Siapa sangka moment KKN mampu mempertemukan kembali dua hati yang sudah lama terasa asing. Merangkai kembali kisah manis Meidina dan Jingga yang sudah sama-sama di semester akhir masa-masa kuliahnya.
Terakhir kali, komunikasi keduanya begitu buruk dan memutuskan untuk menjadi dua sosok asing meski berada di satu kampus yang sama. Padahal dulu, pernah ada dua hati yang saling mendukung, ada dua hati yang saling menyayangi dan ada dua sosok yang sama-sama berjuang.
Bahkan semesta seperti memiliki cara sendiri untuk membuat keduanya mendayung kembali demi menemui ujung cerita.
Akankah Mei dan Jingga berusaha merajut kembali kisah yang belum memiliki akhir cerita itu, atau justru berakhir dengan melupakan satu sama lain?
****
"Gue Aksara Jingga Gayatra, anak teknik..."
"Meidina Sastro Asmoro anak FKM, kenal atau tau Ga?"
"Sorry, gue ngga kenal."
.
.
.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu sakit?
Vio masih melipat kakinya naik ke bangku kayu di dapur, menemani Lula yang sedang piket sambil recokin si teman paling keibuan ini.
"Masih kerasa sakit? Airnya masih anget ngga?" tanya nya melirik sang kawan.
"Nah, kenapa nih lo, Vi?" tanya Mei yang kini bergabung ke dapur seraya mengikat rambutnya selepas subuh, melihat wajah pucat Vio yang telah mendekap botol air hangat di perutnya, "sakit banget perut gue Mei," keluhnya.
"Mau dateng bulan?" tanya Mei menebak dan diangguki Vio, gadis dengan rambut di bawah pundak itu nampak begitu lemas dan lesu.
"Suka minum kiran ti ngga sih?" tanya Mei digelengi Vio, "ngga suka gue."
"Padahal dicoba deh Vi, enakan tuh biasanya kalo gue...ada varian rasanya juga kan sekarang, kalo ngga suka yang ori jamu..." Senja turut bergabung, dirinya sudah siap dengan sweter tebal, kupluk dan celana training, "yuk, La!"
"Seriusan, mau gantiin Vio, Nja?" tanya Syua dari arah depan diangguki Senja, "yakin dong, ngga liat nih stelan gue udah siap bertarung dengan udara dingin Widya Mukti begini?" tunjuknya ke arah dirinya.
"Thanks banget ya, Nja..." ucap Vio.
"No problemo...coba dong...kata pacar gue, gue hebat banget! Kkn bisa bikin gue belajar masak...siap-siap jadi makmum idaman..." jumawanya.
"Cieeeeee!" seru para gadis ini membuat riuh dapur.
"Ada udang di balik bakwan. Mau pamer sama dodoi rupanya." Kikik Lula.
Tok..tok..tok!
"Teh," suara bu Sri dari pintu belakang membuat mereka terdiam seketika.
"Ya, sebentar bu!" kini Mei membuka pintu dimana sang ahli waris rumah nampak membawa baskom berwarna loreng hijau ditutupi kain serbet.
"Ada urab sampeu (urap singkong) buat teteh sama aa, lumayanlah buat ganjel perut..." dibukanya serbet kotak-kotak merah putih itu menampakan singkong kukus yang dipotong kecil-kecil lalu ditaburi parutan kelapa, masih menguarkan asap hangatnya.
"Wahhhh, makasih ibu!"
"Eh iya. Hari sabtu teteh-teteh jadi ikut voli?"
Syua yang langsung mencomot singkong langsung dari baskomnya sambil berdiri itu mengangguk, "iya, bu...nonton ya. Semangatin kita..."
Wanita dengan tudung ciput abu di kepalanya ini tertawa kecil, "pasti atuh. Lawan rt berapa?"
"Rt 5 bu," Lula sudah mematikan kran wastafel dan mengelap tangannya. Sejenak Senja turut menikmati singkong kukus dulu sebelum pergi belanja.
"Wah, itu mah juara bertahan teh. Pada jago-jago, ibu-ibunya....tapi ibu yakin, teteh-teteh juga pasti jago voli, mana masih muda-muda."
Senja saling tatap dengan Syua, Nalula, Vio serta Mei, singkong yang sempat ia kunyah sampai 33 kali itu mendadak kembali utuh dan sulit ia telan.
"Ya udah atuh, teh. Saya masih punya kerjaan...oh iya, teh Syua mau jam berapa keliling buat nge-shot kegiatan keseharian warga? Mau mulai darimana dulu? Kata pak kadus...nanti biar diantar sama si bapak (pak Agus)?"
"Oh, itu nanti paling jam 8an bu. Start dari rumah aja, biar natural pada pergi ke sawahnya..." jawab Syua.
Bu Sri mengangguk, "kalo bisa mah teh, lebih pagian. Jam segitu mah udah pada di sawah..."
"Oh, siap bu...siap." Jawab Syua, "bisa dikondisikan."
"Kalau gitu saya pamit dulu, teteh-teteh...si aa-aanya belum pada bangun ya..." tembaknya sembari melengos.
Dan mereka kembali saling pandang, "mamposs kan, denger barusan, ibu-ibu rt 5 jago-jago." Gidik Senja, "mana gue ngga bisa, pula..."
"Kita emang muda, tapi bukan berarti lebih kuat juga ngga sih? Selemah-lemahnya ibu-ibu disini, mainan mereka kan ngebon, nyawah...itu kalo gue liat, mereka mikul hasil kebon aja kaya mikul kapas tau ga?!" kini Lula yang bicara semakin membuat mereka susah menelan saliva.
"Duh, mana gue lagi dapet pula." Vio kembali merintih.
Mei tertawa, "semangat kawan-kawan, anggap aja seru-seruan...ngga usah dianggap serius, sii."
"Iya sih, muda bukan jaminan jago voli juga ya?" Senja kembali bersuara, "tapi malu ngga sih, kalo sampe kalah? Mau ditaro dimana muka orang kota?"
Mereka terdiam membenarkan hingga Senja kembali bersuara.
"Ya udah lah, hayuk La...ntar keburu siang, kita ngga dapet apa-apa, iya kan?"
Seiring melengosnya Senja dan Lula ke arah depan, Syua turut menyusul ke depan sambil berteriak, "Arlannnnn! Bangun, kita otewe dari jam setengah 7!" jeritnya.
"Kayanya hari ini gue mau di posko aja dulu deh, Mei."
Mei duduk si samping Vio sambil menikmati urap singkong tadi, menyisihkannya sedikit ke piring agar tak mengacak bagian lain.
"Ya udah, istirahatin aja Vi....ngga akan bener juga kalo dibawa keluar. Pantesan, dari kemaren bawaannya ngamuk terus sama Shaka..." ujar Mei membuat Vio memandangnya syok, namun kemudian ia terkekeh getir nan sumbang, "iya kah?"
"Hm." Angguk Mei, namun ia tak mau mencecar Vio terlalu dalam untuk hal privasi Vio.
Vio lantas menatap Mei ragu-ragu, "Mei..."
"Ya?" Mei beranjak ke arah kompor bermaksud memanaskan air untuk membuat teh manis hangat.
"Mau tanya sesuatu, tapi jawab jujur bisa?" tanya Vio menatap resah. Tanpa menjeda kegiatannya, Mei mengangguk, "apa?" Sebenarnya cukup dibuat gugup dan panik juga khawatir Vio bertanya tentang dirinya dan Jingga yang siang kemarin menurutnya telah clear.
"Kemarin," Vio menghela nafasnya sejenak, "waktu kejadian luka lo itu, apa lo udah lama ada disini?"
Mei mengangguk, "hhm..."
"Sama siapa?"
Baik Mei maupun Vio cukup dibuat gugup dengan pembicaraan ini.
"Jingga baru balik, tapi di depan..." jawab Mei mengaduk tehnya.
Vio mengangguk, "kemaren pas lo cuci piring, lo----"
Mei menarik senyumnya lega, kemudian duduk di samping Vio, membuat gerakan meresleting mulutnya, "aman. Itu lo sama Shaka, kan?"
Vio melengkungkan bibirnya memandang Mei dengan sorot mata sayunya, "gue tuh ngga paham deh, cowok kalo cemburu suka buta gitu, ya? Padahal gue ngga gitu, setiap ada temen cewek atau ibu-ibu disini yang deket atau kerumunin dia, gue biasa aja, asik-asik aja bahkan Senja sering gelendotin dia juga gue anteng...tapi dia kok gitu...padahal gue kasih nomor gue ke kang Wahid juga cuma iseng aja. Keperluan proker karena kebetulan Lula ngga bawa hape...itu aja."
Mei mendengar tanpa mau menyela Vio, "tau ngga dia sampe narik gue waktu ngobrol sama kang Wahid, kemaren. Ngga enak banget jadinya gue sama Lula, sama kang Wahid juga.. Padahal obrolannya cuma ngomongin bantuan kang Wahid yang mau bantu Lula masang rak buku. Ya kita tau lah, cowok-cowok disini sibuk...tapi dia tuh ih...bikin malu." desisnya geram membuang muka ke samping, "diucapin salam sama kang Wahid juga ngga jawab. Ngga sadar diri banget, tamu jugaa..."
Mei justru tertawa kecil, "saking cintanya kali, Vi...atau mungkin, dia ngerasain sesuatu waktu kang Wahid interaksi sama lo, tentunya dari sudut pandang laki-laki. Toh selama di kelompok, bareng sama anak-anak cowok, Shaka oke-oke aja waktu lo interaksi sama mereka, becanda sama mereka."
"Yaa...diluar dari sikapnya yang memang ngga bisa dibenarkan."
Vio mendengus sumbang, "ya ampun, kang Wahid itu udah nikah...Mei."
"Nah itu apalagi, Vi....bahaya kan kalo misalnya lo dikiran jadi orang ketiga. Shaka cuma mau jauhin lo dari masalah...sejak kapan sih kalian pacaran?" kini Mei sulit mengontrol rasa penasarannya.
Vio kini terkekeh, "waktu kita pertemuan pertama kkn."
Mei menarik alisnya, "wah?! Seriusan?"
Vio mengangguk, "ya sebenernya gue sama Shaka udah kenal lama, temen sma. Ketemu di kampus yang sama, beda fakultas...tapi percaya ngga sih, katanya dia suka gue udah lama...pffttt cin ta beruk."
Mei ikut tertawa dengan perumpamaan Vio.
"Hah, gilaa ya....kebayang ngga sih sejak kelas XII katanya suka gue. Eh kisah kita mirip-mirip ngga sih, Mei? Tapi menurut gue, Jingga penge cut ah...ngga berani nembak lo, atau...justru, baru sekarang sadar cewek cantik, terus...dari sma dia kemana aja nganggurin lo, sampe baru kepikiran buat ngejar lo sekarang?"
"Aduduuhhhh, mulesnya..." Vio kembali mengaduh dan semakin merapatkan kaki dan perutnya.
"Mau gue angetin lagi, Vi? Minum ibuprofen mau? Gue ada bawa..." tawar Mei.
"Emang ngaruh, ya?" tanya Vio dengan bibir yang sudah pucat.
"Ngaruh lah. Bentar gue ambil dulu..." Mei beranjak dari duduknya ke arah kamar dan mengambil kotak obatnya.
Menggenggam obat pereda nyeri dan keluar dari kamar, tak sengaja berpapasan dengan Jingga yang berjalan ke arah dapur.
Lelaki itu menahan tangan Mei, melihat benda yang dibawanya, "kamu sakit?" tanya nya dengan raut wajah khawatir.
"Bukan, ini buat..."
"Kita ke klinik sekarang, ya..." Jingga segera mencari kunci motornya di ruangan depan.
"Ga...ih, bukan buat aku...obatnya buat Vio, tadi----"
Shaka langsung bangkit dari posisi tidurnya dengan masih merapatkan sarung berjalan cepat mencari Vio.
"Dia mau datang bulan, Ga..." jelas Mei yang berbalik menuju dapur.
.
.
.
.