Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua tahun
Dua Tahun Kemudian
Aira perlahan membuka matanya. Cahaya yang masuk dari jendela menyilaukan matanya, namun ia mencoba menyesuaikan diri.
Kepalanya terasa berat, tubuhnya lemah, dan matanya berkeliling mencari seseorang yang ia kenal. Kemudian, matanya tertuju pada seseorang yang duduk di samping tempat tidurnya.
"Dinda..." suara Aira hampir terdengar seperti bisikan, suaranya serak dan lemah.
Dinda yang sedang terpekur, langsung menoleh dan terkejut melihat Aira terjaga.
"Aira! Aira, kamu akhirnya bangun!" Dinda menangis haru, memeluk sahabatnya yang sudah lama terbaring koma.
"Kamu sudah dua tahun di sini, Aira. Kami semua khawatir, tapi sekarang kamu bangun. Tuhan mendengarkan doa kita."
Aira mencoba mengangkat tangannya, namun tubuhnya terasa begitu lemas.
"Mas Abraham..." Ia berusaha untuk berbicara lebih keras, matanya mencari-cari keberadaan suaminya.
Dinda segera menyadari kegelisahan Aira. "Aira, sabar dulu. Aku akan segera memanggil dokter. Jangan khawatir, Mas Abraham ada di luar. Aku yakin dia akan sangat senang mendengarmu bangun."
Dinda segera keluar dan berlari menuju dokter yang sedang berdiri di dekat ruang perawatan.
"Dokter! Aira sudah bangun! Aira sudah sadar!" Dinda berteriak penuh kegembiraan.
Dokter itu segera mendekat, tersenyum lebar, dan berkata, "Kondisinya memang stabil sekarang. Kami sudah melakukan yang terbaik, dan ternyata dia berhasil melewati masa kritisnya. Ini adalah kemajuan yang luar biasa."
"Kita harus segera memulai terapi rehabilitasi. Karena tubuhnya sudah lama berbaring, proses pemulihannya akan membutuhkan waktu dan usaha ekstra."
Dokter menjelaskan bahwa Aira perlu mengikuti serangkaian terapi fisik dan okupasi untuk membantu mengembalikan kekuatan dan fungsinya.
Dinda mengangguk dan berlari kembali ke ruang perawatan. "Aira, Mas Abraham akan segera ke sini. Dia sudah tidak sabar menunggu."
Tak lama setelah itu, pintu kamar rumah sakit terbuka, dan Abraham muncul dengan langkah cepat. Wajahnya terlihat kelelahan dan cemas, tetapi begitu melihat Aira terbangun, ekspresi itu berubah menjadi kebahagiaan yang tak terlukiskan.
Aira yang masih lemah, menoleh ke arahnya dan berusaha tersenyum.
"Mas... Mas Abraham..."
Abraham menahan air mata yang hampir tumpah, berjalan mendekat dan memegang tangan Aira dengan lembut.
"Sayang... kamu akhirnya bangun. Aku sudah menunggu dua tahun ini. Dua tahun yang panjang dan penuh penderitaan. Aku hampir kehilanganmu... tapi Tuhan begitu baik padaku, kita bisa kembali bersama."
Aira memandang suaminya dengan mata yang penuh rasa penyesalan dan cinta yang dalam.
"Aku minta maaf, Mas. Aku membuatmu khawatir, aku terlalu terfokus pada pekerjaanku dan melupakan semuanya. Aku begitu egois..."
Abraham menunduk dan mengusap lembut pipi Aira.
"Sudah, sayang. Kita semua sudah melewati masa sulit itu. Yang terpenting sekarang, kamu kembali. Kita akan mulai lagi, bersama-sama."
Aira merasa tenang dengan kata-kata suaminya. Ia mengangguk lemah.
"Aku akan lebih berhati-hati ke depannya, Mas. Aku janji, aku akan lebih memperhatikan kita, keluarga kita."
Abraham mencium kening Aira dengan penuh kasih sayang.
"Aku tahu kamu akan, sayang. Kita akan berjalan bersama, membangun masa depan kita dan keluarga kita."
Mereka saling memandang, dan dalam keheningan itu, Aira merasakan kebahagiaan yang tulus, meski masih ada rasa sakit dan penyesalan dalam hatinya.
Namun, ia tahu bahwa dengan Abraham di sisinya, mereka bisa menghadapinya bersama.
Keesokan harinya, Aira memulai terapi pertamanya setelah dua tahun tidak aktif bergerak.
Di ruangan terapi yang nyaman, terapis memulai sesi dengan hati-hati dan penuh perhatian. Ia melakukan pijatan lembut di seluruh tubuh Aira, bertujuan untuk merangsang sirkulasi darah dan membantu mengembalikan kekuatan otot-otot yang sudah lama tidak digunakan.
Abraham duduk di samping, menyaksikan dengan penuh haru dan harapan. Ia menyemangati Aira dengan kata-kata lembut, "Semangat, sayang. Ini langkah awal kita untuk pulih bersama." Meskipun terlihat lemah, Aira mulai menunjukkan tanda-tanda respons, sedikit menggerakkan jari tangannya dan mengerutkan kening saat pijatan dilakukan. Proses ini menjadi momen penuh haru dan doa, bahwa dengan kesabaran dan usaha, Aira akan perlahan pulih dan kembali menjalani kehidupan seperti dulu.
Aira akhirnya mulai menjalani pemulihan, dan hari demi hari, ia semakin kuat. Abraham terus mendampinginya, membantu istrinya pulih, dan bersama-sama mereka merencanakan masa depan.
Meskipun banyak rintangan yang mereka hadapi, cinta mereka satu sama lain semakin kuat, dan mereka tahu bahwa selama mereka bersama, mereka bisa mengatasi segalanya.
Setelah pulang dari rumah sakit kehidupan mereka kembali damai dengan banyak cinta dan pengertian yang saling mengikat.
Mereka tidak lagi terfokus hanya pada pekerjaan atau ambisi pribadi, tetapi pada satu hal yang lebih penting keluarga mereka.
Aira memandang wajah Abraham yang penuh dengan kasih sayang.
Ia merasa berat hati, namun tak ada yang bisa mengubah masa lalu.
Semua yang terjadi adalah bagian dari perjalanan hidup mereka, meskipun terasa sangat menyakitkan.
Abraham, yang tahu betul betapa dalamnya rasa bersalah Aira, mencoba menenangkan istrinya.
"Mas, aku benar-benar merasa bersalah. Aku yang menyebabkan semuanya," ucap Aira, suaranya bergetar.
Abraham menghela napas dalam-dalam dan menarik Aira ke dalam pelukannya.
"Sudah, Aira. Jangan lagi kau pikirkan itu. Yang terpenting adalah kita masih bersama, kita masih bisa memperbaiki semuanya. Keguguran itu bukan kesalahanmu. Tak ada yang bisa kita lakukan untuk mengubahnya, tapi kita bisa melangkah maju bersama."
Aira menunduk, menyandarkan kepala di dada Abraham, merasakan ketenangan dari pelukannya yang penuh perlindungan.
Namun, rasa bersalah itu tetap menggantung di hatinya.
"Aku takut kalau kamu... kamu akan meninggalkanku karena semua ini."
Abraham menggelengkan kepalanya, menatap lembut wajah Aira yang masih dipenuhi kecemasan.
"Aira, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Jangan pernah takut akan itu. Apa pun yang terjadi, aku di sini untukmu. Kita akan melalui semua ini bersama."
Aira memejamkan matanya, merasakan ketenangan yang datang dari pelukan suaminya.
Ia tahu bahwa Abraham tidak akan pernah meninggalkannya. Cinta yang mereka miliki lebih kuat dari apa pun.
"Mas, aku ingin kita keluar jalan-jalan. Aku ingin melupakan sejenak semuanya dan hanya menikmati waktu bersamamu," ujar Aira, akhirnya mengangkat kepala dan menatap Abraham.
Abraham tersenyum lembut dan mengangguk. "Ayo, sayang. Kita keluar dan nikmati hari ini. Tidak ada yang perlu dibahas lagi, cukup kita berdua saja."
Dengan senyum yang mulai mengembang di wajah Aira, ia merasakan beban di hatinya sedikit menghilang.
Bersama Abraham, ia merasa lebih kuat, dan ia tahu bahwa meskipun banyak cobaan yang datang, mereka akan selalu melewatinya bersama.
Mereka keluar dari rumah, menikmati udara segar dan kebersamaan, sementara perasaan bersalah yang sempat menguasai Aira perlahan memudar. Hari itu, mereka berdua belajar untuk lebih menghargai setiap detik yang mereka miliki bersama.