"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."
🌊🌊🌊
Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.
Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.
Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.
Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.
Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.
Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.
Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Kebohongan Rafael
Serafina tidak melepaskan pelukannya. Justru, dia merapatkan pelukannya, seolah ingin menyatukan tubuhnya dengan tubuh Rafael. Wajahnya yang tersembunyi di bahunya yang keras berbisik, suara agak teredam.
“Dan sebelum aku?,” tanyanya, suaranya kecil, penuh rasa ingin tahu. “Pernah ada seseorang?”
Rafael, yang masih berusaha keras untuk tidak menyerah pada kehangatan dan kelembutan tubuhnya, menjawab dengan jujur. “No.”
Serafina mendongak, matanya menyelidik. “Itu tidak mungkin. Kau sangat tampan, Rafael. Gadis-gadis desa ... menatapmu. Aku melihat mereka.”
Rafael menghela napas, merasa terjebak. “Mungkin. Tapi aku tidak pernah punya kekasih. Hanya kamu.”
Kalimat itu, ‘hanya kamu’, membuat jantung Serafina berdebar kencang, bukan dengan kebahagiaan, tapi dengan rasa kemenangan yang gelap. Sebuah senyum tipis muncul di bibirnya.
“Lalu ... kenapa aku?” godanya, jarinya menelusuri tulang selangkanya. “Apa yang kau rasakan pertama kali melihatku? Apa yang membuatmu mendekatiku?”
Rafael memalingkan wajah, tidak sanggup menatap intensitas di matanya. Dia mencari kata-kata, sebuah kebenaran yang bisa melukainya, yang bisa membuatnya menjauh. Akhirnya, dia mengatakannya.
“Kau ... adalah gadis yang lembut.” Rafael berhenti, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Kau terlihat ... terabaikan. Membutuhkan kasih sayang. Awalnya ... itu adalah rasa kasihan.”
Rafael menunggu amarahnya meledak, menunggu tamparan, atau setidaknya tangisan kemarahan.
Tapi yang Rafael dapatkan justru tawa. Sebuah tawa kecil, getir, dan sedikit gila keluar dari bibir Serafina.
“Kasihan …,” ujarnya, seolah mencicipi kata itu. “Baiklah. Kasihan juga tidak apa-apa. Artinya kau sudah milikku sejak awal. Dengan satu cara atau lainnya.”
Di dalam hati, rasa sakit seperti belati menancap. Tapi obsesinya lebih kuat daripada harga dirinya. Dia akan menerima alasan apapun, bahkan yang paling menghinakan, asalkan dia masih bisa memegang kendali, asalkan Rafael masih miliknya.
Sementara itu, di dalam batin Rafael, penyesalan yang dalam menyergapnya. Sial! Dia bermaksud untuk menyakiti, untuk mendorongnya pergi, tapi justru memberinya lebih banyak alasan untuk bergantung. Kebenarannya, dia tertarik pada Serafina bukan karena kasihan. Dia tertarik pada kecantikannya yang rapuh, pada kekuatan di balik air matanya, pada caranya membuatnya merasa hidup. Tapi sekarang, kata-kata itu telah terlanjur diucapkan, dan dia melihat bagaimana Serafina mencengkeramnya seperti orang tenggelam mencengkeram jerami.
Merasa ‘kemenangan’ ini, Serafina menjadi semakin berani. Tangannya, yang tadi menelusuri bahunya, kini merayap ke bawah belakang, menyentuh dua otot bongkahan Rafael yang kencang melalui celana katun tipisnya.
Rafael bereaksi seketika. Seperti tersetrum, tangannya yang besar menangkap pergelangan tangan Serafina yang mungil dan halus, menghentikan gerakannya dengan tegas.
“Basta, Serafina!” desisnya, suaranya bergetar karena emosi yang tertahan. “Aku harus melindungi kehormatanmu. Kau adalah seorang Romano! Jika kau bukan seorang Romano, siapa yang akan melindungi Mareluna? Siapa yang akan melindungi keluargaku?”
Kata-kata itu seperti siraman air dingin bagi Serafina.
Kehormatan. Romano. Perlindungan.
Dia terdiam, tubuhnya yang tadi panas oleh gairah dan obsesi mendadak kaku. Dia melihat ke dalam mata Rafael yang penuh dengan ketakutan yang nyata—bukan takut padanya, tapi takut pada konsekuensi yang akan menimpa orang-orang yang dicintainya.
Untuk pertama kalinya malam itu, kabut obsesinya sedikit tersibak. Dia ingat mengapa semua ini dimulai. Bukan hanya karena cinta, tapi karena kekuasaan. Dia harus tetap menjadi Serafina Romano yang berkuasa agar bisa menjadi perisai bagi Rafael dan Mareluna. Tapi di saat yang sama, kekuasaan itulah yang menjadi dinding antara mereka.
Cahaya kegilaan di matanya meredup, digantikan oleh kilasan kerapuhan gadis berusia 19 tahun yang tersesat. Air mata, yang tadi ditahannya, akhirnya menetes. Bukan air mata manipulatif, tapi air mata kecewa dan frustasi yang tulus.
“Aku minta maaf …,” bisiknya, suaranya lirih dan pecah. Dia menunduk, bahunya yang lemah tergetar. “Aku tidak bermaksud ... membahayakanmu.”
Melihatnya seperti ini—rapuh, menangis, dan benar-benar remaja—hati Rafael luluh. Pertahanannya yang selama ini dia bangun dengan susah payah runtuh melihat air mata itu. Dia ingat gadis yang pertama kali dia temui di padang rumput, gadis yang terjatuh dan terlihat begitu tersesat.
Dengan gerakan yang hampir naluriah, tidak seperti penolakan tegasnya sebelumnya, Rafael menariknya ke dalam pelukan. Bukan pelukan penuh nafsu, tapi pelukan yang menenangkan.
“Jangan menangis,” bisiknya ke rambutnya, suaranya tiba-tiba menjadi sangat lembut. “Tidak apa-apa. Tapi sekarang ... kau harus tidur. Pergilah ke Mila.”
Serafina, yang lelah secara emosional dan fisik, hanya bisa mengangguk pelan di bahunya. Perlawanan dalam dirinya telah pupus untuk malam ini. Obsesinya kalah sementara oleh kenyataan pahit dan rasa kasihan yang dia benci namun sangat dia butuhkan.
Dia melepaskan pelukan dan berbalik menuju pintu, tubuhnya yang kecil terlihat sangat kesepian. Sebelum membuka kunci, dia menoleh sebentar, matanya yang merah dan basah memandangnya.
“Buonanotte, Rafael,” bisiknya.
*Selamat malam/tidur
“Buonanotte, Serafina,” balas Rafael, dengan perasaan campur aduk yang tak terbaca.
Pintu tertutup dengan lembut, meninggalkan Rafael sendirian di kamarnya, dengan aroma parfumnya yang masih menggantung di udara, kenangan akan sentuhannya yang membakar, dan rasa bersalah yang dalam karena telah menyakiti seorang gadis yang sudah terluka, sekaligus lega karena telah berhasil melewati malam yang berbahaya itu—meski dia tahu, ini hanyalah gencatan senjata yang sementara dalam perang obsesi yang tak ada habisnya.
...🌊🌊🌊...
Pria itu mengirimkan semua file ke nomor Leonardo Romano sambil memikirkan berapa banyak yang harus dia minta.