Disarankan membaca Harumi dan After office terlebih dahulu, agar paham alur dan tokoh cerita.
Buket bunga yang tak sengaja Ari tangkap di pernikahan Mia, dia berikan begitu saja pada perempuan ber-dress batik tak jauh darinya. Hal kecil itu tak menyangka akan berpengaruh pada hidupnya tiga tahun kemudian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan Ari
Karena ucapan Ari yang tanpa 'tendeng aling-aling', meminta izin untuk melamar Sandi. Jadilah dia dan Sandi didudukkan berdua di ruang tengah. Di hadapan Bapak dan ibu serta para tetua keluarga.
Berbagai perkataan tak pantas ditujukan pada Sandi. Dia dituduh telah terkontaminasi pergaulan bebas ibu kota, padahal baru satu bulan lebih pindah ke sana. Sandi juga dituduh bersalah menduakan Ali, selama mereka menjalin kasih beberapa bulan lalu.
Sandi hanya bisa menunduk dan mengepalkan tangannya, erat. Mereka menyasarkan tuduhan tanpa bukti. Rasanya menyesal dia pulang kampung, seharusnya tetap mengisi akhir pekannya di kamar kosnya yang nyaman ataupun berjalan-jalan bersama Ari. Entah keliling atau ke luar kota.
Sandi tidak marah dengan sikap Ari yang langsung menyampaikan keseriusannya. Tanpa Ari mengatakan apapun atau ikut datang. Mereka akan tetap menghujatnya, dan mengatai dirinya perempuan tidak baik.
Semua itu berawal karena ucapan dua sejoli yang hari ini menikah. Sialnya mereka lebih percaya pada adik dan mantan pacarnya. Entah apa yang mereka adukan tentangnya, yang jelas selama beberapa bulan ini Sandi selalu mendapatkan ucapan miring dari keluarga besarnya.
Ada tangan hangat yang tiba-tiba menggenggamnya, otomatis Sandi menoleh. Dia mendapati Ari tersenyum dan menatapnya penuh rasa bersalah.
Lalu mata Ari memindai satu persatu orang-orang yang mengerumuni dia dan kekasihnya. "Bisa kalian diam sebentar, tolong beri kesempatan saya bicara." Meski tak berteriak, tapi aura wibawa Ari membuat ruangan yang tadinya gaduh. Seketika menjadi senyap. "Saya dan Sandi baru meresmikan hubungan kasih kami beberapa hari yang lalu." Dia berbicara jujur. "Kenapa saya nekad ikut kemari dan langsung meminta izin pada bapak untuk melamar Sandi. Karena kami merasa cocok satu sama lain. Kebetulan teman akrab Sandi adalah teman dekat saya. Dengan kata lain, saya sudah banyak bertanya pada teman saya tentang karakter dan latar belakang Sandi. Begitu juga sebaliknya."
Semuanya diam mendengarkan, "kami sudah dewasa. Saya sudah matang secara fisik maupun finansial, jadi saya cukup percaya diri untuk meminang Sandi."
"Maaf nak Ari, panjenengan ini pekerjaannya apa kalau boleh kami tau?" Tanya Pak dhe dari pihak ayah Sandi.
"Saya bekerja di warung kopi." Jawab Ari.
Lalu bisik-bisik kembali terdengar, intinya merendahkan pekerjaannya itu. "Masa dari calon PNS, malah turun derajatnya ke tukang jualan kopi. Piye San? Harusnya bisa lebih." Celetukan dari Bu Lik diiyakan oleh sebagian keluarga besar.
"Kamu bukannya kerja di kantor bagus, kok bisa-bisanya dapat tukang kopi. Sandi-Sandi, sing bener ae ta!"
Sandi masih menunduk, tak berani mengangkat kepalanya. Tapi genggaman tangan Ari tak lepas dari tangannya.
Ari sadar dengan profesi baru beberapa bulan ini dia geluti. Pasti akan banyak nyinyiran tertuju padanya.Tapi dia tidak menyesal telah melepas jabatan yang pernah dia dapatkan, karena hidupnya kini lebih tenang dan tak ada yang memberikan tekanan.
"Walau saya cuma tukang kopi, tapi saya sanggup menghidupi Sandi. Saya tak akan membuat Sandi kekurangan dari segi finansial." Ari mengatakannya dengan yakin. Penghasilan dari sewa kamar kos, binatu dan warung kopi serta usaha lainnya. Dia yakin sudah cukup menghidupi Sandi yang tidak neko-neko.
"Kamu hamil, San?" Tanya Ibu tiba-tiba.
Sandi mendongak dan menatap ibunya kecewa. Dia menggeleng, "Sandi nggak kayak gitu, Bu!"
"Tapi kenapa dia lamar kamu?"
Ari menghela napas, sedari tadi dia menjelaskan. Nyatanya tidak mereka dengarkan. Sia-sia sudah. "Karena saya tidak ingin menunda niat baik. Maka dari itu saya meminta izin melamar putri ibu." Dia yang menjawab.
"Dilarang menikahkan saudara kandung dalam satu tahun penanggalan Jawa, harus beda tahun." Cetus Bu dhe dari pihak ayah Sandi.
"Mas Ari cuma mau lamar Sandi dulu, Bu dhe!! Bukan nikah sekarang juga." Dia membantah.
Ari mengeratkan genggamannya. "Saya ingin mengikat Sandi. Lalu soal menikah, saya siap kapan saja." Dia mengatakannya dengan penuh keyakinan. "Kalau diizinkan sekarang saya bisa." Sambungnya.
Sandi mendelik ke arah lelaki di sebelahnya. "Mas ..." Dia keberatan.
"Itu benar sayang ... Aku siap kapanpun mau nikahi kamu, aku siap lahir batin. Kan udah aku jelasin dari kemarin."
"Tapi nggak sekarang juga, kan tadi Bu dhe bilang nggak boleh menikahkan saudara kandung dalam satu tahun penanggalan Jawa."
"Ya kalau Bapak kamu ingin kita menikah sekarang, aku nggak masalah. Lagian kamu di Jakarta kan cuma sendirian, nggak ada yang jagain. Kalau kita nikah sekarang, kamu bisa aku jagain dan kamu nggak sendirian lagi di Jakarta. Aku akan bertanggung jawab dengan keselamatan kamu." Tutur Ari, lalu tatapannya beralih pada orang tua kekasihnya yang ada di depannya. "Betulkan, pak?" Tanyanya. "Seperti salah satu yang kalian bilang tadi, jika ibu kota itu pergaulannya bebas. Kalian khawatir Sandi akan jadi perempuan tidak baik, bukan?"
Sandi hendak menghempaskan tangan yang menggenggamnya, tapi Ari memegang dengan erat.
"Menikah itu bukan main-main, nak Ari!" ujar Bapak. "Harus ada beberapa syarat administrasi yang wajib dipenuhi. Sementara nak Ari datang tanpa persiapan apapun dan memberitahu kami sebelumnya."
"Kalau soal syarat administrasi, kan bisa nyusul Pak! Saya bisa mengajukan sidang untuk mencatatkan pernikahan kami di pengadilan agama. Yang penting kan sah dulu dan Sandi ada yang jaga di Jakarta."
"Jadi nak Ari akan menikahi putri sulung saya secara siri, begitu?" Tanya Ibu.
"Yang penting sah dulu secara agama, kan Bu?"
Ingin rasanya Sandi enyah dari sana, dia tak menyangka akan sikap Ari yang seperti ini. Menyesal rasanya mengizinkan lelaki itu turut serta.
"Soal larangan menikahkan saudara kandung dalam satu tahun penanggalan Jawa, bukankah ada jenis upacara adat untuk tolak bala? Jujur saya tidak percaya hal itu, tapi kalau dari pihak keluarga menginginkannya. Saya tidak masalah."
"Situ punya uang berapa, berani melamar mbakyu ku?" Tanya perempuan yang sudah selesai dirias, baru saja keluar dari kamarnya. "Mbak Sandi ini lulusan sarjana dengan nilai bagus."
"Tergantung Sandi minta mahar berapa, saya akan berikan." Ari cukup percaya diri.
"Mas Ali kasih Sindi dua puluh juta, sampeyan berani berapa?"
"Sindi ..." Sandi memperingatkan adiknya.
Ari mengeratkan genggaman tangannya, "sayang ... Jangan marah."
"Aku nggak marah, aku cuma nggak suka aja sama sikap adik aku."
"Iya-iya aku ngerti, tapi biar aku yang mengatasinya." Ari berusaha menenangkan. "Jadi, apa bapak mengizinkan Sandi untuk saya nikahi dulu secara siri?" Tanyanya. "Soal nikah tercatat, akan saya urus segera. Mungkin tidak sampai sebulan." Tambahnya.
"Tidak semudah itu, nak Ari! Maaf." Kata Bapak.
"Tapi pak, coba bapak bayangkan. Putri sulung bapak bekerja di ibu kota yang katanya tempatnya pergaulan bebas. Seandainya tidak ada yang jaga, bukankah nantinya Bapak dan keluarga menanggung malu?"
Padahal yang menikah hari ini adalah hasil dari pergaulan bebas dan menikam kakak kandung sendiri dari belakang.
"Gimana Bu?" Tanya bapak pada istrinya.
Ari melepaskan genggaman tangannya. "Saya permisi sebentar." Katanya meminta izin.
"Kamu mau kemana?" Tanya Sandi khawatir. Sungguh tidak worth it dia ditinggalkan dalam keadaan seperti ini.
"Sebentar sayang ..." Ari bangkit dan menunduk serta mengucapkan permisi membelah kerumunan keluarga besar kekasihnya. Dia melangkah menuju pojok ruangan di mana carrier nya berada. Ari membukanya dan mengambil kantong plastik hitam. Lalu membawanya kembali ketempat duduknya tadi. "Ini akan saya berikan, jika bapak menikahkan saya dengan Sandi hari ini juga." Ari menaruh Kantong plastik itu di meja kecil, yang membatasi mereka.
Seluruh keluarga itu melihat ke arah kantong plastik hitam, penasaran dengan isi didalamnya.
"Silahkan dibuka." Ari mempersilahkan.
"Mas ..." Sandi ikut penasaran.
Ari menoleh, "apa sayang?" Gara-gara kantong plastik ini, kegiatan menyenangkannya semalam. Gagal. Sialan!!
"Itu apa?" Tanya Sandi.
"Lihat aja sayang." Jawab Ari sambil tersenyum.
Bapak membukanya, lalu matanya melebar begitu melihat isinya. Begitu juga dengan keluarga yang lain.
"Ini di luar mahar untuk Sandi. Ya mungkin Bapak dan ibu ingin mengadakan syukuran atau upacara adat untuk tolak bala karena menikahkan dua anak kandung dalam satu tahun penanggalan Jawa." Tutur Ari. "Kalau kurang, Bapak bisa kabari saya." Sambungnya.