NovelToon NovelToon
JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN

JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berbaikan / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:270
Nilai: 5
Nama Author: Sarah Siti

JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN

Zhao, putri bangsawan yang terkenal cantik dan keras kepala, kembali membuat kehebohan di kediaman keluarganya. Kali ini, bukan karena pesta atau keributan istana… tapi karena satu hal yang paling ia hindari seumur hidup: perjodohan!

Dirinya dijodohkan dengan Pangeran Wang pangeran kerajaan yang dikenal dingin, tegas, dan katanya... kejam?! Zhao langsung mencari cara kabur, apalagi hatinya telah tertambat pada sosok pria misterius (pangeran yu) yang ia temui di pasar. Tapi semua rencana kacau saat ia malah jatuh secara harfia ke pelukan sang pangeran yang tak pernah ia pilih.

Ketegangan, kekonyolan, dan adu mulut menjadi awal dari kisah mereka. Tapi akankah hubungan cinta-benci ini berubah jadi sesuatu yang lebih hangat dari sekadar perjodohan paksa?

Kisah cinta kerajaan dibalut drama komedi yang manis, dramatis lucu, tegang dan bikin gemas!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Siti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

LANGKAH BARU DALAM DIAM

Pagi di istana itu tak lagi sama.

Mentari memang terbit seperti biasa, menyinari atap-atap genteng yang basah oleh embun, tapi ada sesuatu yang berbeda di udara. Ketegangan yang tak terlihat mulai menyelusup ke setiap sudut bangunan megah itu, seolah-olah tembok batu pun kini bisa mendengar desas-desus yang mulai menggerogoti kepercayaan.

Setelah sang Kaisar mengumumkan nama Pangeran Wang sebagai calon pewaris takhta meski belum resmi ditetapkan bayangan para lawan yang selama ini bersembunyi perlahan menunjukkan diri. Gerak-gerik mencurigakan mulai bermunculan. Mata-mata tak dikenal mondar-mandir seperti bayangan di malam hari. Para dayang berbisik dalam kecemasan. Bahkan suara angin pun terdengar seperti membawa pesan peringatan.

Zhao berdiri di depan jendela paviliunnya, termenung. Sorot matanya tajam namun dibalut keresahan yang tak bisa ia sembunyikan.

"Aku harus membuatnya lebih kuat…" gumamnya, setengah untuk dirinya sendiri.

Pasukan memang berpihak padanya. Tapi kekuatan di istana tak hanya diukur dari pedang dan perisai. Pengaruh, dukungan, dan kesetiaan... semua itu sama pentingnya.

Zhao menarik napas panjang. Ia tahu, langkah pertamanya hari ini harus dimulai dari seseorang yang pernah dekat… namun kini menjauh.

“Meilan, aku akan menemui Hwa Jin,” ucap Zhao sambil mengenakan jubahnya.

“Apakah kau yakin itu langkah pertama yang tepat, Nona?” Meilan mengikuti dengan langkah cepat, sedikit cemas namun setia.

Zhao menoleh sekilas. “Aku tidak hanya butuh pasukan. Aku butuh hati yang pernah tersakiti… untuk kembali percaya.”

---

Paviliun Hwa Jin diselimuti keheningan. Aroma bunga plum menyambut mereka, bercampur dengan bau tinta dan kertas basah. Di tengah ruangan, duduklah Hwa Jin, diam dan tenang, kuas di tangannya menari pelan di atas kanvas.

Namun bukan hanya lukisan yang tercipta di sana melainkan juga perasaan yang selama ini tak terucapkan.

“Hwa Jin…” sapa Zhao pelan, suaranya lembut namun dalam.

Gadis itu menoleh. Tatapannya, meski sedikit ragu, tak lagi setajam dulu. Ada kehangatan samar yang menguar dari matanya seperti Hwa Jin yang Zhao kenal dahulu.

“Kau sedang sibuk?” tanya Zhao sambil mendekat.

“Tidak. Aku hanya… merenung,” jawab Hwa Jin, suaranya tenang namun kosong.

Zhao tersenyum tipis saat menatap lukisan di hadapannya hamparan bunga liar di tengah kabut pagi, begitu indah namun penuh kesepian.

“Kalau ini hasil dari perenunganmu… maka hatimu pasti sedang kacau,” ucap Zhao.

Hwa Jin tersenyum kecil, pahit. “Apa yang membawamu ke sini, Kakak Zhao?”

“Aku ingin tahu… bagaimana hubunganmu dengan Pangeran Yu sekarang,” tanya Zhao tanpa berputar-putar.

Hwa Jin menunduk. “Aku malu padanya. Juga padamu. Atas semua yang pernah kulakukan.”

Zhao menghela napas. “Kalau begitu… perbaiki lah semuanya.”

“Aku berpikir… untuk kembali ke kediaman ayahku. Meninggalkan istana. Rasanya terlalu sulit untuk menatap matanya lagi,” lirih Hwa Jin.

Zhao langsung memegang bahunya, mantap.

“Jangan menyerah. Kalian bisa melewati ini. Kalian berdua kuat.”

“Tapi hatinya... masih ada namamu, Zhao. Dan aku tahu itu. Aku merasa lelah mencoba masuk ke hatinya yang sudah dipenuhi bayanganmu.”

Zhao menatapnya, tak goyah sedikit pun.

“Kalau begitu… lihat dari sisiku. Aku mencintai suamiku. Bahkan jika takdir mempertemukanku lagi dan lagi dengan Pangeran Yu, hatiku tidak akan berpaling. Aku tahu di mana aku berdiri. Dan aku ingin kau juga tahu aku bukan lawanmu.”

Hwa Jin membeku. Sekian lama ia menyimpan perasaan itu, dan kini… kata-kata Zhao seperti kunci yang membuka belenggunya.

“Aku… tak tahu harus mulai dari mana. Aku bahkan takut kau membenciku.”

Zhao menggeleng cepat. “Kalau kau kembali menjadi Hwa Jin yang dulu, aku akan selalu berdiri di sisimu. Aku tak pernah membencimu. Aku hanya merindukanmu.”

Perlahan, Hwa Jin menatapnya. Ada air yang menggenang di pelupuk mata, tapi tak jatuh.

“Kau memaafkanku?”

“Selama kau tak berpaling dari dirimu sendiri,” balas Zhao, mantap.

Zhao lalu menggenggam tangannya dengan hangat.

“Sekarang… mari kita berdiri di sisi suami kita. Mereka membutuhkan kita. Bukan sebagai bayangan, tapi sebagai cahaya yang membuat mereka tetap tegak.”

Hwa Jin mengangguk pelan. Senyum lembut kembali terukir di bibirnya.

“Tapi… bagaimana dengan Pangeran Yu?” tanya Hwa Jin ragu.

“Pelan-pelan saja. Jangan paksa hatinya. Kau tahu betul bagaimana dia... biarkan semuanya tumbuh dengan waktu. Aku tak bisa membantumu menyatukan kalian, tapi aku percaya… kau bisa melakukannya dengan caramu.”

Hwa Jin terdiam, menatap lukisannya kembali. Kali ini, warna-warni bunga di atas kertas terasa tak lagi semuram tadi.

“Terima kasih, Kakak. Kau masih percaya padaku,” ucapnya lirih, tulus dari hati.

Zhao tersenyum, lebih hangat dari sinar matahari pagi itu.

“Selalu, Hwa Jin. Selalu.”

Langkah-langkah Zhao menyusuri koridor istana terdengar mantap, namun pikirannya melayang ke berbagai arah. Setelah pertemuan hangat dengan Hwa Jin, kini pikirannya kembali dipenuhi strategi. Ia tahu… satu dukungan saja tidak akan cukup.

“Siapa lagi… yang bisa kuajak berdiri di sisi Wang?” gumamnya lirih.

Meilan yang berjalan di sampingnya menoleh. “Apakah Nona memikirkan calon sekutu lagi?”

Zhao menghela napas, lalu berkata dengan nada setengah bercanda namun penuh beban,

“Haruskah aku mencarikan selir untuk suamiku demi sebuah aliansi? Tapi… bukankah itu berarti aku mengakui kekalahanku di hadapan Permaisuri Agung?”

Meilan langsung menatapnya. “Jangan lakukan itu, Nona. Cara seperti itu hanya akan membuatmu tampak terpojok. Kita masih punya Pangeran Jae Min, bukan? Siapa tahu… meski sedikit, dia bisa berguna.”

Zhao menoleh cepat. “Kau benar juga…”

Ia mendadak terdiam sejenak, wajahnya berubah serius, matanya menyipit seolah memikirkan sesuatu yang baru saja menyusup ke benaknya.

“Meilan… bagaimana kalau Pangeran Jae Min sudah siap menikah?” tanyanya dengan nada misterius.

Meilan terbelalak. “Maksud Nona? Usianya baru enam belas tahun!”

Zhao menatap ke depan, pelan namun mantap. “Meilan… di istana, pernikahan bukan urusan perasaan. Tapi urusan takhta dan kekuasaan. Bahkan anak sepuluh tahun pun bisa dinikahkan kalau ada kepentingan politik. Bukankah Pangeran Chun juga menikahi Nona Lee saat berumur lima belas tahun?”

Meilan mengangguk pelan. “Itu memang benar… Tapi jangan bilang… Nona ingin menjodohkannya?”

Zhao mengangguk cepat dengan wajah usil, membuat Meilan menghela napas panjang.

“Pangeran yang satu itu masih seperti anak kecil, Nona… jangankan menikah, dia bahkan lebih sering bermain kucing daripada bicara soal negara,” gumam Meilan.

Zhao tertawa pelan. “Hei, Meilan… dia akan melakukannya, kalau gadis itu bisa membuatnya benar-benar jatuh hati.”

Meilan memutar mata kecil-kecil. “Lalu… siapa wanita luar biasa itu yang bersedia menikah dengan Pangeran Jaemin karena alasan politik?”

Zhao mengernyit. “Itulah yang sedang kupikirkan. Apa kau tahu gadis di luar istana yang cukup kuat dan… berasal dari keluarga berpengaruh?”

Meilan terdiam, mengingat-ingat.

“Ah! Aku baru ingat. Ada seorang gadis yang beberapa kali kulihat… sering mencuri perhatian Pangeran Jae Min dari jauh. Aku tak tahu apa tujuannya, tapi yang jelas… Pangeran Jae Min tidak pernah benar-benar menyadarinya.”

Zhao mengangkat alis. “Siapa dia?”

“Namanya… Nona Xiao, kalau aku tidak salah ingat. Dia putri dari Menteri Ketua Fraksi Selatan. Cukup berpengaruh.”

Wajah Zhao langsung berubah penuh semangat. “Meilan, kemampuanmu memang tak pernah mengecewakan.”

Ia menepuk tangan pelan. “Itu lebih dari cukup! Sekarang kita cari dia. Kau tahu biasanya dia ada di mana?”

“Kalau dugaanku benar… mungkin dia berada tak jauh dari tempat Pangeran Jae Min,” jawab Meilan sambil tersenyum geli.

Zhao mengerucutkan bibir. “Ah, aku memang terlalu sibuk memikirkan urusan besar, sampai-sampai tak sadar pada hal-hal kecil di sekitar Pangeran Jae Min.”

---

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di belakang kediaman Pangeran Jae Min. Suara busur menegang dan anak panah meluncur memecah keheningan taman latihan. Pangeran Jae Min terlihat sedang berlatih memanah, ditemani oleh pengawal pribadinya.

Namun perhatian Zhao dan Meilan justru tertuju pada seorang gadis yang berdiri agak jauh di bawah pohon plum. Pakaian dayangnya rapi, tapi riasan wajahnya terlalu anggun, bahkan mencolok untuk seorang pelayan istana. Wajahnya cantik, dengan sorot mata yang dalam… seolah menyimpan rahasia.

“Nona, lihatlah… dayang itu. Wajahnya terlalu mencolok, bahkan lebih mirip seorang putri daripada pelayan,” bisik Meilan curiga.

Zhao ikut menatap tajam. “Kau benar. Sikapnya juga tak biasa. Kenapa dia berdiri di situ, seolah sedang mengamati Pangeran Jaemin?”

Meilan perlahan menoleh ke arah Zhao, matanya melebar. Zhao pun mulai menyadari sesuatu. Keduanya saling berpandangan sejenak.

“Nona Xiao…” bisik mereka bersamaan.

Zhao melangkah mendekati gadis yang berdiri di bawah pohon plum itu. Tatapannya tajam namun penuh rasa ingin tahu. Meilan mengikutinya dengan langkah pelan.

Gadis itu terkejut melihat mereka datang menghampiri. Ia segera membungkuk sopan, berusaha menutupi kegugupan di wajahnya. Gerak-geriknya lugu, tapi canggung seperti seseorang yang menyamar tapi belum pernah benar-benar berbohong.

“Kau sedang apa di sini? Mengendap-endap seperti mata-mata,” tanya Zhao, langsung tanpa basa-basi.

“Ah… aku hanya kebetulan lewat saja,” jawabnya gugup, matanya berusaha menghindari tatapan Zhao.

Zhao mengangkat alis. “Kau tidak tampak seperti dayang. Apa kau sedang menyamar?”

Gadis itu tertegun, jelas terlihat panik karena penyamarannya nyaris terbongkar.

“Siapa kalian sebenarnya?” tanyanya waspada.

Zhao menyipitkan mata, menatapnya dalam. “Kau tidak mengenaliku?”

Gadis itu menatap Zhao lekat-lekat, tapi tidak menunjukkan tanda-tanda mengenali.

“Tidak…” jawabnya singkat.

“Aish! Dia ini Nona Zhao istri Pangeran Wang! Kakak iparnya Pangeran yang sedang kau intip dari tadi itu!” sahut Meilan dengan nada gemas.

Gadis itu membelalak. “Astaga… maafkan aku, Kakak! Aku benar-benar tidak tahu…”

Zhao tertawa kecil melihat ekspresi malu gadis itu. “Kau Nona Xiao, bukan?”

Gadis itu, Xiao membeku.

> ‘Bagaimana dia tahu namaku?’ batinnya cemas.

“Kau hanya menebak… atau memang sudah tahu?” tanyanya pelan.

“Aku tahu. Dan aku juga tahu… kau menyamar hanya untuk bisa melihat Pangeran Jae Min, kan?”

Wajah Xiao langsung merah padam.

> ‘Kenapa dia tahu segalanya?!’ pikirnya panik.

“Sebenarnya… aku memang sedang memperhatikannya. Sudah cukup lama, sih. Tapi kali ini… yah, agak nekat,” ujar Xiao dengan senyum jahil yang tak bisa disembunyikan.

“Kau tertarik padanya?” tanya Zhao santai.

Xiao mengangguk pelan. “Awalnya kami bertemu secara tak sengaja… di luar istana. Dia menabrakku, lalu membantuku memungut barang-barangku. Sejak itu… setiap kali melihatnya, jantungku selalu berdetak lebih kencang. Seperti… hidupku kembali menyala.”

Zhao memperhatikannya, tersenyum simpul.

Tiba-tiba, seorang dayang berlari tergopoh-gopoh mendekati mereka. Napasnya tersengal, wajahnya cemas.

“Nona! Ke mana saja Anda? Astaga, pakaian apa ini?” protesnya panik.

Xiao hanya terkikik sambil menggaruk belakang kepalanya.

“Nona, ayo kita kembali. Bagaimana jika ayah tahu Anda menyelinap masuk ke istana lagi?” desaknya.

“Tapi aku masih ingin melihatnya… kau tahu, kan,” ujar Xiao polos.

Zhao menoleh ke Meilan dan berbisik, “Meilan, aku tak sepenuhnya mengerti tentang ucapannya tadi. Apa benar jantungnya bermasalah? Selidiki tentang Nona Xiao, sedetail mungkin.”

Meilan mengangguk cepat.

Zhao kembali menatap Xiao dan berkata, “Kalau begitu… bagaimana kalau aku bawa kau langsung ke hadapan Pangeran Jae Min sekarang?”

Xiao terkejut. “Kau serius?! Ah, baiklah!” jawabnya penuh semangat.

---

Mereka bertiga melangkah mendekati area latihan. Pangeran Jae Min baru saja melepaskan anak panahnya ketika suara Zhao menyapa.

“Pangeran Jae Min…”

Ia menoleh. “Kak Zhao?”

Tatapannya kemudian berpindah ke gadis di samping Zhao. “Kau bawa dayang baru?”

> ‘Astaga! Aku lupa menyuruhnya berganti pakaian!’ batin Zhao kesal.

“Dia ini temanku, Nona Xiao. Putri Ketua Fraksi Selatan,” jelas Zhao cepat.

Pangeran Jae Min mengernyit. “Tapi kenapa pakaiannya seperti dayang?”

Zhao tersenyum kaku. “Dia sedang menyamar… untuk menemui ayahnya. Begitulah, bukan, Nona Xiao?”

Xiao mengangguk cepat. “Iya! Betul!”

Tapi matanya justru terpaku pada wajah sang Pangeran, membuat Pangeran Jae Min bergidik.

“Kau kenapa menatapku seperti itu?” tanyanya heran.

“Kau tampan,” jawab Xiao polos.

“ASTAGA! Kau jujur sekali…” bisik Zhao, menahan tawa.

Kemudian ia menoleh ke adik iparnya. “Dan kau, Pangeran Jae Min! Kenapa kau begitu kasar? Dia wanita, perlakukan dia dengan baik. Dia akan jadi temanmu juga.”

Pangeran Jae Min menatap Xiao, lalu Zhao, dengan bingung.

“Baiklah… karena dia temanmu, aku akan menerimanya. Tapi… tolong, jangan menatapku seperti itu terus,” keluhnya.

“Nanti juga kau terbiasa,” kata Zhao menggoda.

Dayang Xiao menarik tangan tuannya. “Nona, kita harus pulang sekarang. Ayah Nona bisa murka jika tahu Nona masuk istana lagi.”

“Tapi…”

“Besok kau bisa kembali,” kata Zhao lembut. “Dan kau bisa bertemu Pangeran Jae Min lagi.”

“Hah? Aku?” tanya Jae Min panik.

“Benar, kan?” tanya Xiao pada Zhao, mata berbinar-binar.

Zhao tersenyum dan menepuk bahunya. “Pulang dulu, ya.”

Xiao mengangguk penuh semangat. “Sampai jumpa, Pangeran! Kakak Zhao!” ucapnya sebelum berlalu bersama dayangnya.

Begitu mereka pergi, Jae Min memandang Zhao curiga.

“Kak… kenapa kau bisa berteman dengan gadis aneh seperti itu?”

Zhao tertawa kecil. “Tidak sengaja. Tapi dia bilang dia menyukaimu.”

“Hah?! Aku?! Kakak Zhao!! Aku tidak tertarik hal-hal seperti itu!”

“Tenang. Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya menyukainya karena dia lucu… dan ya, dia putri Ketua Fraksi Selatan. Tapi kalau kau tak tertarik, cukup berteman dengannya tanpa memberi harapan.”

Jae Min mendengus. “Baiklah… aku akan berteman dengannya. Seperti aku berteman denganmu, Kak.”

Zhao tersenyum, lalu mengusap rambutnya. “Kau sudah besar rupanya. Sudah cocok untuk menikah.”

“KAKAK ZHAO!!” teriak Jae Min, tapi Zhao sudah berlari sambil tertawa.

Pangeran muda itu tersenyum kecil, menatap kepergian kakak iparnya yang selalu tahu cara membuat hidupnya ramai.

---

Di kediaman Zhao…

Setelah mandi, Zhao duduk di depan cermin sambil merapikan rambut. Meilan masuk dengan wajah serius.

“Nona, saya dapat informasi tentang Nona Xiao,” katanya.

“Apa itu?”

“Saya bicara pada dayangnya tadi. Ia bilang… sejak kecil Nona Xiao punya kelainan jantung. Kadang detaknya berhenti tiba-tiba. Tapi… sejak pertemuan pertamanya dengan Pangeran Jae Min, kondisinya membaik.”

Zhao membelalak. “Ah… pantas saja tadi dia bilang jantungnya berdetak saat melihat Jae Min. Rupanya bukan hanya kiasan.”

“Dayangnya bilang begitu mungkin agar Nona bisa membantu. Sepertinya dia ingin Xiao dapat kesempatan,” lanjut Meilan.

Zhao mengangguk. “Kalau begitu… aku hanya akan membuka jalan. Soal hati, itu urusan mereka.”

“Lalu soal perjodohan?” tanya Meilan.

Zhao tersenyum kecil. “Aku harus bicara dengan Pangeran Wang dulu. Siapa tahu dia bisa bantu membujuk Kaisar.”

---

Saat itulah Pangeran Wang masuk ke kamar.

“Siapa yang akan membujuk Kaisar?” tanyanya, membuat Zhao menoleh cepat. Meilan segera undur diri.

“Kau sudah kembali,” kata Zhao lembut.

“Kau sibuk sekali hari ini, sampai sulit kutemui,” gumam Wang sambil mendekat. “Kau bilang membujuk Kaisar. Untuk apa?”

Zhao menatapnya dengan mata berbinar. “Kau yang akan membujuknya.”

“Aku? Untuk apa?”

Zhao menarik napas. “Aku sedang mencari jalan memperkuat posisimu. Aku sudah bicara pada Hwa Jin. Tatapannya… sepertinya ia mulai kembali. Dan satu lagi…”

“Apa lagi?” tanya Wang, menyipit curiga.

“Aku… sedang menjodohkan Pangeran Jae Min dengan Nona Xiao, putri ketua Fraksi Selatan.”

“Apa?!”

Zhao mengangguk mantap. “Daripada aku mencarikan selir untukmu demi kekuasaan, lebih baik aku manfaatkan adikmu yang lucu itu.”

Pangeran Wang menghela napas. “Dan dia… bersedia?”

“Belum tentu. Tapi Nona Xiao menyukainya sejak lama. Dan… dia punya masalah jantung sejak kecil. Tapi sejak melihat pangeran Jae Min… jantungnya justru hidup. Bukankah itu cukup berarti?”

Wang mendekat, menatap istrinya dalam. “Dan kau ingin aku membujuk Ayah untuk mereka?”

Zhao mengangguk lucu. “Kau memang paling bisa…”

“Hmmm… baiklah. Tapi aku tidak janji. Dan tentu… itu tidak gratis.”

Zhao mendelik. “Sejak kapan kau jadi perhitungan?”

“Sejak sekarang. Dan aku tidak menerima imbalan berupa uang atau barang.”

“Lalu?”

Wang tersenyum nakal, lalu mencuri satu kecupan cepat di bibir Zhao. Zhao membelalak, wajahnya langsung merah padam.

Pangeran Wang berjalan santai sambil menggigit bibirnya sendiri, menahan tawa. Sementara Zhao terdiam membatu, memegangi bibirnya.

“…Apa itu tadi?” gumamnya, wajahnya merah seperti bunga plum yang bermekaran di luar jendela.

Pangeran Wang kembali setelah membersihkan diri. Tatapannya segera tertuju pada Zhao yang duduk di pinggir tempat tidur, memegangi bibirnya dengan wajah merah padam. Saat mendengar langkah kaki mendekat, Zhao sontak menoleh tatapannya gugup, seperti baru saja tertangkap basah sedang memikirkan sesuatu yang tak ingin ia akui.

Pangeran Wang tampak canggung, tapi tetap tenang. Ia duduk perlahan di sisi Zhao, menyisakan jarak kecil di antara mereka. Tak satu pun bicara untuk beberapa detik. Hanya suara detak jantung mereka masing-masing yang menggema di kepala.

"Kau terkejut, ya?" tanya Pangeran Wang dengan hati-hati, nyaris berbisik.

Zhao menggeleng pelan, matanya menghindar. "Aku hanya... kaget dan belum siap," jawabnya jujur, polos, seperti gadis kecil yang baru saja melihat sesuatu yang baru.

Pangeran Wang menoleh sedikit ke arahnya, nada suaranya semakin dalam dan hangat. "Kalau begitu... sekarang, apa kau sudah siap?"

Zhao membulatkan mata, wajahnya semakin memerah. "Maksudmu... kita akan"

Kalimatnya terputus. Pangeran Wang membungkuk pelan dan mengecup bibir Zhao. Kali ini bukan sekadar ciuman singkat penuh rasa penasaran seperti sebelumnya, tapi ciuman lembut dan dalam yang perlahan membawa keduanya tenggelam dalam perasaan yang telah lama tumbuh diam-diam.

Mata Zhao sempat membelalak kaget, gugup, dan tak tahu harus bagaimana namun seiring waktu, ia perlahan memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam ketulusan dan kehangatan suaminya.

Tak ada lagi kata-kata yang dibutuhkan malam itu. Setelah sekian lama mereka saling menahan perasaan, akhirnya cinta itu menemukan waktunya untuk menyatu. Dengan perlahan, ragu-ragu berubah menjadi keyakinan. Dua hati yang pernah dipenuhi keraguan dan luka kini menemukan keberanian untuk benar-benar menerima satu sama lain.

Malam itu menjadi malam pertama mereka sebagai suami istri bukan hanya dalam nama, tapi dalam hati.

Dan semuanya dimulai... dari satu ciuman yang tak lagi mengandung keraguan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!