Demi melunasi utang ayahnya yang menumpuk, Rumi rela menikah kontrak dengan Radit, duda kaya raya yang kehilangan istrinya tiga tahun silam karena perceraian.
Bagi mereka, pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepatakan. Rumi demi menyelamatkan keluarganya, Radit demi menenangkan ibunya yang terus mendesak soal pernikahan ulang. Tak ada cinta, hanya kewajiban.
Namun seiring waktu, Rumi mulai bisa melihat sisi lain dari Radit. Pria yang terluka, masih dibayang-bayangi masa lalu, tapi perlahan mulai membuka hati.
Saat benih cinta tumbuh di antara keterpaksaan, keduanya dihadapkan pada kenyataan pahit, semua ini hanyalah kontrak. Dan saat hati mulai memiliki rumah, mereka harus memilih. Tetap pada janji atau pergi sebelum rasa itu tumbuh semakin dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Syukuran Tujuh Bulanan
Rumi duduk termenung di atas kasur. Jarum jam sudah lewat pukul satu dini hari. Tapi untuk sekadar memejamkan mata saja rasanya susah. Kepalanya penuh. Hatinya sesak.
Dari ruang tamu, terdengar suara batuk pelan. Rumi menarik napas dalam. Ia sadar, malam ini bukan hanya dirinya dan Anwar yang ada di rumah.
"Mas Radit ...."
Pelan, nyaris seperti bisikan. Matanya menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Di balik sana, Radit meringkuk di sofa tua. Tempat yang terlalu sempit untuk istirahat, tapi ia tetap memilih di sana.
Malam ini Radit memaksa untuk menginap. Berkali-kali Rumi memintanya pulang, tapi lelaki itu tak bergeming. Akhirnya, Rumi hanya bisa menyerah.
Tapi bukan itu yang membuat Rumi gelisah.
Hatinya beradu antara menerima kenyataan atau mengingat luka lama. Radit pernah menyembunyikan sesuatu yang penting. Namun satu hal yang tak bisa ia tolak, Rumi masih mencintainya. Sangat.
Ia bangkit perlahan. Kakinya melangkah pelan ke ruang tamu. Lampu redup dan suara kipas angin menjadi saksi langkah kecil itu. Rumi duduk di lantai, dekat Radit yang terlihat tertidur.
Ia menatap wajah itu. Masih sama. Masih membuat dadanya sesak oleh rindu yang tak kunjung selesai.
Tangannya bergerak. Menyentuh pipi Radit dengan hati-hati, seolah takut membangunkannya. Tapi tetap saja, lelaki itu membuka mata.
"Sayang?" suara Radit serak. "Kamu kenapa belum tidur? Sakit? Perut kamu nggak enak?"
Dengan cepat ia duduk dan memegang bahu Rumi, cemas.
Rumi menggeleng pelan. "Nggak. Aku cuma ... kangen."
Hanya itu. Tapi kata itu membawa semua rasa yang selama ini tertahan.
Radit menatapnya. Lama. Lalu tiba-tiba, tanpa banyak kata, ia mendekat dan mengecup bibir Rumi dengan lembut dan penuh rindu.
Cahaya lampu mungkin redup, tapi tatapan mereka berbicara lebih terang dari apa pun malam itu.
"Aku juga kangen kamu, Rum," ucap Radit lirih. "Kangen banget."
Ia menarik Rumi ke pangkuannya. Tangan kanannya menyibak helai rambut yang jatuh ke wajah, sementara tangan kirinya memeluk pinggang Rumi erat, seolah tak ingin kehilangan lagi.
Rumi tak menjauh. Ia hanya diam, membiarkan dadanya bertemu dengan dada Radit.
Radit mencium lagi. Kening. Pipi. Hidung. Bibir. Semua dengan pelan. Dengan penuh hati.
Dan malam itu, Rumi membalasnya. Tangannya melingkar di leher Radit. Ia menutup mata, tenggelam dalam pelukan yang dulu begitu ia rindukan.
Tak ada jarak. Tak ada dinding. Hanya mereka berdua dan rasa yang selama ini belum selesai.
...****************...
Langit siang itu cerah, seolah ikut merayakan kebahagiaan yang terukir di dalam rumah besar keluarga Radit. Sebuah tenda putih berdiri megah di halaman belakang, dihiasi bunga-bunga segar bernuansa peach dan putih, balon transparan berisi pita emas, serta lilin-lilin aromaterapi yang menyebarkan keharuman lembut.
Suara musik akustik mengalun pelan. Kursi-kursi empuk dengan hiasan bunga di sandarannya tertata rapi. Para tamu berdatangan dengan senyum ramah, mengenakan busana semi-formal, menikmati hidangan yang disajikan dalam konsep prasmanan mewah. Ada chef pribadi yang berdiri di station makanan, menyiapkan hidangan panas langsung dari tungku.
Rumi duduk di sofa panjang berlapis satin, mengenakan gaun hamil berwarna nude pink yang elegan, lengkap dengan sentuhan lace di bagian lengan. Wajahnya dipoles lembut dengan riasan flawless. Tangan kirinya bertumpu di perut yang mulai membesar, sementara tangan kanan menggenggam buket bunga kecil—hadiah dari Radit pagi tadi.
"Rumiiii!" suara riang menggema.
Novi datang menghampiri, mengenakan dress pastel biru dengan heels rendah. Ia memeluk Rumi erat, lalu menatap perut sahabatnya dengan mata berbinar.
"Aku masih nggak percaya kamu udah tujuh bulan aja. Kamu glowing banget, sumpah!" celetuknya sambil terkekeh.
Rumi tertawa pelan. "Ini gara-gara makeup. Kalau abis bangun tidur, kayak ikan buntal, Nov."
Tak lama, Nauval muncul dari balik kerumunan tamu. Pria itu memakai jas hitam dengan dasi perak, rambutnya klimis, rapi seperti biasa. Ia membawa satu bingkisan besar berwarna emas.
"Selamat ya, Radit, Rumi," ucap Nauval ramah. "Aku ikut senang akhirnya kalian sampai di tahap ini. Semoga proses lahirannya nanti lancar, ya."
Radit berdiri di samping Rumi, tangannya tak lepas dari pundak istrinya. Ia menyambut Nauval dengan pelukan singkat, lalu mengangguk. "Aamiin. Makasih, Val. Kamu bantu banyak banget selama ini."
Rumi menyikut Novi, lalu tersenyum seolah memberi kode tentang Nauval.
Namun, Novi menggeleng kecil. Sepertinya hubungan dia dan Nauval akan kandas sebelum sempat dimulai. Pasalnya, Nauval tak pernah lagi terlihat mendekatinya.
Tak lama, sesi doa dimulai. Seorang ustaz membacakan doa-doa keselamatan bagi ibu dan bayi, diselingi lantunan ayat suci dan siraman air bunga yang dilakukan simbolis oleh orang tua Rumi dan perwakilan dari keluarga Radit.
Pasalnya, Bu Widya masih dipenjara. Radit sendiri bahkan tak pernah secara langsung untuk menjenguknya. Ia terlalu sakit hati.
Setelah itu, acara dilanjutkan dengan sesi potong tumpeng dan makan bersama. Tawa-tawa renyah terdengar di sudut-sudut ruangan.
Novi sendiri bahkan sudah mulai membuat prediksi soal wajah sang bayi nanti. "Kalau mirip Mas Radit, fix jadi rebutan anak cewek nanti," celetuknya, yang langsung membuat semua orang tertawa.
Di tengah keramaian, Radit menunduk ke arah Rumi. Ia membisikkan sesuatu ke telinga istrinya yang membuat pipi Rumi memerah.
"Apa sih?" bisik Rumi malu-malu.
Radit tersenyum. "Aku cuma bilang, kamu cantik banget hari ini. Dan aku nggak sabar pengen lihat kamu gendong anak kita."
Rumi menggenggam tangan suaminya erat. Di antara pesta dan tawa, di sinilah cinta mereka tumbuh paling kuat. Dalam doa, harap, dan janji untuk menyambut kehidupan baru bersama-sama.
Pesta telah usai. Sore berubah senja, lalu malam merayap perlahan. Lampu-lampu tenda sudah dipadamkan, dan hanya beberapa lilin aromaterapi yang masih menyala di teras belakang, menyisakan suasana hangat yang menenangkan.
Rumi duduk di ayunan gantung di sudut teras. Gaunnya sudah ia ganti dengan daster lembut berwarna sage. Rambutnya dikuncir rendah, wajahnya tanpa makeup, tapi tetap terlihat cantik dengan bias cahaya dari lampu taman.
Perutnya dibelai pelan, penuh kasih. Matanya menerawang, seperti berbicara diam-diam pada si kecil yang tengah tumbuh di dalam rahimnya.
Radit datang membawa segelas susu hangat. Ia duduk di sebelah Rumi tanpa suara, lalu menyerahkan gelas tersebut pada istrinya.
"Capek, ya?" tanyanya pelan.
Rumi tersenyum kecil. "Iya. Tapi seneng. Tadi kayak mimpi. Semua orang datang buat doain anak kita. Aku masih belum nyangka, Mas."
Radit menatap istrinya dengan lembut. Ia menyandarkan kepala ke bahu Rumi, lalu berbisik, "Aku juga belum nyangka kalau ternyata aku bisa sebahagia ini."
Suasana hening sejenak. Hanya suara jangkrik dan desir angin malam yang menemani.
"Mas tau nggak, dulu waktu awal-awal hubungan kita sah, aku sempat mikir, 'apa iya kita bisa sejauh ini?' Apalagi, hubungan kita berawal dari kontrak yang akan berakhir dalam enam bulan," ujar Rumi, suaranya mengandung rasa syukur.
Radit mengangguk pelan. "Iya. Tapi ternyata, kita tetap milih bertahan dan memutuskan kontrak itu."
Rumi tersenyum sambil menatap langit. "Aku senang Mas nggak pergi. Aku senang kita nggak menyerah."
Radit memutar badan, menghadap penuh ke arah istrinya. Ia menyentuh pipi Rumi dengan satu tangan, lembut.
"Rum, aku janji. Apa pun yang terjadi nanti, aku bakal ada buat kamu dan anak kita. Selalu."
Rumi menatap mata suaminya, dan untuk beberapa detik, ia hanya terdiam. Lalu ia membalas, lirih tapi pasti, "Aku percaya."
Mereka saling bersandar, gelas susu masih setengah penuh. Tapi hati mereka terasa penuh oleh cinta, oleh harapan, dan oleh keberanian untuk terus melangkah bersama.
kapal ku gak boleh karammmm!!/Sob/