NovelToon NovelToon
Glass Wing

Glass Wing

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Terlarang / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Wanita / Saudara palsu / Dark Romance
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Vidiana

—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”

Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.

Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.

Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.

Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.

Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?

Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?



Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

12

“Apakah itu hanya dugaanmu… atau semua orang juga berpikir begitu?” tanya Kael dengan suara yang lebih berat dari biasanya.

Elvaro terdiam sejenak, lalu menatap langit-langit di atas mereka seakan mencari jawaban di antara awan kelabu di pikirannya.

“Aku tidak punya bukti atas apa yang kuceritakan mengenai Ferlay dan Ara,” gumamnya pelan. “Tapi bukan berarti orang-orang tidak membicarakannya. Istana Garduete penuh bisikan dan temboknya punya telinga. Banyak yang percaya Ferlay membunuh Caleb karena cinta. Tapi aku…”

Dia menghela napas, suaranya terdengar lebih lelah daripada ragu.

“Aku ingin percaya, Ferlay hanya membunuh Caleb untuk membela Ara. Karena Ara adalah adiknya. Karena dia ingin menebus rasa bersalah sebagai satu-satunya orang yang seharusnya melindunginya.”

Elvaro menatap Kael dengan sorot mata yang entah mengandung ketakutan… atau harapan.

“Karena kalau bukan itu alasannya… maka perasaan Ferlay pada Ara lebih berbahaya dari yang kita bayangkan. Dan gadis itu… mungkin sudah diklaim sejak lama, bukan sebagai keluarga—tapi sebagai milik.”

...****************...

“Bagaimana penampilanku?” tanya Ara sambil berputar pelan di depan Elvero, gaunnya ikut bergoyang mengikuti gerakan lembut tubuhnya. Rambutnya yang kini berwarna cokelat hazel tampak berkilau di bawah cahaya sore, menambahkan kelembutan baru pada wajahnya yang biasanya tenang.

Elvero terdiam sesaat.

Warna itu…

Itu adalah warna rambut Yuki Orrie Olwrendho, ibu Ara, yang dulu dikenal di seluruh daratan karena keindahannya yang mematikan. Lembut, tapi menyimpan luka yang tak bisa dijamah siapa pun. Dan sekarang, tanpa sadar, Ara membawanya kembali. Bukan hanya warnanya, tapi juga aura misterius yang mengelilingi gadis itu semakin dalam.

Riana, Raja Garduete, menyembunyikan Yuki dari dunia. Ia membiarkan istrinya dikenal sebagai sosok berkabung abadi dalam kerudung dan kain gelap, tak tersentuh, tak tergambar. Hanya segelintir orang tahu seperti apa Yuki sesungguhnya—lekuk senyumnya, warna kulitnya, dan rambutnya yang berkilau seperti madu dalam cahaya pagi.

“Kau terlihat seperti…” Elvero mengatupkan bibir, menahan kata-kata.

Ara menoleh, tersenyum. “Seperti siapa?”

Elvero akhirnya tersenyum tipis, tapi matanya tak bisa menyembunyikan bayang-bayang yang muncul. “Seperti ibumu. Waktu dia masih seumurmu.”

Ara terdiam sejenak, seolah hendak mengatakan sesuatu, namun akhirnya hanya tersenyum samar. “Kupikir warna ini akan membuatku tampak lebih… dewasa.”

Ara masih mematut diri di cermin ketika langkah sepatu berat Kael terdengar dari arah pintu. Elvero menoleh sejenak, mengangguk tipis pada sahabatnya, lalu mundur beberapa langkah memberi ruang.

Kael menghentikan langkahnya di ambang pintu. Ia tidak segera bicara. Matanya hanya terpaku pada gadis yang berdiri di depan cermin itu—wajahnya bercahaya lembut dalam pantulan kaca, dan rambutnya…

“Kau mengganti warna rambutmu,” ucap Kael pelan, nyaris seperti bisikan yang lolos tanpa izin.

Ara menoleh, sedikit canggung tapi tetap tersenyum. “Ya. Kupikir warna gelap terlalu suram untukku.”

Kael tidak langsung menjawab. Matanya masih tertahan di helaian cokelat hazel yang jatuh melintasi bahu gadis itu.

“Kenapa?” Ara menatapnya, berusaha menebak sesuatu dari raut wajah Kael yang selalu datar. “Tidak cocok?”

Kael menggeleng. “Bukan itu.”

Elvero mencuri pandang ke arah Kael. Ia tahu Kael bukan tipe pria yang peduli pada hal-hal seperti warna rambut. Tapi ekspresi Kael saat ini… terlalu jujur untuk seseorang yang selalu memakai topeng.

“Kau siap?” tanya Elvero cepat, memutus ketegangan halus di antara mereka.

Ara mengangguk. Ia mengambil mantel tipisnya, lalu melangkah ke arah Kael. Saat melintas di depannya, mereka hampir bersentuhan. Kael tidak bergerak, tapi pandangannya menatap leher Ara, lalu bahu, dan kembali ke rambut itu

“Kau akan naik kudamu yang itu lagi?” tanya Ara sambil mencoba ringan.

Kael mengangguk sekali. “Kuda itu lebih jujur daripada mesin.”

Dan tanpa sadar, ia menambahkan dalam hatinya: Dan lebih mudah dikendalikan daripada perasaan.

...****************...

Malam itu, mereka keluar berempat. Sebuah kencan ganda yang terasa canggung sejak awal. Ara yang paling muda—baru menginjak usia tujuh belas tahun—justru tampak seperti gadis lima belas: polos, bersih, dan terlalu hidup untuk malam yang terasa terlalu dewasa.

Dia melompat kecil dengan gaun selututnya yang ringan, tertawa tanpa beban, sesekali berputar dengan tangan terangkat, seperti sedang menari di atas jalan berbatu yang sepi. Gaun itu berkibar, rambut hazelnya ikut menari, dan seolah-olah dunia hanya miliknya seorang.

Sementara itu, Elvero dan Tania berjalan beriringan di belakang. Elvero menjaga jarak secara halus, seperti biasa—tampak sopan dan tenang, nyaris terlalu formal. Bahkan ketika Tania beberapa kali mencoba mendekat, menyentuh tangannya, atau menyelipkan lengan ke lengannya, Elvero tidak memberi respons lebih. Hubungan mereka, jika bisa disebut begitu, tampak seperti pertunjukan yang mulai kehilangan naskahnya.

Dan Kael… hanya berjalan di belakang Ara, tanpa suara. Tak seperti Elvero dan Tania, dia tidak berjalan berdampingan dengan siapa pun. Matanya hanya menatap punggung gadis itu—gerak ringan, tawa lembut, dan keceriaan polos yang tidak seharusnya menjadi milik gadis yang menyimpan luka sekelam milik Ara.

Dia tidak ikut tertawa. Tidak mencoba menyaingi Elvero atau menyenangkan Tania. Dia hanya mengikuti langkah Ara.

“Aku akan pergi ke sana. Beri aku uang,” pinta Ara pada Elvero, menunjuk antusias ke salah satu stand makanan berlampu jingga terang. Aromanya manis, penuh gula dan kayu manis, menarik seperti anak-anak yang melihat kembang api.

Elvero baru saja menyelipkan tangan ke saku jasnya ketika Kael tiba-tiba menarik lengan Ara tanpa peringatan.

Dengan gerakan cepat dan tegas, Kael menyeretnya menjauh dari Elvero, membuat gadis itu hampir tersandung tumitnya sendiri.

“Aku akan membayarkan makananmu,” kata Kael tanpa menoleh. Suaranya tenang, tapi terdengar seperti pisau yang baru saja diasah.

Ara memandangnya, terkejut. “Kenapa?”

Kael berhenti. Ia membalikkan tubuh, menatap Ara lurus-lurus. Matanya gelap, tak bisa ditebak, tapi penuh peringatan.

“Karena aku pacarmu,” jawabnya, datar namun dingin.

Akhirnya Ara menurut. Ia tak lagi membantah, hanya membiarkan langkahnya diseret perlahan oleh Kael.

Mereka berjalan berdampingan—atau lebih tepatnya, Kael menggenggam lengan Ara sepanjang waktu, erat dan penuh kontrol. Bukan seperti pacar yang lembut, tapi seperti seseorang yang tak ingin kehilangan sesuatu yang rapuh… atau berharga.

Genggaman itu tidak menyakitkan, namun cukup kuat untuk membuat siapa pun yang melihat mereka tahu bahwa gadis itu tidak sendiri.

Kael membantunya menerobos arus padat pengunjung, menyingkirkan bahu-bahu asing yang terlalu dekat, dan menatap tajam siapa pun yang memandang Ara terlalu lama.

Mereka telah sampai di stand makanan, aroma manis dan gurih menyeruak di antara suara riuh pengunjung. Elvero dan Tania tertinggal jauh di belakang, tersesat di antara lautan manusia.

Ara sempat menoleh, matanya mencari dua sosok itu di keramaian, tapi Kael segera berkata datar, “Biarkan mereka.”

Tanpa menjelaskan, Kael langsung memesan makanan untuk mereka berdua, mengeluarkan uang tanpa menoleh pada Ara. Ketika pelayan mengangguk dan meminta waktu untuk menyiapkan pesanan, Kael menoleh pada Ara.

“Jangan kemana-mana,” ucapnya, lalu berbalik dan menghilang di antara kerumunan tanpa menunggu jawaban.

Ara menunggu. Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan, langkah kakinya nyaris goyah untuk mengejar Kael, tapi suara di kepalanya mengingatkan, jangan kemana-mana.

Tak lama, Kael kembali.

Tangannya menggenggam sesuatu—sebuah balon helium berwarna merah menyala. Ia berdiri di belakang Ara, dan tanpa banyak bicara, ia mengikatkan benang balon itu pada pita di punggung Ara.

Ara menoleh ke belakang, menatap Kael bingung. “Apa ini?”

Kael menatap lurus ke arahnya, suaranya dingin namun jujur.

“Agar aku bisa melihatmu jika kita terpisah. Kau terlalu pendek. Akan sukar mencari sosokmu di kerumunan.”

“Aku tidak pendek sekali. Kau yang terlalu tinggi,” protes Ara dengan nada kesal yang dibuat-buat, mengangkat dagunya sedikit lebih tinggi, berusaha menutupi rasa tersinggungnya.

Kael hanya meliriknya sekilas, lalu tanpa menjawab sepatah kata pun, kembali menarik lengan Ara dan mulai berjalan.

Genggamannya kuat tapi tidak menyakitkan. Tegas, seolah ingin mengatakan bahwa dia tak berniat melepaskannya dalam waktu dekat.

Ara menghela napas pelan, membiarkan dirinya dituntun di tengah kerumunan. Balon merah di punggungnya bergoyang pelan tertiup angin—menandai keberadaan gadis kecil yang sedang diseret oleh laki-laki yang nyaris tak pernah bicara, tapi tindakannya selalu keras kepala.

...****************...

Elvero dan Tania menghilang entah ke mana. Meskipun Ara berkali-kali meminta Kael untuk mencarinya, nyatanya mereka hanya berputar-putar tanpa hasil. Hingga waktu bergulir, dan tanpa sadar mereka telah menghabiskan hampir sepanjang sore berdua—bercampur di tengah keramaian pasar kota, seolah benar-benar sepasang kekasih yang sedang berkencan.

Balon merah di punggung Ara terus bergoyang mengikuti langkah ringan gadis itu. Beberapa kali Ara menoleh, berharap melihat wajah Elvero di antara kerumunan, namun yang ada hanya tangan Kael yang tak pernah melepaskannya.

Semenjak Tania mengetahui bahwa Kael berpacaran dengan Ara, sikapnya tampak sedikit melunak. Ia tidak lagi melontarkan sindiran atau tatapan curiga yang menusuk seperti sebelumnya. Namun Ara sadar satu hal—Kael tidak pernah memberitahu Tania bahwa hubungan mereka hanya pura-pura.

1
Vlink Bataragunadi 👑
hmmmm.... ada yg cemburu?
Vlink Bataragunadi 👑: oooh gitu, siap kak, aku ke sana dulu /Chuckle/
Vidiana A. Qhazaly: Mungkin supaya paham alur yg ini bisa baca di morning dew dulu klik aja profilku
total 2 replies
Vlink Bataragunadi 👑
kynya rameeee, tp awal bab byk kata kiasan yg aku blm ngerti
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!