Aila Rusli tumbuh dalam keluarga pesantren yang penuh kasih dan ilmu agama. Diam-diam, ia menyimpan cinta kepada Abian Respati, putra bungsu Abah Hasan, ayah angkatnya sendiri. Namun cinta mereka tak berjalan mudah. Ketika batas dilanggar, Abah Hasan mengambil keputusan besar, mengirim Abian ke Kairo, demi menjaga kehormatan dan masa depan mereka.
Bertahun-tahun kemudian, Abian kembali untuk menunaikan janji suci, menikahi Aila. Tapi di balik rencana pernikahan itu, ada rahasia yang mengintai, mengancam ketenangan cinta yang selama ini dibangun dalam doa dan ketulusan.
Apakah cinta yang tumbuh dalam kesucian mampu bertahan saat rahasia masa lalu terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENANTIAN CINTA HALAL
Pagi itu, selepas Subuh, Bayu duduk membaca Al-Qur’an di ruang salat. Azela datang dengan mukena masih terlipat di tangannya, wajahnya tampak teduh meski agak lelah. Ia duduk berjarak di sisi karpet, menunduk sebelum bicara.
“Mas Bayu…Kalau suatu saat nanti… kita benar-benar berpisah, aku ingin Mas tahu, aku tidak menyesal pernah tinggal di rumah ini. Aku bersyukur pernah belajar tentang Allah dari seorang pria sepertimu…”
Bayu menutup mushafnya. Lalu menjawab tanpa menatap Azela.
“Tak perlu mengungkit soal perpisahan. Kita belum sampai di sana. Fokuslah pada masa sekarang, Zela. Pada amanah yang sedang kamu kandung. Bimbing dia dengan ilmu dan akhlak sebelum dia lahir…”
Azela menunduk, menahan haru.
Hari-Hari Terakhir Menjelang Persalinan
Usia kandungan Azela kini masuk delapan bulan lebih. Perutnya mulai membesar, geraknya lambat. Tapi semangatnya untuk memperbaiki diri justru meningkat. Ia rutin membaca Al-Qur’an, mengikuti ceramah daring, dan belajar langsung dari Bayu tiap malam selepas isya.
“Tolong koreksi bacaanku, Mas,” ucap Azela suatu malam, sambil menyerahkan mushaf.
Bayu tak menolak. Tapi ia tidak duduk terlalu dekat. Ia hanya mendengarkan dan sesekali membetulkan makhraj dan tajwid, dengan suara tenang.
“Tebal ‘dha’-nya. Ulangi.”
Azela mengangguk, memperbaiki bacaannya. Di akhir sesi, ia berkata lirih,
“Terima kasih… karena tak pernah mempermalukanku…”
Bayu menoleh, dengan kening berkerut.
“Kamu bukan untuk dipermalukan. Kamu untuk dibimbing. Setiap orang punya jalan pulangnya sendiri. Kamu sedang menuju-Nya, Zela. Teruskan.”
Ujar Bayu.
Setelah membantu Azela menyimak bacaan Qurannya, Bayu duduk di teras dengan secangkir kopi, sambil menatap langit. Azela datang membawa air putih.
“Mas belum tidur?”
Tanpa menoleh Bayu menjawab.
“Nggak ngantuk.”
Sahutnya singkat.
Azela tak bicara banyak. Ia duduk di kursi sebelah, menjaga jarak. Lalu akhirnya bertanya, pada Bayu.
“Nanti setelah anak ini lahir… aku boleh tetap tinggal di sini?”
“Jika kamu butuh tempat berteduh, rumah ini terbuka. Tapi jangan terlalu bergantung padaku, Zela. Hidupmu harus punya pijakan sendiri. Persiapkan hatimu. Karena mungkin… aku tak bisa menemanimu terlalu lama.”
Azela terdiam. Tapi ia mengangguk. Ia sudah menduga ini. Ia hanya ingin memastikan bahwa dia tak akan tiba-tiba diusir atau ditinggalkan tanpa kejelasan.
Malam-malam Bayu kini penuh dengan sujud panjang. Ia tak meminta Allah mempertemukannya dengan cinta. Ia hanya memohon agar Azela dan anak yang dikandungnya diberi jalan terbaik.
“Ya Rabb, kuatkan dia…
Ya Rabb, berilah tempat yang pantas untuknya di dunia dan akhirat…
Dan jika jalan kami memang tak satu… izinkan aku menyudahi dengan cara yang Engkau ridhoi…”
Langit pagi tampak cerah. Angin lembut berembus di halaman pesantren. Papan nama besar bertuliskan "Walimatul ‘Urs” terpasang di gerbang pondok. Santri-santri sibuk membawa kursi, merangkai bunga, dan menata aula utama.
“Cepetan, cepetan! Nanti rombongan dari keluarga Kiai datang jam sepuluh.”
Ujar salah satu ustadz.
“Sudah dicek belum sound-nya? Kipas aula nyala semua?”
"Alhamdulillah sudah Ustafz, Insya Allah Aman.
Suasana pondok benar-benar riuh. Halaman ndalem Kiai Hasan pun berubah jadi tempat persiapan utama. Kain putih dan emas menghiasi setiap sudut. Aroma masakan dari pawon menyebar menggoda.
Di teras ndalem, Umi Fatimah terlihat sibuk mengatur seserahan.
“Sisirnya taruh di sini, iya begitu. Jangan lupa cincin maskawinnya.”
Titah Umi Nyai Fatimah.
“Aila di mana? Suruh dia istirahat dulu, jangan ikut-ikut angkat galon!”
Ujar salah satu ustadzah.
"Kayaknya sedang dipingit,di kamar Ustadzah."
Ustazah Saras pun mengangguk.
Sementara itu, di dalam kamar, Aila sedang mencoba kebaya putih sederhana, ditemani sahabatnya, Fina.
“Lihat deh, senyum kamu nggak bisa ditahan, ya, La.” gida Fina tak henti-hentinya.
“Hush, jangan godain. Ini deg-degan, bukan senyum,” bisik Aila, menunduk malu.
Di sisi lain, Bayu berdiri di pojok aula madrasah, memperhatikan kerumunan santri yang sedang menata kursi. Wajahnya tetap tenang, tubuhnya tegak, dan seperti biasa, dingin, tanpa ekspresi.
Ia datang untuk memastikan bahwa semua persiapan berjalan lancar. Sebagai pengajar dan putra tertua di ndalem, ia tentu tetap ikut andil, meski diam-diam hatinya sedang membereskan simpul luka yang tak bisa diurai.
Ia menatap Aila yang berjalan beriringan dengan Abian, sedang memilih bunga untuk hiasan meja akad.
“Aila...”
Bayu berbisik dalam hati, namun tak mengucapkan apapun. Ia hanya berdiri di bawah pohon mangga di sisi aula, lalu kembali berjalan pelan ke arah perpustakaan untuk meminjamkan proyektor.
Tak ada yang tahu, setiap langkah Bayu hari ini, ia hitung sebagai bagian dari mengikhlaskan.
Sementara di ndalem.
Kiai Hasan memanggil Aila dan Abian ke ruang tamu menjelang sore.
“Nak Abian, Nak Aila... Hari ini Abah cuma ingin berpesan, jangan jadikan pernikahan hanya pesta. Jadikan ia jalan menuju surga. Rumah tangga bukan tempat menuntut sempurna, tapi tempat belajar bersama menuju husnul khatimah.”
“Jaga salatmu. Jaga tutur katamu. Dan jangan lupa... rumah tangga itu ibadah, bukan tempat melampiaskan, nafsu dan kekurangan.”
Aila menangis kecil. Abian menggenggam tangannya di atas lutut, kemudian mencium punggung tangan Abahnya.
“InsyaAllah, Bah.”
Sahut Abian mantap.
Malam Sebelum Akad
Malam itu pondok tampak temaram dan khidmat. Lampu-lampu gantung dipasang. Santri senior melakukan ronda untuk jaga keamanan.
Aila menulis sesuatu di buku hariannya.
"Besok aku resmi menjadi istri dari Gus Abian...Rasanya bahagia, ini yang aku tunggu selama bertahun-tahun. Ya Allah...jadikanlah pernikahan kami penuh sejarah,"
Aila tersenyum lantas menutup buku tulisnya. Namun saat Aila hendak menutup tirai kamar, Aila tak sengaja menatap Mas Bayu-nya duduk di kursi luar sambil menatap langit sendirian.
Sesekali terlihat Mas-nya itu, menatap papan nama mempelai yang terpajang di depan tenda.
"Mas Bayu...kenapa dia kelihatan sedih banget. Apa dia lagi berantem sama Mbak Azela, ya...?" batin Aila, dengan kening berkerut.