya memerah karena semangat.
"Ayo, kita balapan! Siapa yang sampai duluan akan mendapatkan jambu yang banyak dari Kak Sam!" kata Sani sambil menoleh ke belakang, matanya bersinar penuh semangat.
"Aku mau dua!" jawab Hannah kecil dengan suara riang, matanya tertuju pada pohon jambu yang berdiri megah di ujung halaman.
Namun, dalam sekejap, suasana ceria itu berubah. Semua menjadi gelap. Pekarangan yang cerah digantikan lorong sempit dan gelap. Aroma tanah lembap dan kayu tua memenuhi udara. Hannah kecil tampak kebingungan, matanya membelalak saat bayangan besar menjulang di hadapannya.
"Pergi! Pergi! Cepat pergi! Sebelum aku patahkan kakimu!" suara itu menggelegar, dingin, dan mengandung ancaman yang menusuk. Suara laki-laki dewasa yang tidak dikenalnya—atau barangkali terlalu ingin dia lupakan.
Sementara itu, di dunia nyata, tubuh Hannah menggeliat di atas tempat tidurnya. Keringat membanjiri wajahnya meski udara malam terasa dingin. Napasnya memburu, dan matanya bergetar di balik kelopak yang tertutup.
Pak Baharuddin duduk di sisi tempat tidur, menyeka keringat dari dahi putrinya dengan tangan gemetar. Hatinya mencelos. Hannah tampak tidak hanya demam, tapi juga seolah terperangkap dalam mimpi buruk yang begitu menyakitkan.
"Hannah, bangun," bisiknya pelan, nyaris seperti doa. Namun, Hannah tetap tak merespons, hanya menggeliat pelan seperti terjebak dalam dunia yang tak bisa disentuh siapa pun.
Tatapan Pak Baharuddin panik. Sudah beberapa malam putrinya terlihat tidak sehat, tapi malam ini demamnya benar-benar tinggi. Rasa takut yang lama mengendap kini muncul ke permukaan—takut kehilangan anaknya untuk kedua kalinya, walau dalam wujud yang berbeda.
“Sebaiknya aku panggil dokter. Demamnya malah semakin tinggi,” gumamnya cemas. Dia segera mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.
Untunglah, sekitar tiga puluh menit kemudian, Dokter Andika datang. Walau waktu sudah lewat tengah malam, wajah dokter itu tetap tenang. Ia segera memeriksa Hannah, lalu memasang infus dan mencampurkan obat ke dalam cairannya. Jarum menembus kulit Hannah dengan cepat, dan tetesan pelan mulai mengalir masuk.
"Bu Hannah sepertinya pernah mengalami trauma berat," ucap Dokter Andika sambil membereskan peralatannya.
"Maksud Pak Dokter?" tanya Pak Baharuddin. Suaranya pelan, seperti takut mendengar jawaban sebenarnya.
"Kelumpuhan yang terjadi pada Bu Hannah itu bukan karena suatu penyakit fisik. Tapi, lebih kepada kondisi psikologis yang berat. Ada tekanan mental atau trauma emosional yang sangat kuat."
Kening Pak Baharuddin berkerut. Ucapan itu mengguncang keyakinannya. Ia merasa selama ini telah melakukan yang terbaik untuk putrinya. Tapi mengapa trauma sebesar itu luput dari pengamatannya?
"Banyak anak-anak yang sulit berjalan saat kecil bukan karena tubuhnya yang lemah, tapi karena ada rasa takut yang mengunci gerakan mereka. Seperti takut jatuh, takut sakit, atau—dalam kasus yang lebih berat—takut terhadap seseorang atau situasi tertentu. Mungkin saja, Bu Hannah pernah mengalami ketakutan seperti itu, hingga tubuh dan suaranya menolak untuk berfungsi."
Mata Pak Baharuddin membesar. Ingatannya melayang ke masa lalu. Semua terasa berantakan. "Hannah menjadi bisu dan lumpuh ketika Zulaikha masih hidup. Berarti bukan karena kematian ibunya. Lalu, apa?" batinnya bergemuruh.
Pak Baharuddin berdiri mematung di sisi ranjang, sementara Hannah masih terbaring dalam tidurnya yang gelisah. Wajahnya yang pucat terlihat begitu rapuh, seperti bunga yang kehilangan sinar matahari.
Malam itu pun berlalu dalam diam yang penuh tanda tanya. Tidak ada jawaban pasti, hanya potongan-potongan masa lalu yang mulai menunjukkan dirinya—sedikit demi sedikit.
Semalaman Pak Baharuddin tidak tidur. Duduk di samping ranjang Hannah, matanya tak lepas dari wajah putrinya yang tampak gelisah dalam tidurnya. Nafas Hannah berat dan tubuhnya sesekali bergerak, seperti sedang berperang dalam mimpi yang kelam. Sesekali Pak Baharuddin menyeka peluh di keningnya, berbisik lirih menyebut nama Tuhan, berharap putrinya segera membaik.
Cahaya subuh perlahan merembes masuk lewat celah tirai, menerangi kamar yang semalaman penuh kekhawatiran. Ketika Hannah membuka matanya perlahan, pandangannya buram sesaat sebelum mengenali sosok ayahnya yang duduk tak jauh. Senyum lemah terukir di bibir Pak Baharuddin, namun sorot matanya basah, menyimpan kecemasan yang tak sempat diucapkan.
"Ayah kenapa?" tanya Hannah lewat gerakan tangannya yang pelan.
"Kamu demam tinggi dan membuat ayah khawatir," balas Pak Baharuddin lembut, menelan kegundahan dalam dadanya.
Hannah mengangguk pelan. Kepalanya terasa berat, tubuhnya seolah habis dihantam badai. Tapi sebagai seorang ibu, dia tahu, rutinitas tidak bisa ditunda terlalu lama. Apalagi waktu salat subuh sudah menjelang. Dia berusaha bangkit.
"Ayo, ayah bantu," ucap Pak Baharuddin cepat-cepat berdiri dan menuntunnya dengan sabar.
Kini Hannah sudah mulai terbiasa berjalan tanpa kursi roda atau kruk, setidaknya untuk jarak yang tidak terlalu jauh. Dia bergerak perlahan, sesekali berpegangan pada sisi meja atau dinding yang bisa diraihnya. Setiap langkahnya adalah bukti perjuangan—perlawanan terhadap masa lalu yang membekukan tubuh dan suara.
"Mama dan Kakek baru bangun?" Yasmin muncul dari kamar mandi, menggosok-gosok matanya yang masih mengantuk.
"Iya. Mamamu semalam demam," jawab Pak Baharuddin dengan nada pelan, tak ingin membuat cucunya panik.
"Mama sakit!" Seruan Yasmin terdengar melengking sebelum dia memeluk ibunya erat-erat, seolah pelukannya bisa menyembuhkan rasa sakit itu.
Hannah membalas pelukan putrinya dengan hangat. Lewat bahasa isyarat, dia berkata, "Sekarang sudah baikan."
"Mama jangan makan sembarangan, ya!" tegur Yasmin polos, membuat Hannah dan Pak Baharuddin tersenyum samar. Anak kecil itu mungkin belum mengerti soal trauma, tapi rasa cintanya begitu nyata.
Hannah mengangguk, matanya lembut menatap anak semata wayangnya yang tumbuh cepat namun penuh kasih.
Sementara itu, di tempat lain, malam juga tak membawa tidur bagi Arka. Di depan laptopnya, lelaki itu sibuk membuka-buka akun media sosial, matanya merah karena kelelahan. Semua jejak Karin—wanita yang sedang diselidikinya—seakan terhapus dari permukaan dunia maya.
Dua bulan tanpa aktivitas. Tak ada status. Tak ada foto. Tak ada tanda kehidupan. Padahal sebelumnya Karin dikenal aktif memamerkan desain perhiasan atau hasil pemotretan. Tapi kali ini, hening. Terlalu hening.
"Terakhir kali dia buat status sehari setelah Arman memberinya cokelat dan menginap di sana," pikir Arka, jari-jarinya berhenti mengetik.
Wajahnya tegang. Keningnya berkerut memikirkan berbagai kemungkinan. Sesuatu terasa tidak beres. Terlalu banyak yang janggal.
"Kalau tidak salah Arman bilang, orang tua Karin mempertanyakan keseriusan hubungan mereka. Apa hanya karena itu mereka langsung menghilang?" gumam Arka pelan, mencoba menyambungkan benang-benang peristiwa.
Tapi hatinya menolak jawaban yang terlalu sederhana. "Aku merasa masalah ini tidak sesepele itu."
Tiba-tiba sebuah notifikasi masuk. Arka segera membuka email dari detektif yang selama ini membantunya menyelidiki Karin dan keluarganya.
[Menurut tetangga, keluarga Karin pergi tanpa ada yang tahu. Mereka baru sadar setelah seminggu tidak melihat keberadaan orang-orang di rumah itu.]
"Sudah kuduga!" Arka bergumam pelan sambil memijat pelipisnya. Ketegangan menggelayuti seluruh pikirannya. Masalah demi masalah datang seperti gelombang besar yang tak memberi waktu bernapas.
Suara langkah pelan terdengar di belakangnya.
"Kamu tidak tidur?" tanya Arman yang muncul dengan rambut berantakan, tanda baru bangun tidur.
Arka mengangkat kepala. Matanya menatap saudara kembarnya yang kini berdiri di ambang pintu. "Aku lagi menyelidiki sesuatu," jawabnya singkat.
"Hari ini dan besok, aku izin kerja," ucap Arman, lalu duduk di kursi seberang Arka. Tak perlu banyak bicara, Mereka sudah saling memahami.
"Coba kamu selidiki keluarga Karin. Karena tetangganya tidak tahu kapan mereka pergi. Pasti ada sesuatu kenapa mereka pergi diam-diam," ucap Arka serius.
Arman mengangguk. Tidak perlu banyak alasan, karena firasat buruk mereka sama. Mereka tahu, jawaban atas misteri itu bisa mengubah hidup mereka selamanya.
***
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
siapakah pelaku yg udah buat trauma hannah 🤔
kalo krna trauma berarti hannah masih bisa disembuhkan ya,,suara yg hilang sm kelumpuhan kakinya dn pendengarannya kan bisa pake alat dengar 🤔
masih banyak yg blm terjawab dn bikin makin penasaran 🤗🤗