JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN
Zhao, putri bangsawan yang terkenal cantik dan keras kepala, kembali membuat kehebohan di kediaman keluarganya. Kali ini, bukan karena pesta atau keributan istana… tapi karena satu hal yang paling ia hindari seumur hidup: perjodohan!
Dirinya dijodohkan dengan Pangeran Wang pangeran kerajaan yang dikenal dingin, tegas, dan katanya... kejam?! Zhao langsung mencari cara kabur, apalagi hatinya telah tertambat pada sosok pria misterius (pangeran yu) yang ia temui di pasar. Tapi semua rencana kacau saat ia malah jatuh secara harfia ke pelukan sang pangeran yang tak pernah ia pilih.
Ketegangan, kekonyolan, dan adu mulut menjadi awal dari kisah mereka. Tapi akankah hubungan cinta-benci ini berubah jadi sesuatu yang lebih hangat dari sekadar perjodohan paksa?
Kisah cinta kerajaan dibalut drama komedi yang manis, dramatis lucu, tegang dan bikin gemas!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Siti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAYANGAN DI TENGAH MALAM
Malam terasa lebih sunyi dari biasanya. Langit menggantung pekat tanpa bintang, dan angin berembus lembut seolah menyembunyikan sesuatu di balik keheningannya.
Di dalam kamar utama, Zhao tiba-tiba menggeliat gelisah. Tubuhnya bergetar, keringat dingin membasahi pelipis dan lehernya. Wajahnya pucat, seperti sedang terjebak dalam mimpi buruk yang menyesakkan.
Pangeran Wang yang masih terjaga di sisi ranjang menoleh cepat. Ia sedang duduk membaca gulungan naskah tebal, tapi seketika meletakkannya begitu melihat Zhao menggenggam erat selimut dengan tangan gemetar. Ia segera mendekat, menggenggam tangan istrinya dengan lembut namun Zhao justru membalas genggaman itu dengan kuat, seperti ketakutan akan kehilangan sesuatu.
"Zhao… kau kenapa?" bisik Pangeran Wang cemas. "Apa kau bermimpi buruk?"
Zhao terbangun pelan. Matanya terbuka setengah, masih terpaku pada sesuatu yang tak terlihat. Wajahnya tetap tegang, nafasnya belum stabil.
"Zhao, kau baik-baik saja?" ulang Pangeran Wang, kini mengusap pelan keringat dari dahinya.
Zhao mengangguk lemah, tapi sorot matanya belum benar-benar tenang.
"Apa kau bermimpi buruk?"
Zhao diam sesaat, lalu bertanya pelan, "Pangeran... siapa orang-orang di luar kediaman kita?"
Pangeran Wang menatapnya, terkejut Zhao menyadarinya begitu cepat. "Kau menyadarinya?" tanyanya sambil tetap mengusap pelan kening Zhao.
"Ya. Meilan memberitahuku tadi… bahwa penjagaan ditingkatkan. Apa itu perintahmu?"
Pangeran Wang menarik napas panjang. "Aku melakukannya agar kau selalu dalam keadaan aman. Agar tak ada satu pun yang bisa mendekatimu tanpa sepengetahuanku."
Zhao menatapnya lirih. "Apa kau sendiri tidak sanggup menjagaku?"
Pertanyaan itu membuat Pangeran Wang menunduk. Ada perasaan bersalah di dalam hatinya yang tak mampu ia sembunyikan.
"Aku tak selalu berada di sisimu… itu yang membuatku cemas," jawabnya pelan.
Zhao menatapnya lekat. "Aku mengerti… Tapi sebanyak itu penjagaan membuatku tidak nyaman. Rasanya seperti... aku sedang dikurung, bukan dilindungi. Itu membuatku makin takut, makin cemas..."
Pangeran Wang menatapnya dalam diam. "Jadi, mimpi buruk itu... karena ini?"
"Aku tidak yakin," ujar Zhao, suaranya melemah. "Tapi… sepertinya berhubungan. Dalam mimpiku, aku melihat darah. Banyak sekali. Di seluruh istana… seperti pertanda buruk. Apa kau tahu maksudnya?"
Pangeran Wang terdiam. Sorot matanya berubah suram. Tapi ia tidak ingin menambah kekhawatiran Zhao malam ini.
"Aku akan memastikan semuanya baik-baik saja. Kau tidak perlu memikirkannya terlalu dalam. Fokus saja pada kesehatanmu dan bayi kita…"
Zhao mengangguk perlahan. Pangeran Wang menariknya dalam pelukan hangat, mengusap punggungnya lembut.
"Aku takkan membiarkan mereka membuatmu takut. Kalau keberadaan para penjaga membuatmu resah… aku akan suruh mereka mundur. Aku hanya ingin kau merasa aman."
Zhao mempererat pelukannya, tubuhnya yang sempat gemetar perlahan mulai tenang.
"Maafkan aku, Zhao…" bisik Pangeran Wang dalam hati, "…karena bahkan saat aku mencoba melindungimu, kau tetap harus menanggung ketakutan seperti ini."
Mentari pagi menyelinap malu-malu di balik tirai sutra yang terbuka setengah. Udara masih dingin, tapi aroma bubur hangat dan teh herbal menguar lembut dari meja makan. Zhao duduk diam di dekat jendela, tatapannya kosong, pikirannya masih terbayang-bayang pada mimpi semalam.
Meilan masuk membawa nampan berisi sarapan dan vitamin dari tabib istana.
"Nona, kau kenapa? Wajahmu pucat sekali… Apa perutmu sakit?" tanya Meilan cemas.
Zhao menggeleng pelan. "Tidak, Meilan. Aku hanya… memikirkan sesuatu."
Meilan meletakkan nampan di meja, lalu berkata sambil menata mangkuk, "Oh iya, Nona. Sepertinya penjagaan di luar kediaman sudah tidak seketat kemarin. Apa Pangeran Wang yang menyuruh mereka mundur?"
Zhao menoleh, mengangguk pelan. "Sepertinya begitu. Aku tahu ia melakukannya demi keselamatanku, dan aku menghargainya. Tapi… entah kenapa, aku justru merasa makin tidak nyaman. Hatiku gelisah… seperti ada yang salah."
Meilan tersenyum lembut. "Pangeran memang selalu tahu caranya memahami Nona… bahkan saat tak satu kata pun Nona ucapkan."
Zhao tersenyum kecil, tapi sorot matanya tetap penuh bayang-bayang.
---
Di sisi lain, Pangeran Wang sedang berjalan kembali ke kediamannya bersama Pangeran Yu dan pengawal setianya, Chen.
"Kakak, jadi kau benar-benar menarik sebagian penjagaan?" tanya Pangeran Yu sambil melirik ke arah kediaman yang mulai terlihat dari kejauhan.
"Ya. Zhao merasa tak nyaman. Pengawalan yang terlalu ketat malah membuatnya makin cemas," jawab Pangeran Wang datar.
"Yah… itu sangat seperti Zhao. Dia memang tidak suka diperlakukan berlebihan, walaupun dia tahu itu semua demi dirinya," balas Pangeran Yu sambil tersenyum kecil.
Pangeran Wang berhenti sejenak. "Dan… semalam dia bermimpi buruk."
Pangeran Yu langsung menoleh. Tatapannya berubah serius. "Mimpi buruk apa, Kak?"
"Dia bilang… dia melihat darah. Banyak. Di seluruh istana. Seperti pertanda buruk."
Pangeran Yu terdiam beberapa detik, lalu bergumam pelan, "Sepertinya… kudeta itu benar-benar sudah di ambang pintu."
Pangeran Wang tak menjawab, tapi sorot matanya mengeras. "Entah apakah mimpi itu pertanda atau sekadar ketakutan… Tapi kita tak bisa mengabaikannya."
Tak lama kemudian, mereka tiba di paviliun utama. Zhao sedang duduk di depan meja makan, menatap makanan tanpa menyentuhnya. Meilan segera membungkuk saat melihat kedatangan mereka.
"Nona, Pangeran Wang dan Pangeran Yu sudah datang. Kalau ada yang Nona perlukan, panggil saya," ucap Meilan sopan sebelum undur diri.
Zhao menoleh pelan. "Kau dari mana?" tanyanya kepada suaminya.
"Aku ada urusan dengan Pangeran Yu," jawab Pangeran Wang singkat.
Zhao menoleh ke arah Pangeran Yu. "Kebetulan, kami hendak makan. Mau bergabung, Pangeran Yu?"
Pangeran Yu sempat tersenyum, ingin menerima ajakan itu, namun Pangeran Wang melirik tajam padanya lirikan yang tidak terdengar tapi jelas bermakna.
Pangeran Yu langsung mengerti. "Ah… sebaiknya aku makan di tempatku saja. Hwa Jin pasti sedang menungguku."
"Benar, dia kan sudah punya istri," timpal Pangeran Wang santai, tapi dengan nada menekan. "Tak pantas berada di sini berlama-lama, bukan begitu, Pangeran Yu?"
Pangeran Yu tertawa kecil, menahan perasaan. "Zhao, makanlah yang banyak. Aku juga akan makan bersama Hwa Jin nanti." Ia memberi hormat lalu pamit.
Zhao menatap punggung adik iparnya. "Apa dia mulai dekat dengan istrinya?" gumamnya lirih.
Pangeran Wang hanya menatap diam, lalu mengalihkan pandangannya pada Zhao.
"Ayo makan." Ia menggenggam tangan istrinya dan membawanya duduk kembali.
Mereka mulai makan bersama. Pangeran Wang menyuapi Zhao perlahan, seolah takut menyakitinya. Ia menyodorkan vitamin yang sudah disiapkan tabib, memastikan semuanya tertelan dengan baik.
Dalam diamnya, ia hanya bisa menatap Zhao penuh tanya.
"Apa yang sebenarnya akan terjadi setelah mimpi buruk itu?"
Malam berganti malam, namun bayangan dalam mimpi Zhao tak kunjung lenyap.
Sudah tiga malam berturut-turut ia terbangun dengan napas tersengal dan tubuh berkeringat. Mimpi itu selalu sama lorong-lorong istana penuh darah, suara jeritan tak terlihat, dan langkah kaki tergesa-gesa yang menjauh darinya.
Pangeran Wang selalu terbangun bersamanya, memeluknya erat, membisikkan kata-kata penenang. Tapi Zhao tahu, dalam pelukan itu pun, tubuh sang Pangeran terasa tegang. Mereka berdua mencoba tetap tenang, tapi kecemasan perlahan mulai tumbuh menjadi ketakutan yang tak terucap.
Di pagi hari keempat, Zhao duduk termenung di balkon kecil kediamannya, membiarkan angin menyentuh pipinya yang pucat. Meilan datang dengan nampan teh hangat dan ramuan penguat tubuh.
"Nona, kau mimpi itu lagi semalam?" tanya Meilan hati-hati.
Zhao hanya mengangguk pelan, tanpa menoleh. "Sama seperti sebelumnya… darah, jeritan, dan bayangan seseorang yang terluka… aku tak tahu siapa. Tapi semuanya terjadi di istana ini."
Meilan meletakkan teh tanpa suara. "Apa Pangeran Wang tahu?"
"Dia selalu tahu," jawab Zhao, suaranya nyaris berbisik. "Tapi aku tak ingin menambah beban pikirannya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Mimpi ini mungkin hanya perasaanku… tapi bagaimana jika ini benar-benar firasat?"
Meilan menggenggam tangan tuannya dengan lembut. "Nona, apapun yang terjadi… kau tidak sendiri. Aku dan semua orang yang mencintaimu akan menjagamu."
Zhao tersenyum kecil. "Tapi bagaimana jika orang yang paling bisa menjagaku… justru harus pergi saat aku paling membutuhkannya?"
Meilan tak mampu menjawab. Di matanya, Zhao terlihat begitu rapuh hari itu, meski masih duduk tegak seperti biasa. Bahkan wajahnya yang biasanya teduh, kini tampak seperti menyimpan rindu akan masa depan yang belum tentu datang.
---
Di tempat lain, Pangeran Wang berdiri di halaman latihan bersama Chen, pengawal setianya. Ia menarik napas panjang, memandangi langit yang seolah menahan badai.
"Nona zhao mimpi itu lagi?" tanya Chen pelan.
Pangeran Wang mengangguk pelan. "Tiga malam. Mimpi yang sama. Dan aku tak bisa menenangkan hatinya… karena bahkan aku pun mulai merasa mimpi itu mungkin bukan sekadar mimpi."
Chen menatap tajam ke depan. "Apakah Yang Mulia yakin kudeta itu akan terjadi secepat ini?"
"Aku yakin…" jawab Pangeran Wang. "Dan saat itu tiba, aku mungkin tak bisa bersamanya."
Chen mengepalkan tangannya. "Kalau boleh memilih, aku lebih suka mati di medan perang... daripada membiarkan Pangeran tak bisa melindungi Nona Zhao."
Pangeran Wang tak menjawab. Ia hanya memandang langit yang mulai berubah gelap meski hari masih pagi.
Dalam hatinya, ia tahu… waktu mereka bersama sedang dihitung mundur.
---
Di sudut lain istana, jauh dari mata Kaisar maupun Pangeran Wang, sebuah rencana mulai berakar dalam diam.
Pangeran Chun duduk tenang di paviliun timur, seolah hanya menikmati teh sore. Namun matanya tajam, memandangi sosok muda yang duduk di seberangnya Pangeran Yu, adik nya yang tenang, lembut dan setia pada kakak tercintanya pangeran wang
Namun hari itu, wajah Yu tampak berbeda. Lebih diam, lebih dingin.
“Adikku,” ucap Pangeran Chun perlahan, nadanya halus seperti angin musim semi. “Pernahkah kau bertanya… mengapa ibumu, wanita yang begitu baik dan anggun, harus diasingkan begitu saja tanpa kejelasan?”
Pangeran Yu terdiam. Tangannya yang memegang cangkir sedikit gemetar.
“Kau tahu,” lanjut Chun, suaranya semakin rendah, nyaris berbisik, “yang duduk sebagai Permaisuri saat itu… adalah ibuku dan pangeran Wang. Wanita itu punya kuasa, dan dia… punya alasan untuk menyingkirkan siapa pun yang bisa mengancam kedudukannya. Termasuk ibumu selir yi.”
Pangeran Yu mengepalkan tangannya.
“Aku tak memintamu melakukan apa-apa sekarang,” kata pangeran Chun dengan senyum samar. “Aku hanya ingin kau mulai bertanya. Jangan jadi boneka dalam bayangan kakak tercintamu itu… saat keluargamu sendiri dulu dikorbankan oleh keluarganya.”
Pangeran Chun bangkit, meninggalkan Yu sendiri dalam diam.
Dan sejak hari itu, untuk pertama kalinya, hati Pangeran Yu mulai digerogoti keraguan.
Wajah ibunya yang dikabarkan jatuh sakit di tempat pengasingan, suara lembutnya saat dulu menyanyikan lagu sebelum tidur semua kenangan itu kembali menghantui. Pertanyaan demi pertanyaan muncul tanpa jawaban.
Hari-harinya tak lagi penuh tawa seperti dulu. Bahkan senyum khasnya mulai menghilang, tergantikan sorot mata ragu yang setiap hari menatap bayangan kakaknya sendiri.
Dalam hatinya, badai mulai terbentuk. Dan ia bahkan belum menyadari… bahwa badai itu akan segera menyeretnya ke tengah pusaran antara kebenaran dan pengkhianatan.