Ganendra pernah hampir menikah. Hubungannya dengan Rania kandas bukan karena cinta yang pudar, tapi karena ia dihina dan ditolak mentah-mentah oleh calon mertuanya yang menganggapnya tak pantas karena hanya pegawai toko dengan gaji pas-pasan. Harga dirinya diinjak, cintanya ditertawakan, dan ia ditinggalkan tanpa penjelasan. Luka itu masih membekas sampai takdir mempertemukannya kembali dengan Rania masa lalunya tetapi dia yang sudah menjalin hubungan dengan Livia dibuat dilema.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 30
“Mak Daeng punya novel baru nggak?” tanya seorang pembaca dengan mata berbinar.
Mak Daeng tersenyum simpul, jemarinya masih membolak-balik buku catatan kecil.
“Alhamdulillah, baru saja kelar nulis,” ucapnya pelan tapi penuh rasa bangga.
“Judulnya Hasrat Ayah Temanku. Kisah cinta yang tak biasa… tentang dua hati beda generasi, yang berjuang melawan waktu dan pandangan orang. Bukan sekadar cerita asmara, tapi tentang keberanian memilih kebahagiaan meski semua menentang.”
Pembaca itu mengangguk-angguk, tapi kemudian matanya berbinar lagi. “Mak Daeng ada cerita lain nggak? Yang lebih… unik?”
Mak Daeng tertawa kecil, lalu membisikkan rahasia seperti sedang membagikan permata berharga. “Ada. Pawang Dokter Impoten. Ini bukan cuma soal kelemahan seorang dokter, tapi juga tentang perjalanan jiwa dari rapuh, jatuh, sampai akhirnya menemukan cahaya. Ada luka, ada air mata, ada tawa dan ada cinta yang tumbuh di tempat paling tidak terduga.”
Ia menatap pembacanya lekat-lekat. “Setiap kalimatnya aku tulis dengan hati. Kalau kamu mau tahu seperti apa rasanya mencintai dan dicintai dengan segala kekurangan mampirlah baca. Siapa tahu, kamu menemukan dirimu di antara baris-baris ceritanya.”
Hujan masih mengguyur deras. Angin membawa aroma tanah basah, menyusup ke antara pakaian dan kulit mereka. Tapi tak ada yang bergerak. Hanya dua pasang mata yang saling menatap, seolah dunia sedang berhenti sejenak.
Livia menggigil pelan, bukan karena dingin, tapi karena tatapan Ganendra yang tak biasa. Ada keheningan yang pekat, tapi tak canggung. Ada getar yang tak bisa dijelaskan.
“Mas...” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.
Ganendra mengangkat tangan, menyentuh pipinya yang dingin. Tangannya hangat, kasar, tapi lembut di saat bersamaan. Ia tak bicara, hanya menatap dalam, seolah mencari jawaban yang tak butuh kata-kata.
Perlahan, tanpa aba-aba, jarak mereka terhapus. Napas saling bertemu di antara udara yang berembun. Bibir Ganendra menyentuh bibir Livia dengan lembut, ringan seperti tetes hujan pertama yang jatuh di musim kemarau.
Bukan nafsu, bukan tergesa. Tapi pengakuan. Tentang rindu yang lama disimpan, dan cinta yang akhirnya diberi tempat.
Livia tidak menjauh. Ia membalas, dengan gemetar yang tak bisa dia cegah. Dalam pelukan yang mengerat, mereka tak lagi memikirkan sisa hujan, lumpur di kaki, atau dunia yang menuntut terlalu banyak.
Tapi batas itu kabur. Perasaan yang tadinya hanya ingin saling memeluk, perlahan berubah jadi ketertarikan yang menyesap lebih dalam. Sentuhan berganti menjadi genggaman yang tak ingin dilepaskan. Tubuh mereka saling mencari hangat di tengah udara yang menusuk.
Ganendra memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu melepas pelukannya pelan-pelan.
“Nggak sekarang,” ucapnya pelan sambil menunduk. “Kalau aku lanjutin... aku khianatin semua rasa hormat yang udah kamu kasih ke aku.”
Livia masih diam, matanya basah bukan karena hujan, tapi karena perasaan yang terlalu penuh untuk ditampung.
“Mas...” bisiknya. “Aku... nggak nyesel.”
Ganendra menatapnya dengan mata yang lelah tapi tulus. “Aku juga nggak nyesel. Tapi aku janji, nanti saat waktunya datang, aku nggak akan cium kamu cuma karena hujan. Tapi karena kamu sah jadi seseorang yang halal aku peluk seumur hidup.”
Livia tersenyum pelan. Ia menggenggam tangan Ganendra lebih erat. “Kalau gitu, janji sama aku jangan pernah berubah.”
Dan di bawah rintik hujan yang mulai mereda, mereka melanjutkan langkah. Tak ada yang sempurna, tapi cinta mereka tumbuh, dalam diam, dalam tawa, dalam penantian yang tidak tergesa.
Langit sore berubah kelabu, tapi bukan karena hujan. Kali ini karena hati mereka yang terlalu penuh untuk diredam. Dalam perjalanan pulang, Livia tiba-tiba membuka suara pelan.
“Mas... aku boleh minta satu hal?” ujarnya sambil menatap jendela mobil.
Ganendra menoleh sebentar, lalu mengangguk. “Apa itu?”
“Mampir sebentar... ke hotel Grand Azzura. Aku butuh tempat yang tenang. Bukan buat istirahat fisik. Tapi buat tenangin pikiran,” ucap Livia, nadanya dalam tapi tak tergesa.
Ganendra tak bertanya lebih jauh. Mobil pun berbelok, masuk ke area hotel bintang lima yang megah dan tenang. Livia menggenggam tangannya sebentar sebelum turun dari mobil.
Di kamar suite yang luas dan hening, tak ada dialog berlebihan. Livia berdiri di depan jendela, memandang lampu-lampu kota yang mulai menyala, lalu berbalik perlahan.
“Aku tahu ini mungkin salah waktu... tapi perasaanku nggak salah,” katanya lirih. “Mas, kalau nanti aku nggak bisa jadi sempurna, kamu masih mau tetap tinggal?”
Ganendra melangkah pelan, meraih tangannya dengan lembut. “Aku nggak pernah cari sempurna. Aku cuma butuh kamu yang jujur.”
Livia menarik napas pelan, lalu memeluk Ganendra tanpa suara. Dalam pelukan itu, tak ada kata, hanya dua hati yang saling mencari tenang, saling menerima luka dan harapan yang mereka bawa masing-masing.
Malam itu, dalam kesunyian hotel yang mewah tapi tak dingin, mereka menyerahkan diri satu sama lain. Bukan karena nafsu sesaat, tapi karena perasaan yang selama ini mereka tahan akhirnya menemukan ruang untuk menyatu.
Tidak ada yang kasar. Tidak ada yang terburu-buru. Hanya keheningan yang menjadi saksi, bahwa dua manusia ini telah melewati batas tapi bukan karena kehilangan arah, melainkan karena mereka percaya: rasa yang sudah terlalu dalam kadang butuh tempat untuk menepi, meski hanya sejenak.
Keesokan paginya, cahaya matahari menyusup perlahan melalui tirai. Livia terbangun lebih dulu. Ia menatap langit-langit kamar, lalu menoleh ke arah Ganendra yang masih terlelap.
Ia menghela napas. Ada lega, tapi juga gemetar yang tak bisa ia jelaskan.
“Semalam kita lepas kendali, ya,” gumamnya pelan.
Ganendra membuka mata, lalu menggenggam tangan Livia tanpa banyak kata.
“Aku akan tanggung jawab. Bukan karena terpaksa. Tapi karena aku tahu, hati ini... udah milik kamu sepenuhnya,” ucapnya tenang.
Dan sejak hari itu, mereka tahu apa yang mereka lakukan akan mengubah arah hubungan mereka. Mungkin akan diuji. Tapi juga mungkin itulah awal dari keberanian untuk benar-benar mengikat dalam satu janji suci.
Cahaya pagi menembus tirai hotel dengan lembut, menyentuh kulit Livia yang masih berselimut tipis. Udara sejuk dari AC berpadu dengan kehangatan yang tertinggal di kasur. Ia membuka mata pelan, lalu menoleh ke samping.
Ganendra masih tertidur, posisi tubuhnya telentang, nafasnya teratur. Selimut yang setengah terjatuh memperlihatkan siluet tubuhnya yang kekar, hasil kerja keras bertahun-tahun, bukan dari gym mewah, tapi dari kerja lapangan dan hidup yang keras. Livia tak bisa menahan senyum.
Ia menyender pelan, dagunya bertumpu pada lengannya sendiri. Tatapannya tak lepas dari dada bidang pria yang kini tidur dengan tenang di sisinya.
“Mas...” gumamnya lirih.
Ganendra hanya bergerak sedikit, matanya belum terbuka.
Livia mendekat, menyentuh bahunya dengan jari telunjuk. “Ini nggak adil kamu bikin orang susah berpaling pagi-pagi gini,” ucapnya pelan sambil terkekeh kecil.
Ganendra membuka mata perlahan, matanya masih berat. “Hah? Apa sih masih jam berapa ini?” ujarnya setengah sadar.
Livia membenamkan wajahnya di lekuk leher Ganendra, suaranya lembut, tapi dalam. “Mas... pagi ini jangan buru-buru pulang, ya? Aku tahu kita udah terlalu jauh, tapi aku cuma pengen rasa ini nggak selesai di malam doang,” imbuhnya pelan.
Ganendra terdiam. Tangan kirinya mengusap rambut Livia perlahan, lalu menatap mata perempuan itu dengan serius.
“Kamu yakin?” tanyanya lirih.
Livia mengangguk. “Iya. Aku tahu risikonya. Tapi aku juga tahu rasanya... kalau kamu bukan cuma pelindungku di luar sana, tapi juga di sini... di sisi paling rapuhku,” katanya.
Mereka tidak saling memeluk dengan gairah terburu. Justru semuanya terasa pelan, tenang, dan penuh pengakuan. Kali ini bukan tentang godaan, tapi keterikatan yang makin dalam.
Tubuh mereka memang bersatu lagi, tapi yang benar-benar saling mendekat justru hati mereka.
Dan di balik dinding kamar hotel yang kedap suara, dua jiwa yang semalam saling mencari, pagi itu kembali menemukan alasan untuk tetap bersama.
Bukan hanya karena rasa, tapi karena keberanian untuk mengakui bahwa cinta mereka telah melampaui logika.
Livia mendesah sambil menarik selimut ke atas dada, matanya masih menatap langit-langit kamar hotel, ekspresinya campur aduk antara pasrah dan kesal.
“Gila, ternyata jatuh cinta tuh... sakit, ya?” ucapnya pelan tapi ketus. “Kayak ditabrak motor tapi pengen ditabrak lagi.”
Ganendra yang baru keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan handuk di leher, langsung nyengir sambil menyeka lehernya.
“Makanya, Mbak... siapa suruh jatuh cinta sama bocah.”
Ia mendekat, duduk di sisi ranjang sambil menyenggol lutut Livia.
“Udah tahu brondong tuh bawaannya bikin ketagihan, bukan jaminan hidup tenang.”
Livia melirik tajam, lalu nyolek perut Ganendra yang padat. “Kamu tuh ya... kecil-kecil bikin galau.”
Ganendra tertawa kecil, lalu meraih tangan Livia dan mengecupnya singkat.
“Eh, jangan salah. Kecil apanya? Hati aku gede, Mbak. Khusus buat kamu.”
Livia mendelik. “Ciyeh. Brondong romantis. Modal gombal doang tapi tiap malam bikin perempuan mikir hidup.”
Ganendra menyeringai, lalu berbisik di telinganya, “Karena aku bukan sekadar brondong biasa, Mbak aku brondong pake hati.”